Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Linka Azzahra

Culture Shock di Keluarga Sendiri?

Edukasi | Saturday, 14 Jan 2023, 09:13 WIB

Culture Shock di Keluarga Sendiri?

Indonesia dengan banyaknya pulau terdiri atas berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama. Tak jarang tentu saja akan ada perbedaan yang menciptakan keharmonisan untuk Indonesia. Keberagaman ini membuat orang-orang di Indonesia diperlukannya kemampuan guna beradaptasi agar dapat meminimalisir adanya culture shock dalam proses komunikasi antar budaya setiap orang.

Dilansir dari Kompas.com komunikasi antarbudaya lebih mengarah pada prose komunikasi antar anggota komunitas budaya yang berbeda. Menurut I Made Marthana Yusa, dkk dalam buku Komunikasi Antarbudaya (2021), komunikasi antarbudaya adalah proses pembagian informasi, gagasan, atau perasaan di antara mereka yang latar belakang budaya berbeda. Komunikasi antarbudaya akan terus berkembang, ditambah lagi dengan mudahnya akses berkomunikasi karena adanya kemajuan tekonologi dan internet.

Perbedaan pola hidup akan menimbulkan adanya kesalahpahaman diantara diri individu. Sehingga perlunya sesuatu yang dapat menurunkan tingkat kesalahpahaman yang ada agar tidak terjadi konflik. Salah satunya dengan bahasa. Peranan bahasa saat ini menajdi alat yang sangat berperan penting dalam komunikasi antarbudaya. Dengan menggunakan Bahasa Indonesia dapat meminimalisir kesalahpahaman. Dan juga, bahasa adalah simbol dari rasa. Komunikasi antarbudaya sendiri memiliki fungsi yaitu sebagai identitas sosial, integritas, fungsi pengawasan, jembatan penghubung, sosialisasi nilai, hiburan dan penambah pengetahuan.

Saya adalah salah satu orang yang mengalami culture shock di keluarga saya sendiri. Walaupun dari kedua orang tua saya adalah keluarga Suku Jawa, culture shock itu selalu ada di setiap keluarga. Ibu saya lahir dan besar di Brebes, Jawa Tengah. Sedangkan ayah saya lahir di Purworejo, Jawa Tengah namun besar di Jakarta. Nah, karena saya lahir dan besar di Tangerang yang lebih dekat dengan Ibukota, saya jadi terbiasa dengan kehidupan yang ada di Ibukota dan segala hal lainnya.

Culture shock adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keterkejutab, gelisah, dan keliru yang dirasakan jika seseorang bersentuhan atau mengalami kebudayaan yang sangat berbeda dengan budayanya. Culture shock ini dapat mencakup seluruh aspek yang ada di kehidupan sehari-hari seperti makanan, cara berpakaian, harga barang, aksen bahasa, dan lain sebagainya. Cara untuk mengatasi culture shock adalah dengan melihat budaya tersebut dengan pandangan yang netral.

Saat saya datang ke kota kelahiran ibu saya di Brebes, saya mengalami banyak sekali culture shock. Dimulai dari harga bahan makanan yang murah, tradisi saat berbuka puasa, keramaian yang ada, makanan, dan lain-lain. Perbedaan bahasa ketika saya sedang berada di Brebes agak menyulitkan awalnya untuk saya, akhirnya saya menggunakan Bahasa Indonesia yang akan mudah dimengerti oleh banyak orang. Pandangan masyarakat tentang orang bersuku Jawa asli adalah lemah lembut dan kalem. Namun, keluarga ibu saya yang asli orang Brebes memiliki aksen tersendiri saat berbicara, aksen tersebut biasa disebut ngapak entah dari mana dan apa arti ngapak itu sendiri yang jelas, cara berkomunikasi dengan aksen itu menjadi salah satu culture shock saya di keluarga saya sendiri. Aksen ngapak yang dimiliki oleh orang-orang yang saya temui di Brebes sangat unik, Saya mencoba untuk terbiasa dengan aksen ngapak yang dimiliki ibu saya ketika beliau sedang melakukan panggilan telfon dengan kerabatnya. Selain penggunaan aksen, bahasa yang digunakan juga cukup membingungkan, seperti contohnya, saya disuruh makan oleh budeh (tante) beliau mengatakan “iki loh, jangan dimangan, ko durung mangan ka?” mendengar kata “jangan dimangan” itu otomatis membuat saya mengurungkan niat untuk makan, karena yang saya pahami penggunaan kata “jangan” biasanya adalah untuk sebuah larangan. Namun ternyata, yang dimaksud budeh saya adalah kata “jangan” ini adalah bahasa Jawa dari “sayur” jadi budeh saya menyuruh saya untuk makan sayur. Saya sebenarnya merasa terkejut tapi juga takjub dengan perbedaan budaya yang saya alami langsung di keluarga saya sendiri.

Saya menganggap culture shock saya ini adalah pengalaman yang sangat unik dan akan selalu jadi unik. Karena setiap kali saya datang ke Brebes pasti akan selalu ada kejutan budaya yang saya alami disana. Culture shock yang saya alami ini tentu saja tidak hanya dialami oleh saya, pasti banyak orang di luar sana yang mengalami culture shock ini bahkan di keluarga sendiri. Maka dari itu berdasarkan pada pengalaman saya, ada baiknya kita sebelum datang ke sebuah kota atau daerah berbeda mencari tahu terlebih dahulu mengenai kebudayaan daerah tersebut, lalu memandang budaya tersebut dengan netral, membuka diri terhadap perbedaan dan hal-hal baru, bersosialisasi, serta terlibat langsung dalam budaya tersebut.

Akhir kata, perbedaan budaya bukanlah penghambat seseorang untuk berkembang, perbedaan budaya dapat menjadi jembatan dan langkah seseorang untuk memahami individu lain dan manjalin hubungan baik antara individu lain. Serta dapat menghilangkan stereotype yang ada dengan memahami budaya seseorang dengan keseluruhan. Terimakasih.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image