Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Katib

Di Bawah Naungan Mimbar

Sastra | Friday, 13 Jan 2023, 05:41 WIB

Al-Bahr kini telah putih. Lapisan dinding yang dulunya cream pucat menjadi lebih contrast. Area sholat diperluas. Master plannya telah ditetapkan oleh DKM. Rencananya Al-Bahr akan dilengkapi dengan fasilitas yang lebih futuristic.

System lighting-nya telah terpasang. Lampu berbentuk kubus menempel sempurna di plafon putih bersih. Entah berapa jumlahnya. Lampu-lampu itu membawa kesan mewah dan menyejukkan.

Malam ini para pekerja masih terus mengejar deadline. Bapak tukang dengan celana pendek berwarna merah mengecat dinding luar dengan begitu khidmat. Mengecat rumah Allah tidak boleh terjadi kesalahn sedikitpun.

Sudah sebulan lamanya Al-Bahr sepi dari hiruk pikuk jamaah yang beribadah. Betapa sedihnya dia. Tak ada lagi muazin yang menanti-nanti untuk azan. Tidak ada jamaah yang khusyuk bersimpuh di hadapan Allah. Tidak ada khutbah yang menggelegar menggetarkan jiwa. Tak ada mahasiswa yang murajaah, mengerjakan tugas atau sekedar beristirahat di tengah pelukan dingin malam.

“Al-Bahr aku merindukanmu cepatlah sembuh ” gemuruh dadaku tak tertahan.

Aku duduk sembari menulis cerpen ini. Terduduk merenung menanti WIFI yang entah kapan akan login. Jangankan login connected pun terasa sulit. Wajar saja WIFI-nya dimatikan. Kabel-kabel yang mengganggu di dinding itu dicabut untuk mempermudah pengecatan.

Aku masih duduk dalam penantian yang tak pasti. Duduk di serambi kiri ditemani semilir angin dingin. Hijau rerumputan lapangan SMP IT DD menambah harmonisasi nuansa malam.

Aku masih duduk di serambi kiri. Menikmati gigitan nyamuk di sekujur kaki. Sesekali nyamuk-nyamuk itu mencuri kesempatan mendarat di kulit tanganku. Suara nyamuk mengelilingi kepala tak begitu mengganggu. Namun music dangdut di depan PUSDIKLAT benar-benar menusuk telinga.

Aku masih duduk di serambi kiri Al-Bahr. Menangkap siluet potongan-potongan memoriku dulu saat masih sendiri di Al-Bahr. Tak ku sangka aku dan Al-Bahr seumuran. Tak ku sangka pula aku dan Al-Bahr berjodoh. Dipertemukan di Tambun, kini kami bersama di PUSDIKLAT Dewan Dakwah. Seiring dewasanya Al-Bahr semakin cantik sedangkan aku semakin buruk dan tercela. Dibalik semua itu Al-Bahr siap menampung setiap luka dan lara yang aku tumpahkan di bawah kaki mengkilapnya.

Masih bergema di lorong neuron otakku. Pertama kali menginjak tanah merah Bekasi. Menghirup polusi pabrik yang syarat dengan unsur kimiwai. Untuk pertama kali mataku menatap Al-Bahr. Aku tak menyangka Al-Bahr hanya sebuah bangunan sederhana dengan atap berundak khas Jawa. Jauh dari bayang-bayang dengan kubah setengah bola ala Persia apalagi kubah indah seperti Aya Shopia. Al-Bahr hanyalah masjid sederhana diantara miliaran masjid yang ada di dunia.

Bukanlah bentuk fisik yang paling utama. Jauh, jauh daripada itu, ruh yang mengisi dinding-dinding rumah Allah itu yang paling penting. Al-Bahr telah berperan besar menumbuhkan karakter da’i yang sempurna. Al-Bahr seiring dewasanya telah menumbuhkan semangat da’wah hingga pelosok hutan yang tak terjamah.

Di sinilah jiwa para du’at yang telah tersohor seantero negeri ditempa siang dan malam. Jiwa-jiwa mereka harus sadar tatkala matahari di titik nadir. Jiwa-jiwa mereka harus tangguh tatkala matahari menekan ubun-ubun. Al-Bahrlah tempat jiwa-jiwa mereka di hidupkan. Al-Bahrlah yang menampung mereka di tengah hantaman gelombang jahannam dunia.

Arti Sebuah Percaya

“Wifinya bisa bang?” tanya seorang mahasiswa dari arah kampus.

Aku yang dari tadi tenggelam dalam lautan diksi diantara balok-balok qwerty sembari menanti kebaikan wifi hanya diam tak mendengar pertanyaan itu.

“Bang Wifinya mati ya?” Tanyanya sekali lagi sembari menepuk pundakku.

“Iya dari tadi enggak terbaca. Sepertinya dimatikan pak Iding” Jawabku sembari menghadapkan wajah kearahnya.

“Di kampus juga mati Aduuh besok pagi makalah lagi”

Itulah penyakit mahasiswa. Senang sekali mengerjakan tugas ketika deadline. Jika boleh jujur tugas-tugas makalah itu telah dibagi jauh-jauh hari bahkan sejak pertemuan pertama. Itulah penyakit mahasiswa, terlalu mudah menggampangkan urusan. Itulah penyakit mahasiswa M-A-L-A-S.

Harapanku telah pupus menanti dentingan suara laptop yang terhubung wifi. Harapanku telah menghapus bunyi indah itu. Aku hanya duduk menikmati harmonisasi alam Bekasi yang telah terkenal dengan cuaca panasnya yang menjadikan tubuh melemah.

Semenjak kakiku bertumpu di tanah merah ini. Kampung halamanku yang jauh di ufuk timur telah hilang dari rabaan indrawi. Semenjak kulitku meraba udara panas tanah ini, telah ku jadikan tempat ini rumah keduaku dan akan segera menjadi rumah pertamaku.

“Apakah aku tidak akan kembali?” Tanyaku dalam labirin hati

Pertanyaan yang selalu terulang dalam hatiku. Pertanyaan yang tak pernah ada jawabnya. Bukan karena sebuah ragu. Hanya saja tak ada rencana untuk kembali namun bukan berarti tidak kembali.

“Kamu harus pulang Kak!”

Ungkapan pendek El untuk memberiku semangat. Namun entah berapa kali dia mengatakan itu, tak mampu juga mengembalikan tekatku. Aku tetap tak ingin kembali.

Malam ini aku menantinya untuk berbicara. Dia telah janji untuk menemuiku di sini, Al-Bahr. Aku ingin membuat janji kepada Allah dihadapanya. Janji ini memang untuknya. Janji ini untuk keselamatan kami berdua. Namun Satu jam aku menanti tak Nampak juga batang hidungnya. Lupakah dia?

Hmmm.... Adikku kenapa engkau belum hadir. Berapa lama lagi aku harus menanti. Aku hanya ingin berbicara. Tak lebih. Mungkin tak penting bagimu tapi begitu penting bagiku.

Aku hanya ingin berjanji kepada Allah dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim kemudian ku lanjutkan dengan kalimat Demi Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Di depan mihrab Al-Bahr Aku berjanji akan menjaga adikku. Aku berjanji akan menjauh jika perlu untuk kebaikan adikku. Aku berjanji akan melindungi adikku. Aku berjanji akan mengiringinya dalam setiap langkah sukses maupun gagalnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image