Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardiansyah

Perbedaan Akad dan Waad dalam Fiqh Muamalah

Pendidikan dan Literasi | 2023-01-09 11:00:01

Pendahuluan

Lahirnya kembali ekonomi Islam, berawal dari kesadaran para ilmuan Muslim yang menilai perlunya pengembalian ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini sebagai jawaban dari pemikiran para ilmuwan Muslim kontemporer mengenai permasalahan ekonomi yang dinilai tidak mampu dipecahkan seutuhnya oleh teori ekonomi yang berkembang saat itu (Furqani, 2019).

Praktik ekonomi Islam mendapat ruang untuk perkembangan ke arah yang lebih baik di satu sisi, menghadapi sejumlah tantangan di sisi lain. Keberadaan lembaga-lembaga ekonomi Islam menjadi indikasi kuat atas tumbuh-kembangnya sistem perekonomian yang berbasis pada syariah. Pertumbungan sistem ekonomi ini tidak bertumuh pada profit, tetapi berdasar pada pencapaian kemaslahatan umat dalam praktik ekonominya. Realitas bangsa sebagai negara Muslim terbesar dengan dukungan umat yang dominan, menjadi modal penting dalam mewujudkan praktik ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai Islam. Nilai-nilai Islam menjadi dasar praktik ekonomi yang mengedepankan tercapainya kebaikan bersama. Namun demikian, realitas bahwa pengetahuan kalangan Muslim mengenai ekonomi Islam yang masih rendah dan dukungan SDM yang belum maksimal menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan dan kemajuan praktik ekonomi Islam. Praktik ekonomi Islam dapat menjadi alternatif bagi Muslim dalam menjalankan roda perekonomiannya. Kehadiran lembaga-lembaga ekonomi Islam akan mampu memfasilitasi praktik ekonomi yang non-konvensional ini. Demikian pula, hadirnya program-program studi di berbagai institusi pendidikan akan mampu mendorong secara maksimal upaya diseminasi pengetahuan mengenai praktik ekonomi ini. Hal ini kemudian dilengkapi oleh tumbuhnya pranata ekonomi yang berbasis Syariah seperti pariwisata halal, fashion muslim, farmasi, kosmetik dan sektor jaminan sosial yang juga sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia. (Prandawa et al, 2022).

Materi fikih muamalah sangat penting untuk dipelajari setiap muslim. Seorang muslim harus mempelajari fikih muamalah agar dapat beraktivitas ekonomi sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan hadits sehingga dapat terhindar dari melakukan transaksi yang haram. Pemahaman fikih muamalah adalah bekal utama untuk dapat memilah antara sah dan batil atau halal dan haram dalam ekonomi dan keuangan yang berdampak pada terwujudnya perekonomian syariah. Apalagi dengan hadirnya beragam produk dan jasa keuangan kontemporer mengikuti perkembangan zaman yang dinamis dalam roda perekonomian modern, kewajiban bagi setiap muslim untuk membekali dirinya dengan keilmuan dan pemahaman fikih muamalah. Sarana membangun paradigma ekonomi syariah di masyarakat salah satunya dengan mengoptimalkan peran masjid sebagai pusat dakwah dan pengajian dengan eksistensi majelis taklim ekonomi syariah melalui kajian fikih muamalah (Hidayatullah, 2021).

Pengertian Fikih Muamalah

Fiqh sering digunakan untuk menunjukkan ilmu fiqh. Dan Fiqh lebih mendalam serta lebih spesifik dari pada kata ilmu. Semua fiqh, mencakup ilmu, namun ilmu belum tentu mencakup fiqh. Dari segi istilah, Fiqh adalah: Mengetahui hukum-hukum syar'i secara terperinci, dengan cara memahami dari dalil-dalil dan dasar-dasar syar'i yang berasal dari Al-Qur'an, sunnah, Ijma', qiyas, dan sebagainya tentang suatu hal. Misalnya Fiqh dalam Al-Qur’an dikenal dengan fiqh al-kitab, dalam sirah, fiqh sirah, dalam hadits fiqh hadits, dalam da’wah fiqh al-da’wah dsb.

Dari segi bahasa, muamalat berasal dari kata amalah-yuamilu- muamalatan yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling mengamalkan. Sedangkan dari segi istilah, muamalah terbagi menjadi dua;

1. Muamalah Dalam Arti Luas Yaitu aturan-aturan/ hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.

2. Muamalah Dalam Arti Khusus Yaitu aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

Secara istilah (terminologi) fiqh muamalah dapat diartikan sebagai aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

Fiqh muamalah dalam pengertian kontemporer sudah mempunyai arti khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan dengan muamalah sebagai bagian dari pengelompokan hukum Islam oleh ulama klasik (Ibadah dan muamalah). Fiqh muamalah merupakan peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan nama hukum private. Hukum private dalam pengertian tersebut tidak lain hanya berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain, seperti hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli menerima barang dari penjual.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasanya “Fiqih Muamalah” adalah atauran-aturan (hukum) Allah swt, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan Keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.

Kaitan Ekonomi dan Fiqh Muamalah

Fiqh muamalah merupakan peraturan Islam yang berkaitan dengan hukumhukum perniagaan, dan menjadi frame work yangsah untuk ekonomi Islam. Hubungan antara fiqh muamalah dan ekonomi Islam adalah seumpama kajian tata bahasa dengan kemahiran penggunaan bahasa. Kegiatan ekonomi Islam tidak bisa dipisahkan dari fiqh muamalah, bahkan kegiatan itu hendaklah dikawal dan dipandu oleh fiqh muamalah.

Perbedaan akad dan wa’ad

Dalam kitab FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU Karya Frof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan Akad dalam bahasa Arab berarti ikatan (atau pengencangan dan penguatan) antara beberapa pihak dalam hal tertentu, baik ikatan itu bersifat konkret maupun abstrak baik dari satu sisi maupun dari dua sisi. Dalam kitab a1- Mishbah al-Munir dan kitab-kitab bahasa lainnya disebutkan: aqada al-habl (mengikat tali) atau aqada al-bay (mengikat jual beli) atau aqada al- ahd (mengikat perjanjian) fan aqada (lalu ia terikat). Dalam sebuah kalimat misalnya: aqada an-niyyah wa al-azm alaa syay (berniat dan bertekad melakukan sesuatu) wa aqada al-yamin (mengikat sumpah), maksudnya adalah mengikat antara kehendak dengan perealisasian apa yang telah dikomitmenkan. Dalam contoh yang lain: aqada al-boy wa az-zawaj wa al-ijarah (mengadakan akad jual beli, nikah, dan sewa-menyewa), maksudnya seseorang terikat dengan pihak lain dalam hal tersebut.

Pengertian secara bahasa ini tercakup ke dalam pengertian secara istilah untuk kata-kata akad. Menurut fuqaha, akad memiliki dua pengertian: umum dan khusus. Pengertian umum lebih dekat dengan pengertian secara bahasa dan pengertian ini yang tersebar di kalangan fuqaha Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah, yaitu setiap sesuatu yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya baik muncul dengan kehendak sendiri seperti wakaf, ibra (pengguguran hak), talak dan sumpah, maupun yang membutuhkan dua kehendak dalam menciptakannya seperti jual beli, sewa-menyewa, tawkil (pewakilan), dan rahn (jaminan). Artinya, pengertian ini mencakup iltizam secara mutlak, baik dari satu orang maupun dari dua orang. Akad dengan pengertian umum ini mengatur seluruh iltizam yang bersifat syar'i, dan dengan pengertian ini berarti ia sama dengan kata-kata iltizam. Adapun pengertian khusus yang dimaksudkan di sini ketika membicarakan tentang teori akad adalah hubungan antara ijab (pewajiban) dengan qabul (penerimaan) secara syariat yang menimbulkan efek terhadap objeknya. Atau dengan kata lain, berhubungnya ucapan salah satu dari dua orang yang berakad dengan yang lain (pihak kedua) secara syara' di mana hal itu menimbulkan efeknya terhadap objek. Definisi ini yang berkembang dan tersebar dalam terminologi para fuqaha.

Apabila seseorang berkata kepada orang lain, "Saya jual buku ini padamu," ini disebut dengan ijab. Lalu ketika orang lain tersebut berkata, "Saya beli” ini disebut dengan qabul. Apabila qabul telah terikat dengan ijab dan kedua orang tersebut termasuk orang-orang yang memiliki ahliyyah yang diakui secara syariat maka terjadilah efek dari jual beli itu pada objeknya (yang dalam hal ini adalah buku), yaitu berpindahnya kepemilikan barang tersebut kepada si pembeli dan berhaknya si penjual terhadap harga yang berada dalam tanggungan si pembeli.

Ijab atau qabul adalah perbuatan yang menunjukkan kepada ridha melalui proses akad. Pembatasan dengan menggunakan katakata "dalam beniuk yang disyariatkan" adalah untuk mengeluarkan dari definisi akad keterikatan dalam bentuk yang tidak disyariatkan, seperti kesepakatan untuk membunuh si fulan, merusak hasil panennya, mencuri hartanya, menikah dengan karib kerabat yang mahram dan sebagainya. Semua itu tidak diizinkan secara syariat sehingga ia tidak memiliki dampak pada objek akad.

Akad dalam Islam selalu bergabung ke dalam aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu aturan untuk akad yang kuat yang telah diatur oleh syariat untuk dijalankan oleh manusia. Kewajiban setiap individu terikat secara utuh dengan hukum-hukum syariat yang telah mengatur akad-akad tersebut. Kesimpulannya, akad dalam perspektif undang-undang adalah sarana untuk meraih maslahat pribadi untuk setiap pihak yang melakukan akad. Sementara, akad dalam perspektif Islam adalah untuk meraih tujuan-tujuan syariat yang bersifat global.

Sedangkan Wa’ad Secara etimologi wa’ad memiliki arti diantaranya adalah hadda yang berarti ancaman (al-wa’id), dan takhawwafa (menakut-nakuti). Secara terminologis wa’ad adalah pernyataan dari pihak/seseorang (subyek hukum) untuk berbuat/tidak sesuatu: serta perbuatan tersebut dilakukan dimasa yang akan datang (istiqbal) / keinginan yang dilakukan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain.

Mayoritas Fukaha dari Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanbali dan satu pendapat dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diniyah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karena wa’ad merupakan akad tabarru’ (kebijakan/kedermawanan) dan akad tabarru’ tidaklah lazimah (mengikat)

Dalam Ilmu Hukum Islam dikenal istilah al-Wa’ad (janji). Ulama berbeda pendapat mengenai status hukum wa’ad tersebut, apakah status hukum menunaikannya mulzim (mengikat) atau tidak mulzim (tidak mengikat). Pendapat dari ulama tersebut sama-sama kuat. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan fatwa No. 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’ad) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa status hukum menunaikan janji (wa’ad) adalah mulzim (mengikat).

DSN-MUI dalam menetapkan fatwa tentang janji (wa’ad) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, Konsep Wa’ad dan Fungsi terhadap Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 berisi sebagai berikut:

a. bahwa janji (wa'd) sering digunakan dalam transaksi keuangan dan bisnis yang bersifat tunggal, pararel dan/atau dalam transaksi yang multi akad (al- 'uqud almurakkabahy);

b. bahwa fuqaha berbeda pendapat (ikhtilaj) tentang hukum menunaikan janji (al-wafa' bi-al-wa'd) sehingga kurang menjamin kepastian hukum;

c. bahwa industri keuangan syariah dan masyarakat memerlukan kejelasan hukum syariah untuk menjamin kepastian hukum sebagai landasan operasional mengenai hukum menunaikan janji (al-wafa' bi-al-wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah

d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, dan c, Dewan Syariah NasionaIMejelis Ulama Indonesia, memandang perlu menetapkan fatwa tentang janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah untuk dijadikan pedoman.

Poitn Fatwa

a. Ketentuan Umum

1. Janji (wa'd) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak untuk rnelakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak lain (mau 'ud) di rnasa yang akan datang;

2. Wa 'id adalah orang atau pihak yang rnenyatakan janji (berjanji);

3. Mau 'ud adalah pihak yang diberijanji oleh wa 'id;

4. Mau 'ud bih adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa'id (isi wa'd);

5. Mulzim adalah rnengikat; dalarn arti bahwa wa'id wajib rnenunaikan janjinya (rnelaksanakan mau 'ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau 'ud dan/atau pihak otoritas untuk rnenunaikan janjmya.

b. Ketentuan Hukum Janji (wa'd) dalarn transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa'id dengan mengikuti ketentuanketentuan yang terdapat dalarn Fatwa ini.

c. Ketentuan Khusus terkait Pihak yang Berjanji (Wa’id)

1) Wa 'id hams cakap hukurn (ahliyyat al-wujub wa al-ada ');

2) Dalarn hal janji dilakukan oleh pihak yang belurn cakap hukurn, rnaka efektivitasl keberlakukan janji terse but bergantung pada izin wali/pengarnpunya; dan

3) Wa'id hams rnerniliki kernarnpuan dan kewenangan untuk rnewujudkan mau 'ud bih.

d. Ketentuan khusus terkait pelaksanaan Wa’d

1) Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;

2) Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau 'ud (wa 'd bersyarat);

3) Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan syariah;

4) Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan

5) Mau 'ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.

Kesimpulan

Akad melakukan transaksi pada saat itu ( bukan pada masa yang akan datang ) dan menimbulkan hak dan kewajiban. Sedangkan Wa’ad (Janji) keinginan untuk melakukan transaksi pada masa yang akan datang.

Menepati kesepakatan dalam akad hukumnya wajib. Bahkan setiap orang yang melakukan akad harus dipaksa untuk memenuhi kesepakatan, sedangkan dalam Wa’ad menepati janji hukumnya sunnah dan merupakan akhlak mulia. Wa’ad Ketika tidak dilaksanakan, tidak masalah. Tetapi jika menimbulkan kerugian pihak lain, harus ganti rugi.

Dalam akad akan mengikat kedua belah pihak yang melaksankan akad sedangkan wa’ad hanya mengikat kepada pihak yang mengucapkan janji saja.

Daftar Pustaka:

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu 4. Penerjemah, Abdul Hayyie Al Kattani, dkk; Penyunting. Budi Permadi. Cet-1. Jakarata: Gema Insani, 2011.

Fatwa DSN MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Wa’ad.

Hidayatullah, M. S. (2021). Urgensi Mempelajari Fikih Muamalah Dalam Merespon Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer, al-Mizan, Vol. 5, No.1, hlm. 33-59.

Prandawa, M. C.( 2022). Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia:Antara Peluang Dan Tantangan, JurnalIstiqro: Jurnal Hukum Islam, Ekonomi dan Bisnis Vol.8 / No.1: 29-47.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image