Mengenal Kawasan Perdagangan Maritim Melalui Pelabuhan-Pelabuhan di Kawasan Laut Sawu
Sejarah | 2023-01-06 20:46:03“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau...”. Lagu nasional tersebut menggambarkan wilayah terdepan Indonesia dari barat menuju timur. Akan tetapi, tanpa disadari masyarakat terbiasa dengan perbatasan wilayah tersebut, hingga melupakan Miangas dan Pulau Rote yang menjadi titik utara dan selatan Nusantara. Deklarasi Djuanda telah menggabungkan lima pulau besar menjadi satu kesatuan, yang kemudian dikenal Indonesia. Menjadi negara kepulauan terbesar didunia, gelar tersebut didapatkan Indonesia hingga saat ini dengan luas lautan mencapai 3,25 juta km terdiri dari 17.499 gugusan pulau. Selanjutnya, letak geografis Indonesia diapit oleh dua benua dan samudra, menjadikannya berada di jalur perdagangan dunia. Hal tersebut menimbulkan adanya interaksi penduduk Nusantara dengan bangsa luar, seperti Eropa, India, dan Cina. Hubungan dagang yang sudah lama dilakukan sampai saat ini tidak akan terjadi tanpa adanya peran pelabuhan.
Kejayaan kemaritiman dapat dicapai dengan beberapa alasan, seperti pulau yang memiliki pelabuhan sebagai tempat berdagang, bersinggah, dan kebutuhan pariwisata. Perbedaan komoditas suatu wilayah juga mendorong adanya sikap saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan. Balai Arkeologi Bali juga mencatat bahwa Nusa Tenggara Timur merupakan satu dari banyaknya pulau yang sudah menjalin hubungan dengan bangsa lain atas motif perdagangan yang memanfaatkan komoditas khas, yaitu kayu cendana. Masyarakat harus ingat bahwa banyak pelabuhan di sana yang sudah dikenal oleh Portugis dan Belanda sejak tahun 1515 salah satunya pelabuhan terkenal, yaitu Adonara dan Lembata. Tidak hanya itu, kegiatan perdagangan yang menghasilkan pertukaran budaya dengan beragam bentuk penyesuaian berdampak pada aspek agama, pemerintahan, dan pendidikan. Dengan demikian, aspek maritim menjadi komponen utama dalam memajukan kehidupan bangsa dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal oleh manusia.
Pulau Solor oleh Didik Pradjoko dijelaskan memiliki sebuah pelabuhan yang bernama Lohayong yang sudah dikenal para pelaut Portugis sejak tahun 1515. Pelabuhan ini termasuk pelabuhan yang aman dari terjangan badai dan hembusan angin kencang sehingga mereka yang kesini biasanya untuk beristirahat dan berlindung. Pelabuhan ini merupakan pusat perdagangan kayu cendana yang dibawa dari Timor. Tempat ini sendiri sudah menjadi tempat para pelaut Portugis sampai pada tahun 1613 dimana armada VOC menyerang benteng yang ada disana dan menghancurkan kekuatan Portugis. Terhitung dari tahun 1613, VOC sudah dua kali merebut dan meninggalkan Solor dengan berbagai alasan. Portugis pun memiliki keinginan yang besar untuk tetap berdagang dengan Solor yang menghasilkan kayu cendana. Hal ini dikarenakan perdagangan kayu cendana membawa keuntungan yang sangat besar bagi Portugis.
Pelabuhan Lohayong juga menjadi tempat alternatif saat situasi Pelabuhan Kupang tidak aman. Tidak hanya itu, para pedagang Bugis maupun Makassar pun lebih suka berlabuh di Solor karena tidak memungut pajak ekspor dan impor. Jika pada abad ke 17, Pelabuhan Solor merupakan pusat perdagangan teramai maka pada abad ke 19 gelar itu tersematkan kepada Pelabuhan Waingapu. Pelabuhan Waingapu sendiri terletak di Sumba. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan kapal-kapal pada tahun 1869 sebanyak 95 buah. Pelabuhan Waingapu menjadi pusat perdagangan dikarenakan posisinya yang strategis dan juga berkembangnya budidaya tanaman. Menurut laporan Residen Timor pada tanggal 20 Januari 1839, posisi Sumba yang strategis menjadikannya jalur pelayaran niaga lintas Amerika-Cina, Eropa-Cina dan Sumba-Australia Selatan. Tanah yang subur juga membuat hutan cendana dan pohon lontar tumbuh banyak disana. Dan juga tersedianya padang rumput yang luas sangat membantu pertumbuhan peternakan di Sumba.
Di antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores terdapat Pulau Komodo yang dijadikan pangkalan oleh para bajak laut yang akan menyerang desa-desa di pinggir pantai. Bahkan terdapat laporan yang menyebutkan bahwa pada abad ke 19, Pulau Komodo adalah tempat pembuangan orang-orang yang terlibat kejahatan. Meskipun dikenal sebagai tempat pembuangan, Pulau Komodo juga dikenal karena banyak menghasilkan asam jawa, gula enau dan tepung sapu yang akan dijual oleh para penduduk kepada pedagang yang singgah. Pulau Komodo juga menjadi daerah rute pelayaran dan perdagangan dari daerah lain. Meskipun menjadi daerah rute pelayaran dan perdagangan, Pulau Komodo memiliki sedikit penduduk. Para penduduk Pulau Komodo sehari-hari bermata pencaharian nelayan. Mereka mencari ikan di pinggir pantai menggunakan tombak dan berganti menjadi jala/jaring setelah diperkenalkan oleh para pedagang Bugis.
Sebagai sebuah pulau yang memiliki banyak teluk, Flores memiliki banyak pelabuhan yang didatangi para pedagang, salah satunya yaitu Pelabuhan Ende. Pelabuhan ini memiliki letak yang sangat strategis karena berada di tengah kawasan Laut Sawu yang menghubungkan daerah luar kawasan dan daerah dalam kawasan. Pelabuhan Ende sejak abad ke 16 telah memerankan peranan penting dalam pelayaran dan perdagangan. Didik Pradjoko dalam bukunya Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia menuliskan bahwa pedalaman Ende dan sekitarnya banyak menghasilkan beras, jagung, umbi-umbian, sarang burung dan kelapa. Pelabuhan Ende juga mendapatkan barang dagangan dari tempat lain seperti budak, teripang, gading gajah, kuda, kain katun, sutera, kayu cendana, dll. Pelabuhan inilah yang menjadi gerbang perdagangan hasil bumi dan hutan Flores dengan barang-barang dari luar pulau atau tempat yang lebih jauh. Pelabuhan Ende sendiri pernah diserang Belanda dengan alasan untuk menghapus perbudakan dan berhasil direbut dan diduduki.
Seperti halnya Pelabuhan Lohayong yang aman dari hembusan angin kencang dan terpaan badai, begitu pula dengan Pelabuhan Larantuka. Setelah gempa hebat melanda Solor pada tahun 1648, Pelabuhan Larantuka semakin ramai dan berkembang pesat. Didukung juga dengan tanah sekitarnya yang subur dan pertahanannya yang baik. Larantuka juga menjadi tempat pengungsian orang-orang Portugis yang berhasil melarikan diri setelah Malaka jatuh ke tangan VOC. Hal ini menjadikan Larantuka sebagai salah satu dari dua pusat kekuasaan Portugis di Timur Jauh. Para orang Portugis ini kemudian menikah dengan warga setempat dan membangun pemukiman baru. Pemimpin-pemimpin Larantuka dipegang oleh dua keluarga terkenal, yaitu da Costa dan da Hornay. Di Larantuka terdapat aliansi Lima Pati (lima pemukiman), yang terdiri dari desa-desa katolik yang berada di sekitar Larantuka, yaitu Adonara, Lamahala, Lawayong dan Lamakera.
Perbatasan wilayah Indonesia bagian selatan ada Pulau yang bernama Rote. Perlu diulas bahwa pulau tersebut bukan terluar tetapi terdepan. Dalam konteks wilayah, terdepan lebih cocok sebagai sebutan wilayah perbatasan. Pulau yang memiliki luas 1.280 km dengan rincian panjang 80 km dan lebar 25 km. Wilayah ini terbagi menjadi 18 bagian yang disebabkan oleh perjanjian mengikat antara penguasa lokal Rote dengan VOC, hubungan keduanya dimulai sekitar pertengahan abad ke-17. Interaksi yang menghasilkan adanya perubahan dan perkembangan terlihat dalam beberapa aspek kehidupan. Penyebaran agama katolik, seperti yang terjadi di daerah Thie melalui raja penguasa wilayah Rote atau biasa disebut Manek oleh orang Belanda. Salah satu hal istimewa pada masa itu, yaitu ketika masyarakat menggunakan bahasa Melayu dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda dan pendidikan.
Selanjutnya, tradisi lisan berkembang pesat menjadi saksi dalam perjalanan masyarakat Rote sebagai contoh adanya Tutui Teteek yang dikenal sebagai kisah nyata. Cerita yang menggambarkan adanya pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Buton, Solor, Sawu, dan Makasar untuk singgah dan melakukan perdagangan. Selain itu, wilayah ini memiliki dataran yang rendah dan kering sehingga masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. Dalam catatan N. Graafland, orang Belanda yang pada tahun 1887 mengunjungi Rote, ia menjelaskan kesannya tentang seorang Manek, yaitu Kila Muskanan selaku pelaut yang sudah berlayar ke banyak wilayah. Catatan tersebut menunjukkan tentang pekerjaan sebagai pelaut adalah pilihan dari sebagian masyarakat.
Nusa Tenggara Timur memiliki banyak pelabuhan, tidak hanya Rote Ndao dengan cerita sejarah yang mengesankan, NTT juga memiliki Kepulauan Solor dan Alor yang terdiri dari pulau-pulau kecil, contohnya Adonara dan Lembata. Masyarakat yang berpenghuni di Adonara awalnya sebagian menganut agama islam dan mulai pada abad ke-16 para imigran dari Portugis datang untuk menetap. Penduduk memanfaatkan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menanam jagung dan ubi, sebagian masyarakat juga memanfaatkan laut untuk menangkap ikan. Selanjutnya, ada Lembata yang secara geografis tidak hanya terdiri dari tepi sungai, namun juga terdapat pegunungan dan lembah-lembah yang curam dengan kondisi wilayah kering dan bebatuan.
Tepi sungai banyak dimanfaatkan oleh penduduk sehingga masyarakat mayoritas bekerja sebagai nelayan atau biasa disebut ola tiua, artinya mengolah laut dalam bahasa Lamalera. Kampung yang berada di ujung selatan Lembata, yaitu Lamalera dan masyarakat yang tinggal terkenal sebagai pemburu ikan paus. Perburuan ini menggunakan paledang, yaitu sebutan untuk perahu yang terbuat dari papan kayu, selanjutnya untuk memudahkan dalam penangkapan paus para pemburu menggunakan tombak yang pada bagian ujungnya dilengkapi oleh besi yang disebut tempuling. Disebutkan oleh Ludhy Cahyana bahwa mereka berburu paus saban Mei-November yang merupakan bulan migrasi paus. Mamalia laut itu melintasi Laut Sawu, bermigrasi dari Laut Banda menuju Samudera Indonesia. Selain itu, tidak lupa dengan tradisi lisan oleh Lia Asa Usu tentang kedatangan nenek moyang kampung Lembata yang berasal dari Luwuk, Sulawesi Tengah kemudian membawa pengaruh marga di Lembata.
Pendidikan merupakan bagian penting dalam menciptakan suatu inovasi dalam kehidupan. Aspek tersebut juga digunakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Sikka Alok atau Sikka Kesik, ditunjukkan dengan adanya pengukuran kedalaman laut, pelabuhan, teluk, dan tanjung. Kemudian banyak teluk yang diberi nama sebagai kebutuhan dalam pembuatan peta Pulau Flores, seperti Sikka Alok yang hingga saat ini dikenal Maumere, Mauloo, dan Maunori Mauponggo. Semua itu dilatarbelakangi dengan ramainya Pulau Flores sebagai tempat perdagangan dalam dan luar negeri, seperti Cina, Bugis, Selayar, dan lainnya. Sekolah standar didirikan sebelum tahun 1885 untuk putra-putri pribumi oleh Bruder Amatus van der Velden atas bantuan raja hingga tahun 1897 sekolah ini harus berpindah karena adanya wabah malaria. Sebuah sekolah yang tersisa di Maumere ini dipimpin oleh seorang katolik dari Belanda, Posthouder Kailola namanya. Ia berperan besar dalam penyebaran agama katolik yang berkembang begitu pesat.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah pembangunan gedung pasar dengan tiang dari lontar, mengatur tata letak kota, seperti di sepanjang jalan lurus dari utara ke selatan menuju Bukit Potong dibangun rumah-rumah dan pembagian kompleksnya, pada Januari 1905 dibangun tiang-tiang untuk penjara, pembukaan jalan raya dari Maumere langsung sampai ke Lela. Tetapi yang membuat sengsara, yaitu pembukaan jalan baru dengan sistem kerja paksa, seperti penggalian tebing curam, penggulingan batu besar, dan pemotongan bukit. Semuanya murni dikerjakan oleh tenaga manusia.
Kawasan Laut Sawu merupakan jalur penting perdagangan kayu cendana di Nusantara. Para pedagang maupun pelaut Portugis sering menyinggahi pulau-pulau yang berada di kawasan laut ini. Baik itu untuk berdagang ataupun hanya untuk beristirahat. Disini peran pelabuhan sangatlah penting karena pelabuhan merupakan tempat dimana kapal berlabuh, menaik turunkan penumpang serta tempat bongkar muat barang2. Untuk itu sangatlah penting mempelajari dan mengetahui apa saja pelabuhan- pelabuhan yang berada di kawasan Laut Sawu.
Berdagang merupakan salah satu aktivitas yang terjadi di pelabuhan. Perdagangan terjadi karena terdapat perbedaan komoditi di sebuah wilayah. Seperti halnya kayu cendana yang banyak terdapat di daerah Timur membuat para pedagang dari luar wilayah datang ke Timur untuk membeli kayu cendana. Begitu pula dengan komoditi yang tidak ada di wilayah Timur dibawa oleh para pedagang dari luar wilayah untuk diperjualbelikan disana. Perdagangan di pelabuhan juga terjadi karena letak suatu wilayah yang strategis. Disini letak wilayah Nusa Tenggara dan Timur sangat strategis sebab mereka menjadi gerbang pelabuhan antar wilayah Nusantara maupun wilayah luar yang jauh seperti Cina.
Beragamnya penduduk di wilayah Nusa Tenggara dan Timur juga menjadi salah satu dampak dari adanya pelabuhan. Banyaknya pelaut ataupun pedagang yang menetap di wilayah Nusa Tenggara dan Timur bahkan sampai ada yang menikah dengan warga setempat membuat adanya keberagaman di daerah tersebut. Tidak hanya itu, kebudayaan pun merasakan dampaknya. Karena banyaknya pendatang yang datang dan menetap, akulturasi pun terjadi antara budaya setempat dan budaya pendatang. Hasil dari akulturasi budaya tersebut bahkan masih bisa disaksikan ataupun didengar hingga saat ini. Pendidikan dan pembangunan juga merasakan dampaknya. Pembangunan sekolah, pembangunan pasar bahkan pengaturan tata letak kota adalah dampak dari pendidikan dan pembangunan yang dirasakan. Jadi, peran pelabuhan sangatlah terasa dampaknya mungkin hingga saat ini, seperti interaksi dagang, budaya, pendidikan dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA:
Marihandono, Djoko dan Bondan Kanumoyoso. (2016). Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Jenderal Kebudayaan Kemendikbud
Lapian, A. B. (1996). Peta Pelayaran Nusantara Dari Masa Ke Masa, Volume 2. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pradjoko, Didik dan Bambang Budi Utomo. (2013). Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
Pradjoko, Didik. (2006). PEREBUTAN PULAU DAN LAUT: PORTUGIS, BELANDA DAN KEKUATAN PRIBUMI DI LAUT SAWU ABAD XVII-XIX. Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII: Direktorat Nilai Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Pradjoko, Didik. (2010). Asal Usul Nenek Moyang dan Integrasi Masyarakat yang Tercermin dalam Cerita Tradisi Lisan Maritim di Kawasan Laut Sawu Nusa Tenggara Timur. Departemen Sejarah FIB UI.
Tim Penyusun. (1980). Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Cahyana, Ludhy. (2019). “Lamalera, Tradisi Berburu Paus Warga Lembata”. Traveltempo. Diakses melalui https://travel.tempo.co/read/1237202/lamalera-tradisi-berburu-paus-warga-lembata
Sumerata, I Wayan. “Harumnya Cendan Solor”. Balai Arkeologi Bali. Diakses melalui https://balaiarkeologibali.kemdikbud.go.id/id/informasi/berita/harumnya-cendana-solor
Sumber Gambar:
Peta Pulau Nusa Tenggara Timur. https://www.tataruang.id/2022/05/24/peta-ntt-lengkap-dengan-kabupaten-dan-kota/
Peta Pelabuhan Waingapu. https://www.waingapu.com/sering-overload-ruas-jalan-nasional-di-sumba-timur-rentan-rusak-lebih-cepat/#gsc.tab=0
Peta Pulau Komodo. https://www.welt-atlas.de/map_of_komodo_6-623
Peta Pulau Ende. https://www.mytrip.co.id/article/yuk-kita-buka-peta-ntt-untuk-mengenalnya-lebih-dekat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.