Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Sangat Potensial tidak Berlandasakan pada Moralitas
Edukasi | 2023-01-04 17:13:24Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI), Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengkritik kebijakan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan Presiden Joko Widodo.
Sebab, kebijakan tersebut sangat potensial tidak berlandasakan pada moralitas konstitusional yang aksentuasinya bukan saja semata tentang prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.
“Tetapi hakikatnya pembentukan undang-undang itu wajib berpijak pada moralitas konstitusional yang berada dalam UUD 1945 itu sendiri, yaitu penghormatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat secara penuh dengan menjadikan konstitusi sebagai "the supreme law of the land",” kata Fahri dalam pers releasenya.
Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, alhasil MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun, tapi kini Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja, dengan alasan kepentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, salah satunya imbas perang Rusia - Ukraina.
Fahri berpendapat, alasan kegentingan yang memaksa dijadikan sebagai "Sine qua non" sesuai argumentasi pemerintah adalah sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat, dengan mengunakan instrumen peraturan darurat "rechtnoodverordening" sesuai norma Pasal 22 UUD 1945, sebab kondisi serta alasan pemerintah harus dapat sejalan dengan konsep keadaan darurat yang secara doktriner disebut syarat clear and present danger (bahaya yang jelas nyata), dengan demikian dalam menetapkan syarat tersebut tidak boleh asumtif serta kalkulatif, Prinsip dasar dan parameter yuridis dalam mengkonstruksikan suatu sifat dan keadaan kegentingan yang memaksa telah dirumuskan batasan konstitusionalnya oleh MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 bukan hanya menyangkut keadaan bahaya namun harus juga diartikan dalam keadaan yang harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Jika merifer pada dalil presiden perihal ancaman ketidakpastian ekonomi global sebagai parameter kegentingan memaksa justru sedikit paradoks, sebab sebelumnya presiden telah menyampaikan kondisi perekonomian indonesia termasuk yang paling tinggi diantara negara-negara anggota G20 dengan capaian sebesar 5,72% pada kuartal III 2022, dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan, dengan demikian syarat objektif ini menjadi tidak "reasonable".
Fahri mengatakan, Perpu pada hakikatnya adalah keputusan presiden yang ditetapkannya dengan mengesampingkan DPR, karena adanya “kegentingan yang memaksa” yang berkekuatan UU (berbaju peraturan), Keputusan presiden ini mengandung sifat kediktatoran konstitusional, sehingga kontrol legislasi maupun yudisial merupakan sebuah keniscayaan konstitusional.
Dia menilai, secara terminologi, ketentuan norma Pasal 22 UUD 1945 mengandung pengertian “kegentingan yang mernaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi, sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan perpu, jika ditinjau dari aspek ini, seharusnya pengawasan yang dilakukan oleh DPR atas penerbitan Perpu, di orientasikan pada apakah telah terpenuhi “keadaan kegentingan yang memaksa” ataukah tidak, sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari perpu tersebut, Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, Presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya “ keadaan kegentingan yang memaksa” maka tentunya menurut ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perpu tersebut harus dicabut, setidaknya Ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut, 1, apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa perpu tersebut bertentangan dengan hakikat perpu yaitu tidak memenuhi Syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”, maka presiden sebenarnya dinyatakan tidak berwenang menetapkan perpu, 2. Perintah pencaburan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu, 3. Perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut, diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi "Checks and balances" dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas "limited government".
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan tidak tepat.
Sebab berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang amarnya Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”; serta memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen; adalah mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU a quo, "Reasoning" secara konstitusional atas putusan ini tentunya sangat gamblang, sebagaimana telah dirumuskan dalam putusan MK itu sendiri, proses pembahasan UU Cipta Kerja melanggar prinsip-prinsip fundamental sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional, MK menegaskan, oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.
Dengan demikian, hemat saya karena pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi, ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum, lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa "Constitution Disobedience" berdasar dari hal tersebut, maka dapat dipastikan produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah "meaningful participation" itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kedepan
MK sebagai "the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights,dengan kewenagan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri, tutup Fahri Bachmid.
https://indotimur.com/nasional/fahri-bachmid-perpu-cipta-kerja-kebijakan-yang-destruktif-atas-supremasi-konstitusi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.