Ketika Republika Versi Cetak Pamitan
Info Terkini | 2023-01-04 11:55:47Senin ( 2/1/2023) sore saya berkunjung ke sebuah rumah sakit. Di lobby, perhatian saya tertuju pada rak koran di sudut ruangan. Rak itu bertuliskan Republika. Saya perkirakan rak itu merupakan kerja sama promosi antara Republika dan pihak rumah sakit.
Tetapi, rak itu seolah tak lagi bermanfaat. Tak ada koran. Teronggok di sudut ruangan. Sudah barang tentu tidak ada lagi pemandangan orang membaca surat kabar sambil repot memegang kayu penjepitnya. Begitulah bila koran Republika menghilang. Bukan tanpa sebab ketika koran itu pamit untuk edisi cetak.
Keputusan yang mudah dimaklumi. Di dalam negeri sudah banyak surat kabar yang tidak cetak lagi. Data dari Media Directory Serikat Perusahaan Pers ( SPS ) mengungkapkan tahun 2020 tercatat 593 judul surat kabar. Padahal tahun 2016 masih 810 judul. Oplah 2016 sebanyak 19,078 juta eksemplar, turun menjadi 7,425 juta pada 2020.
Surat kabar yang hilang dalam versi cetak itu banyak yang bermigrasi ke digital. Mereka berdalih menyesuaikan diri dengan era digital. Mereka memilih melayani "homo digatalis".
Di luar negeri tak kalah mengerikan. Sebuah laporan menyebutkan di Amerika Serikat setiap pekan terdapat dua surat kabar tutup. Laporan dari Medill Scholl of Journalism, Media and Integrated Marketing Communication pada Northwestern University (Juni 2022) mengungkapkan pada Mei 2022 di AS terdapat 6.377 surat kabar. Pada periode yang sama tahun 2005 masih 8.891 surat kabar.
Para profesor di lembaga kajian itu memprihatinkan kehilangan surat kabar tersebut karena identik dengan kehilangan sumber berita terpercaya. Hilang pula alat edukasi masyarakat. Gantinya adalah ketidaksehatan informasi yang dipasok portal-portal. Akal sehat masyarakat digiring ke arah penumpulan.
Pikiran Waras
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akal berarti daya pikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya; ikhtiar. Sedangkan sehat berarti waras; baik dan normal (tentang pikiran). Dengan demikian, secara sederhana, akal sehat bisa diartikan pikiran yang waras.
Bermodalkan kewarasan itu, seseorang mampu mempertimbangkan, apakah hidupnya sudah di arah yang tepat, atau belum. Kewarasan juga perlu karena bisa digunakan untuk mengembangkan sikap kritis. Adanya sikap kritis berarti berani mempertanyakan cara berpikir maupun cara hidup yang lama. Hanya dengan keberanian untuk bertanya, perubahan ke arah yang lebih baik bisa tercipta.
Akal sehat berarti hidup yang bisa diandalkan. Kata-kata menjadi acuan utama tindakan, dan tak akan diingkari, kecuali ada alasan cukup kuat. Hidup dengan akal sehat berarti pula menghindari kesempitan berpikir yang justru memperbesar masalah. Hidup dengan akal sehat berarti hidup sejalan dengan kenyataan yang ada. Bukan mengada-ada. Bukan rekayasa. Apalagi kebohongan.
Namun akal sehat tidak datang alami. Ternyata harus dilatih dalam keseharian. Persis kata filsuf Aristoteles, kebaikan itu harus dibiasakan. Akal sehat adalah salah satu kebaikan. Maka dari itu, melatih akal sehat bisa lewat penyerapan informasi sehat. Informasi yang disajikan dengan akal sehat. Salah satu penyajinya adalah surat kabar. Ini berarti, rutin membaca surat kabar sama halnya mengasah akal sehat.
Lewat Pengendapan
Mengapa mengkonsumsi informasi via surat kabar mengasah akal sehat? Sebab, proses produksi informasi itu memang jelas-jelas mengedepankan akan sehat. Salah satu ciri akal sehat tadi menggunakan pertimbangan matang. Sudah barang tentu memilih informasi dengan pertimbangan matang tersebut. Ada proses pengendapan. Maksudnya, berita dibuat namun tidak seketika dipublikasikan. Setidaknya melewati tiga kali rapat. Mulai rapat kompartemen/desk hingga rapat redaksi. Banyak kepala yang ikut mempertimbangkan kelayakan sebuah berita.
Berbeda dengan portal berita. Begitu berita diperoleh, segera di- upload atau ditayangkan. Ada logika cepat ( pinjam istilah Haryatmoko ) di sini. Masing-masing portal beradu cepat. Perkara ada kekurangan atau kekeliruan, ada mekanisme update. Hal terpenting, di klik terlebih dahulu oleh pembaca. Inilah rezim clickbait ( umpan klik ) yang menjadi dasar pengiklan web.
Di sinilah urgensi surat kabar. Namun sayang, secara kuantitas kalah jauh dengan web, apalagi medsos. Dewan Pers menginfokan ada sekitar 47.000 an media online dan tak lebih dari 3.000 yang sudah diverifikasi. Belum lagi media sosial yang acap melempar informasi tak sehat. Per Januari 2022 tercatat 191,4 juta pengguna medsos atau 67,9% dari populasi penduduk. Maka dari itu, surat kabar dikepung medsos dan media online saat melakukan edukasi kepada masyarakat, dalam rangka mengasah akal sehat tadi.
Dari sini lahir sebuah harapan, setidaknya dari penulis, surat kabar bisa dan mau bertahan di negeri ini. Setidaknya bilamana edisi cetak dikurangi, e-papernya masih bisa dinikmati. Tentu berharap, Republika e-paper bisa dipertahankan walau bagi kebanyakan orang lebih suka baca korannya. Tapi setidaknya, e paper ikut menjaga sajian informasi yang tidak memburu clickbait semata. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.