Pejuang Kertas Lampu Merah
Kisah | 2025-01-08 17:01:37Bukan kebiasaan saya untuk membaca berita, apalagi koran yang memerlukan tenaga dan biaya untuk membelinya. Seingat saya, saya tidak pernah membeli koran baru, hanya membeli koran bekas sebagai alas ketika melukis. Suatu ketika, dosen menyarankan untuk membaca koran guna menambah literasi, mengingat literasi di kalangan anak muda saat ini sangat memprihatinkan. Awalnya, saya sedikit mengeluh karena sebagai anak rantau baru, saya belum terbiasa dengan lingkungan baru ini dan kesulitan mencari tempat yang menjual koran. Namun akhirnya, saya menemukan penjual koran di bawah terik lampu merah.
Dengan semangat dan penuh rasa syukur, beliau menghampiri saya ketika dipanggil. Dengan uang 6 ribu, saya mendapatkan koran dengan bonus ucapan terima kasih yang tak ada hentinya. Saya senang melihat reaksi itu dan memutuskan untuk membeli koran lebih sering. Namun, ada rasa sedih karena bisa jadi itu adalah penjualan pertama beliau di hari yang sudah menjelang sore itu.
Pada hari lain, saya bertemu dengan penjual koran yang berbeda. Di lampu merah dekat kampus, yang sebelumnya tidak saya sadari keberadaannya. Seorang penjual yang sudah berusia lanjut tetap semangat menawarkan korannya kepada orang-orang yang menunggu lampu berubah menjadi hijau. Saya memperhatikan beliau sambil berjalan di trotoar. Namun, tidak ada seorang pun yang tertarik membeli. Mungkin mereka seperti saya, tidak tertarik membaca berita, apalagi di koran. Saya pun memutuskan untuk memanggil beliau dengan lambaian tangan, yang dibalas lambaian tangan juga dan senyuman penuh kegembiraan. Dengan uang 10 ribu, yang lebih mahal dari harga sebelumnya, awalnya saya sedikit menyesal karena hari itu saya berencana makan di warteg dengan harga lauk yang cukup mahal. Namun setelah berpikir, mungkin uang tersebut bisa sedikit membantu beliau yang mungkin belum mendapat penghasilan sama sekali pada saat itu. Hal ini membuat saya merasa lebih ikhlas.
Sejak saat itu, saya menyadari bahwa di setiap lampu merah yang saya temui, mereka selalu ada. Mereka berjalan dari kendaraan satu ke kendaraan lainnya, membawa koran yang masih banyak. Kebanyakan dari mereka sudah berusia lanjut, mungkin karena di era sekarang sulit mencari pekerjaan pada usia mereka yang sudah tidak muda lagi dan mungkin itu satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Hal ini cukup miris karena di era sekarang koran yang menjadi sumber penghasilan mereka tidak lagi diminati. Banyak orang lebih memilih membaca berita di internet karena lebih praktis dan tanpa biaya.
Baru-baru ini, di cuaca mendung, seperti biasa saya berjalan di trotoar dan melihat penjual koran yang sama. Beliau duduk lesu, menunduk menghadap aspal, menunggu lampu hijau berubah menjadi merah. Koran yang dibawa belum terjual, cuaca semakin mendung dan sudah sangat sore. Akhirnya lampu merah yang ditunggu pun datang, beliau langsung berdiri, tak putus asa menawarkan jualannya yang terlihat masih utuh. Saya memanggil beliau, tetapi raut wajahnya kali ini berbeda. Beliau menghampiri saya dengan mata yang berkaca-kaca, menerima uang yang saya berikan dengan perasaan lega. Mungkin sebelum saya datang, beliau merasa ketakutan karena korannya tidak laku dan tidak ada uang yang dibawa pulang.
Mereka terus berjuang tanpa henti, dengan penghasilan yang tidak pasti setiap harinya. Mereka berharap ada seseorang yang mau membeli koran mereka, meskipun tak jarang mereka kembali tanpa hasil. Namun, mereka tetap semangat dan pantang menyerah, meskipun koran yang mereka bawa belum tentu mendatangkan keuntungan. Bagi saya, mereka adalah pejuang. Bukan pejuang yang berperang dengan senjata, tetapi pejuang yang berperang melawan nasib hidupnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.