Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MHD. Farrel Al Rizal

Fenomena Amplop, Silaturahmi atau Intervensi?

Politik | Tuesday, 03 Jan 2023, 20:29 WIB
Sumber: Pexels.com

Pers merupakan salah satu pemegang peran penting dalam tatanan demokrasi Indonesia. Pers merupakan pilar ke-4 dalam demokrasi Indonesia. Dalam negara demokrasi, kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat merupakan pembuluh bagi keberlangsungan sistem demokrasi. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi, menjaga dan melindungi setiap hak warganegara yang ingin menyuarakan pendapatnya. Dalam hal ini, pers merupakan salah satu pemegang peranpenting dalam menyuarakan hati rakyat. Di Indonesia, kemerdekaan pers dilindungi dalam UU No. 40 tahun1999 tentang pers. Pers diberi kekuatan oleh negara untuk dapat menyebarluaskan informasi yang sekiranya harus diketahui masyarakat.

Dengan kekuatan yang diberikan negara, pers tidak diperkenankan untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Negara juga mengontrol pers melalui Dewan Pers yang menyusun tentang Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik disusun agar tidak ada penyalahgunaan terhadap kekuasaan yang telah diberi oleh negara. Informasi dari pers juga tidak boleh diintervensi oleh pihak lain, dengan kata lain pers harus bersikap independen dalam menyajikan setiap informasi secara faktual. Walaupun pers memiliki kuasa dan perlindungan hukum yang dijamin oleh negara, namun pada kenyataannya pers di Indonesia masih memiliki isu terkait keautentikan beritanya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya fenomena amplop di kalangan wartawan.

Fenomena amplop adalah peristiwa dimana narasumber atau pihak yang terlibat dengan pemberitaan, memberi sejumlah uang atau barang (amplop) kepada wartawan. Ada dua pandangan dalam melihat fenomena amplop ini berdasarkan survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen pada tahun2005. Sebanyak 65% jurnalis menganggap pemberian berbentuk barang termasuk fenomena amplop. Sebagian wartawan menganggap bahwa fenomena amplop ditujukan untuk menjalin tali silaturahmi antara wartawan dengan narasumber terkait. Tetapi, sebagian lagi menganggap bahwa fenomena amplop dapat mengintervensi wartawan dalam memproduksi berita. Dapat disimpulkan bahwa tidak semua wartawan menerima amplop, walaupun masih banyak kasus yang ditemui.

Fenomena amplop sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap” (KEJ 2006). Dalam hal ini, suap didefenisikan sebagai segala sesuatu pemberian berupa uang atau barang yang dapat mempengaruhi independensi wartawan. Fenomena amplop menjadi permasalahan ketika sudah menggerus independensi wartawan.

Padahal independensi wartawan, sudah diatur dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik yang menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, independen ditafsirkan bahwa wartawan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers” (KEJ 2006).Dalam hal ini, independensi didefinisikan sebagai suara hati nurani tanpa intervensi pihak lain.

Kode Etik Jurnalistik memang sudah mengatur tentang integritas terhadap independensi wartawan, namun tidak terdapat sanksi yang jelas terhadap pelaku fenomena amplop. Ketidak jelasan terhadap sanksi yang diberikan kepada pelaku tersebut yang membuat fenomena amplop terus menjamur. Pada saat ini penanganan tentang fenomena amplop hanya sebatas kebijakan dari masing-masing instansi pers. Jika kita ingin serius dalam memberantas fenomena amplop ini, UU tentang pers khususnya Kode Etik Jurnalistik harusnya dapat mengatur sanksi terhadap pelaku fenomena amplop demi menjaga independensi pers dalam memberi informasi ke ruang publik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image