Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Judi Online, Transaksi Kapitalisme Bernilai Fantastis

Gaya Hidup | Tuesday, 03 Jan 2023, 19:55 WIB

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat sepanjang 2022, pihaknya telah menerima laporan terkait transaksi judi online, dengan nilai mencapai Rp 155,4 triliun. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan fakta ini saat melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (cnbcindonesia.com, 13/9/2022). Mirisnya, dari 312 rekening bank terkait judi online yang dibekukan oleh PPATK tak hanya melibatkan pelaku dari kalangan bandar, tapi juga ada dari pelajar, oknum polisi, PNS hingga ibu rumah tangga, sebagaimana yang disampaikan Juru Bicara PPATK, M. Natsir Kongah.

Perputaran uang di rekening para pelaku judi online mencapai Rp81 triliun pada Januari-November 2022. Angka tersebut naik signifikan 42,1% dibandingkan sepanjang 2021 yang sebesar Rp57 triliun (cnbcindonesia.com, 30/12/2022).

Menurut PPATK, ada beragam modus yang dilakukan dalam perputaran uang judi online. Pertama, penggunaan rekening nominee untuk melakukan deposit dan penarikan dana terkait perjudian. Kedua, menggunakan jasa money changer sebagai pusat untuk mengumpulkan uang, perputaran uang, dan dalam transaksi lintas negara. Ketiga,penggunaan usaha restoran di perumahan elit untuk menyembunyikan aktivitas judi.

Keempat, menggunakan virtual account, e-wallet, serta aset kripto sebagai sarana pembayaran jasa. Hal itu dilakukan untuk mengelabui penghimpunan dan pembayaran dana. Ternyata memang benar adanya bahwa kecanggihan teknologi memudahkan kegiatan manusia, namun ketika tidak ada pengawasan yang tegas dari aparat dan negara kemajuan itu menjadi belati dua sisi yang siap menerkam habis masyarakat.

Maraknya permainan berbasis internet seperti judi online kian membuat masyarakat resah. Sebab, tidak sedikit juga dari masyarakat yang mencoba adu nasib untuk menambah pendapatan melalui judi online. Pun cara mengakses judi online sangatlah mudah, yakni hanya bermodalkan telepon pintar dan uang puluhan ribu saja. Namun dalam jangka panjang justru judi online membuat pelakunya kecanduan dan berpotensi melakukan tindakan kriminal.

Ekonomi Kapitalisme Berpihak pada Ekonomi Non Riil

Satu saja sebenarnya yang menjadi penyebabnya yaitu tidak terwujudnya kesejahteraan akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem ekonomi ini sangatlah mendewakan kekuatan kapital atau modal, siapa yang memiliki modal terbesar maka dialah penguasa pasar. Terlebih karena landasannya adalah sekuler, bukan berdasar aturan syariat maka segala cara untuk mendapatkan setiap sen keuntungan diperbolehkan, termasuk transaksi non riil seperti kripto.

Padahal jika judi telah menjadi pilihan mendapatkan harta, dampaknya justru banyak yang buruk, hampir tak ada cerita sang penjudi menang telak sebab sebelum ia menang pasti sudah ribuan kali kalah, hingga faktanya tingkat ekonominya menurun karena jika seseorang itu kecanduan dan kalah dalam bermain maka dia akan terus mengeluarkan uang untuk terus bermain, tetapi permainan ini tidak selalu memberikan keuntungan untuk pemainnya.

Kemudian, permainan ini dapat membuat pemainnya menjadi lebih emosional dan stres karena karena kecanduan dan kalah dalam permainan ini. Pastinya ketika kalah menyebabkan uangnya habis maka, orang tersebut akan menghalalkan berbagai cara agar mendapatkan uang untuk bermain lagi seperti mencuri, merampok, dan lainnya. Seperti efek domino, angka kriminal pun meningkat, belum lagi jika pelaku yang depresi menghadapi kekalahannya melampiaskan Dengan minum alkohol. Banyak fakta mengkonsumsi minuman keras seringkali menjadi pemicu tindak kriminal.

Kecanggihan teknologi dalam sistem kapitalisme bisa menjadi modal bisnis penjualan data, bisa saja data yang digunakan untuk mendaftar dipakai untuk kepentingan yang tidak semestinya. Dan masih banyak dampak buruk lainnya yang mengiringi maraknya judi online.

Pertanyaannya, mengapa sudah jelas dampak buruknya lebih banyak karena secara nyata menolak pengharaman praktiknya, pemerintah seperti tak punya kuasa menghentikan bahkan menghapus situs-situs judi online berikut beberapa modus operandi lainnya? Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan, platform permainan judi online yang marak saat ini, berpeluang untuk bisa ditarik pajaknya oleh pemerintah, baik terhadap transaksi ataupun terhadap perusahaannya. “Bisa, seharusnya bisa (dipungut pajak dari situs permainan judi online). Tinggal nanti kita cek dari sisi regulasi,” jelas Yustinus dalam media briefing di kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Yah, judi online atau lebih tepatnya aplikasi online yang menyediakan game, iklan, dan lainnya ternyata menjadi peluang untuk menambah pendapatan negara dari sisi pajak. Kita tahu, susunan APBN kita hampir 90 persen adalah pajak dan utang luar negeri. Sungguh miris, dalam kapitalisme semua dibuat seolah sulit dan tak ada jalan lain, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Diberantas judi bisa menjadi tambahan pendapatan negara, tidak diberantas masyarakat rusak.

Yustinus menyebutkan pungutan pajak berlaku bagi seluruh penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang sudah mendaftar, termasuk 10 platform yang diduga sebagai judi online. Karena secara prinsip, kata Yustinus, PSE dalam lingkup privat yang terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat menjadi sumber informasi bagi Ditjen Pajak. Jika satu aplikasi memenuhi syarat maka akan dijadikan PKP ( Pengusaha Kena Pajak).

Disinilah letak krusialnya, yaitu membuka celah untuk munculnya transaksi kepentingan. Bagi pengusaha online yang bisa menyuap oknum maka akan mendapatkan keleluasaan menjalankan bisnisnya. Bahkan tahu sama tahu dengan aparat penegak hukum sebagaimana yang kasusnya telah bermunculan ( baca: salah satu dugaan kasus dalam perkara Sambo). Dan ini bukti kesekian bahwa sistem kapitalislah yang kian menyuburkan perilaku buruk masyarakat. Sebab orientasinya hanya perolehan materi, sementara dampak buruk dan kesesuaiannya dengan syariat tidak jadi perhitungan.

Fungsi negara juga dikerdilkan karena adanya guyuran uang dan previle (hak istimewa), yaitu sebatas regulator kebijakan. Bukan sebagai penanggung jawab kebaikan rakyat yang dipimpinnya dunia akhirat.

Penemuan Semestinya Tak Sekadar Diusut

Penemuan maraknya judi online dengan peredaran cash flow yang menggiurkan ini menggambarkan kerusakan dari sistem negara yang gagal menjaga akidah rakyatnya yang notabene mayoritas muslim. Maka sudah semestinya tak sekadar diberitakan di media sosial dan diusut. Namun juga dicari akar persoalannya sehingga bisa dihilangkan secara total. Dan yang kita tahu karena negara kita mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme dalam balutan sistem politik demokrasi.

Fenomena ini terjadi karena diterapkannya kapitalisme dan pemikiran-pemikiran merusak lainnya, seperti liberalisme, hedonisme dan nepotisme hingga kaum muslim terjauhkan dari agamanya. Gambaran tentang bagaimana Islam mensejahterakan masyarakat hingga tataran individu perindividu telah kabur bersama masivnya kampanye gaya hidup barat yang terus diadopsi umat Muslim.

Judi adalah salah satu cara mendapatkan penghasilan, langkah untuk sejahtera, hanya saja ini bukan langkah yang halal, bahkan diharamkan. Jelas pengharamannya dalam firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (Q.S Al-Maidah : 90) . Sekulerisme yang melandasi setiap kebijakan pemerintah mendorong rakyat untuk berupaya bertahan dalam kehidupan yang sulit, mahalnya berbagai biaya hidup dan lemahnya penguatan keimanan dari negara bagi rakyat. Benar-benar menjadikan rakyat mengambil risiko dengan berjudi, sebagaimana keputusan para wanita yang berangkat bekerja menjadi TKI di negeri asing, menghadang segala kesulitan dan bahaya.

Kesejahteraan Hakiki Hanya Ada Dalam Islam

Berbeda dengan Islam, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim memiliki isnstitusi negara berdasarkan syariat, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dengan hijrah ke Madinah dan menegakkan negara berdasarkan syariat . Inilah negara dengan konsep paling ideal bagi Muslim. Diterapkannya syariat secara Kaffah, di segala aspek kehidupan akan membawa kaum muslim menjadi khoiru ummah, umat terbaik.

Rusaknya pemikiran masyarakat hingga menghalalkan judi menjadi mata pencaharian mereka karena matinya semangat amar makruf nahi mungkar dan tergantikan oleh sikap individualistis, sikap menang sendiri dan merasa benar sehingga senantiasa menolak kebenaran. Negara akan membangun suasana keimanan melalui kajian, siaran-siaran di media apapun yang dimiliki oleh negara tentang syiar dan dakwah Islam.

Negara akan menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan penerapan ekonomi syariat, yang berbasis muamalah riil atau ekonomi riil, melarang judi, monopoli, kanzul mal, penipuan, curang dan lainny , kebalikan dari hari ini yang malah menjadi urat nadi perekonomian. Setiap warga negara yang membutuhkan pekerjaan, negara akan memberikan baik dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan, modal, pelatihan, lahan jika warga ingin bertani bahkan hingga modal bergerak dan lain sebagainya.

Darimana negara mendapatkan harta sebanyak itu, sementara hari ini negara kita terus diresahkan dengan APBN yang defisit, utang yang kian membengkak dan rakyatlah yang jadi beban? Jawabannya adalah dari kas Baitul Mal, yang pos pendapatan dan pengeluarannya ditentukan oleh syariat. Pos pendapatan yang didapat dari fa’i, jizyah, ghanimah, kepemilikan umum, kepemilikan negara dan lainnya akan sangat berlimpah guna pembiayaan seluruh kebutuhan rakyat. Termasuk penyediaan fasilitas publik untuk semakin mempermudah rakyat beraktifitas.

Negara akan menindak tegas siapa saja yang terbukti berjudi, tak ada tebang pilih. Berupa sanksi atau uqubat. Sebab ketika sanksi dan hukuman yang ringan, multitafsir sebagaimana yang di atur dalam KUHP baru terbukti tidak menyelesaikan persoalan bahkan malah dianggap remeh. Mujtahid Syaikh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Islam bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan bahwa bagi pelaku, pemain ataupun bandar judi akan mendapat sanksi ta’zir karena perbuatan yang mereka lakukan termasuk perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.

Imam Al- Mawardi dalam kitabnya Al- Ahkam as Sulthaniyah di jelaskan bahwa “Kadar hukuman takzir diseraepada qadhi dengan kadar yang bisa menghalangi pelaku kejahatan agar tidak mengulangi dan mencegah orang lain dari kemaksiatan tersebut”. Namun bukan berarti khalifah atau qadhi boleh menetapkan jenis dan kadar sanksi itu sesukanya. Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam Nizham al-Uqubat fi al-Islam menjelaskan bahwa khalifah atau qadhi hanya memilih dari jenis-jenis sanksi yang disyariatkan diantaranya hukuman mati , cambuk, penjara , pengasingan ,penyaliban, denda , al-Hajru (pemboikotan atau pengucilan), pelenyapan harta, mengubah bentuk harta, ancaman yang nyata, peringatan ,pencabutan hak tertentu , celaan dan ekspos.

Semua sanksi, uqubat dan ta’zir bersifat Jawazir ( memberi efek jera) dan jawabir ( penebusan dosa) agar di akhirat tidak ada lagi hukuman atas tindak kriminalnya didunia. Maka akan tercipta keadilan, sebab di sisi lain, ketika negara sudah menetapkan hukuman sesuai ketentuan syariat juga sudah menjamin terwujudnya kesejahteraan di berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan , sandang, papan dan pangan.

Maka, berharap bersihnya praktik judi dalam sistem kapitalisme hari ini hanya akan menyisakan kekecewaan, bak menegakkan benang basah, tak jarang antara pemerintah, penegak hukum dan pelaku justru terjadi saling komitmen. Belum lagi dengan produk hukum yang berpihak pada pemodal dan membebani rakyat makin tidak bisa diharapkan. Satu-satunya jalan adalah kembali kepada hukum Allah SWT, sebagaimana jaminan Allah swt dalam firman-nya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu....” ( QS Al-Anfal:24). Wallahu a’lam bishshowab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image