Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Attar NF

Umat Islam Boleh Merayakan Tahun Baru? Ini Penjelasan Dosen UM Bandung

Agama | Friday, 30 Dec 2022, 16:11 WIB
Dosen program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) UM Bandung Moch Fadlan Salam SPdI MPd (Dokumentasi Promosi & PMB UM Bandung)

Bandung – Masyarakat Indonesia, terutama yang ada di kota-kota besar mulai ramai memadati area-area strategis guna menyambut tahun baru 2023.

Apakah cara menyambut tahun baru sudah sesuai dengan tuntunan Islam? Terkait hal di atas, mari kita simak penjelasan dosen program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) UM Bandung Moch Fadlan Salam SPdI MPd.

Sebagai umat Islam, kita harus terlebih dahulu memahami bahwa tahun baru dalam Islam yaitu tahun baru Hijriah. Berbagai peristiwa terjadi pada tahun baru Hijriah, seperti hijrahnya Rasulullah SAW sebagai nabi akhir zaman.

Kemunculan tahun baru Hijriah dan Masehi memiliki sejarah yang berbeda, maka terdapat hakikat berbeda yang harus dipahami oleh umat Islam.

Fadlan menjelaskan bahwa tahun baru Hijriah mengacu pada perputaran bulan, bukan matahari seperti tahun Masehi. Oleh karena itu, terdapat perbedaan hari. Hijriah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi.

“Kita mengenal dalam satu tahun 365 hari, sedangkan kalau mengacu pada perhitungan bulan 354 hari. Makanya, kita pernah mengalami dalam satu Masehi umat Islam merayakan 2 kali Idul Fitri,” tutur Fadlan di UM Bandung, Jumat 30 Desember 2022.

Momen muhasabah

Islam tidak mengajarkan ritual merayakan tahun baru. Lalu, ia menerangkan yang harus dipahami yaitu terkait acuan penggunaan kalender tahun baru.

“Nah, jadi yang harus dipahami terkait dengan pengacuan kalender yang dipakai itu dalam tahun baru. Sebetulnya Islam tidak mengajarkan ritual, baik saat masuk tahun baru atau berakhirnya tahun,” terang Fadlan.

Fadlan menjelaskan bahwa dalam QS Ibrahim ayat ke-5 terdapat esensi menyambut tahun baru. Wa laqad arsalna musaa bi`ayatina an akhrij qaumaka minadzulumati ilan nuri wa dzakkir hum bi`ayyamillah, inna fii dzalika la`ayati li kulli sabbarin syakur.

Artinya, dari ayat itu kami mengutus Nabi Musa dengan membawa tanda-tanda kekuasaan kami dan kami perintahkan kepadanya, keluarkanlah kaummu dari kegelapan pada cahaya yang terang benderang.

Kemudian ada lafaz wadzakkir hum bi`ayyamillah, dan ingatkanlah mereka terhadap hari-hari Allah. “Maksud hari-hari Allah itu peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu, baik berupa nikmat atau siksaan yang telah diberikan. Jadi, esensinya dalam Islam muhasabah itu justru setiap waktu, tidak tahun demi tahun,” lanjut Fadlan.

Ia mengingatkan bahwa muhasabah tidak hanya pada pergantian tahun saja.

Tak ada waktu muhasabah

Adapun alasan masyarakat bermuhasabah pada tahun baru karena mereka tak memiliki waktu untuk muhasabah di waktu yang lain kecuali memomentum tahun baru.

Selain itu, perdebatan mengenai boleh dan tidak merayakan tahun baru masih berlangsung. “Bagi mereka yang melarang karena menganggap itu bagian dari tasyabuh (menyerupai): Man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum, barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia sama seperti bagian kaum tersebut,” jelas Fadlan.

Tak hanya itu, merayakan tahun baru dapat jatuh pada aspek akidah berdasarkan dalih yang dulu pernah terjadi saat Nabi hijrah ke Madinah, orang-orang memiliki hari raya yang mereka rayakan yaitu Nairuz dan Mihrajan.

Dalih terdahulu seperti itu karena berkaitan dengan akidah makanya tidak dibenarkan. Jadi, Nairuz dan Mihrajan ini telah terjadi dan kemudian ada hadis yang menyatakan hanya ada dua hari raya dalam Islam yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Dalam hadis dikatakan qodimtu ‘alaikum wa lakum yaumani tal’abuna fihi ma. Arti qodimtu ‘alaikum wa lakum itu aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main.

Fa Innallaha qod abdalakum yaumani khoiro minhu ma. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaumal fitri wa yauman nahr, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (Hari Nahr).

Ustad Fadlan menjelaskan jika hadis tersebut dikaitkan dengan sejarah, maka terdapat aspek akidah. “Kalau ada aspek muamalah yang bisa dilakukan pada momen itu (tahun baru) dan sulit dilakukan di waktu lain, boleh kita mengisinya dengan hal-hal yang positif,” papar Fadlan.

Momen bersyukur

Mengutip perkataan Din Syamsuddin bahwa jika pergantian tahun dijadikan momentum tahadus bini’mah atau untuk bersyukur tidaklah dilarang. Namun, bila jatuh pada hal-hal yang menyerupai, misalnya unsur kemusyrikan, merusak akidah, itu tidak dibenarkan.

Fadlan meminta umat Islam menyikapi pergantian tahun dengan bijak. Jika umat Islam merayakannya dan ditakutkan melakukan dosa, lebih baik tak merayakannya.

Lalu Fadlan mengutip QS Al-Baqarah ayat 170: Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.

Tampaknya, umat Islam di Indonesia lebih antusias menyambut tahun baru masehi dibandingkan dengan tahun baru Hijriah. Adanya fenomena tersebut, kata Fadlan, perlu dimaklumi karena penanggalan di dunia ini mengacu pada kalender Masehi.

“Alasannya logis. Penanggalan global mengacu pada kalender Masehi bukan Hijriah. Hanya sebagian umat muslim saja yang ikut mensyiarkan tahun baru Hijriah,” ucap Fadlan.

Kalender bermuatan ibadah

Ia menuturkan, ketika menyambut tahun baru Hijriah pun seharusnya umat muslim sama, bahkan lebih antusias dari menyambut tahun baru Masehi. Dalam penyambutan tahun baru Hijriah di Indonesia biasanya masjid-masjid besar mengadakan tabligh akbar dan sebagainya.

Berbeda dengan tahun baru Masehi, banyak kegiatan tidak bermanfaat yang dilakukan masyarakat. Misalnya meniup terompet, menyalakan kembang api, dan main petasan. Untuk momen itu, sebagian besar muslim rela bergadang menunggu pergantian tahun.

“Karena bergadang bisa bangun kesiangan dan tidak shalat. Itu berdosa. Sementara saat tahun baru Hijriah tak semeriah itu,” kata Fadlan.

Fadlan juga menegaskan bahwa umat Islam memerlukan kalender yang di dalamnya ada muatan-muatan ibadah. “Seperti waktu shalat, puasa, gerhana, dan lain sebagainya. Tapi ini perlu disosialisasikan oleh segenap lapisan umat Islam,” tegas Fadlan.***(MBAF)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image