Perspektif Baru Kajian Lingkungan dan Konservasi
Eduaksi | 2022-12-28 19:59:44Kajian lingkungan mempunyai cakupan yang luas dan melalui banyak pendekatan. Secara umum, kajian lingkungan dipahami dengan kajian untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Sehingga, kajian lingkungan hanya dipersempit dengan penanganan banjir, abrasi, sampah, dan lain sebagainya.
Diskursus kajian lingkungan sangat berkaitan dengan aspek sosial-historis masyarakat. Hal itu terjadi karena kajian lingkungan berkaitan juga dengan kebijakan yang diambil oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah. Bila di-crosscheck lebih dalam, landasan kebijakan (yang salah) telah menumbuhkan gerakan rakyat dalam mempertahankan lingkungan. Kebijakan (yang salah) tersebut lebih didorong oleh faktor politik kepentingan yang berkelindan dalam regulasi kebijakan dan lebih dominan berkaitan dengan kondisi ekonomi-politik.
Selain kebijakan (yang salah), faktor lain dari permasalahan lingkungan adalah kelalaian manusia yang berakibat bencana atau man-made disaster. Batubara (2010) menyatakan bahwa, man-made disaster diartikan sebagai bencana yang terjadi akibat perbuatan manusia. Lebih jauh lagi, (Harding dalam Batubara, 2010) mencoba memberi penekanan man-made disaster sebagai “kondisi yang dihasilkan dari sejumlah kebijakan dan tindakan negara”. Bencana seperti yang dimaksudkan oleh Harding ini biasanya bersumber dari tindakan negara yang berakibat pada hancurnya jaringan sosial dan komunitas.
Banyak kasus yang terjadi dalam permasalahan lingkungan dengan berbagai bentuk dan macam. Mulai dari skala lokal sampai internasional. Misalnya, dalam kasus bencana industri semburan lumpur Lapindo pada 2006 silam, dapat kita telaah bahwa masalah lingkungan diakibatkan oleh aktivitas industri. Bencana aliran lumpur panas ini disebabkan oleh aktivitas pengeboran pada sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) milik PT Lapindo Brantas Inc.
Perdebatan datang dari pakar/ahli mengenai bencana ini. Ada yang menganggap kejadian ini akibat dari gempa Yogyakarta yang terjadi belum lama sebelum semburan lumpur, sehingga masyarakat umum didorong untuk memahami kejadian ini sebagai bencana alam (natural disaster). Padahal, hampir semua masyarakat di Porong percaya bahwa bencana aliran lumpur panas ini disebabkan oleh aktifitas PT Lapindo Brantas Inc.
Selain bencana akibat industri, kasus ketidakadilan sosial-ekologis yang terjadi di Indonesia juga masuk dalam rentetan masalah lingkungan. Contohnya, perampasan tanah dan krisis di tanah Malind Papua. Lagi-lagi negara menjadi alat perampasan tanah bagi masyarakatnya. Melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), rakyat Papua harus mengalami perampasan tanah bahkan “beras-isasi” (dipaksa makan beras).
Jika dilihat dari kacamata geo-politik internasional, MIFEE lahir ditengah situasi global krisis pangan, termasuk energi, di tahun 2007/2008. Pada tahun 2010, keluarlah analisis oleh tim Badan Kordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) yang menentukan berapa luasan tanah yang efektif untuk MIFEE. Luas lahan cadangan yang efektif untuk lumbung pangan dan energi seluas 1,283 ha. Dari tanah tersebut, MIFEE akan memasok 1,95 juta ton padi, 2,01 juta ton jagung, 167 ribu ton kedelai, 64 ribu ekor sapi ternak, 2,5 juta ton gula, dan 937 ribu ton CPO/minyak mentah pertahun, hingga tahun 2020.
Menelaah Paradigma Konservasi
Paradigma konservasi yang diterapkan oleh pemerintah menjadi landasan kebijakan penataan ruang di Indonesia. Paradigma konservasi mengalami perkembangan seiring pergantian rezim kekuasaan. Awalnya, pemahaman konservasi klasik menjelaskan peran konservasi tanpa melibatkan masyarakat lokal dan adat dalam penguasaan ruang. Artinya penataan itu dilakukan secara tertutup untuk tujuan pelestarian dengan regulasi payung hukum yang ketat.
Seiring perkembangan zaman, pemahaman konservasi modern mengarah pada suatu pemeliharaan sekaligus pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Alikodra dalam Eko Cahyono (2012) menjelaskan bahwa konsep konservasi modern mengarah pada dua pemahaman. Pertama, kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya alam tidak habis. Landasan pemahaman konservasi itu menjadi kerangka dasar pemerintah dalam mengeluarkan regulasi.
Menurut Witter dan Bitmer dalam Eko Cahyono (2012), setidaknya, paradigma pengelolaan sumberdaya alam dipengaruhi oleh tiga aliran besar, yaitu: Konservasionis, Eko-Populis, dan Developmentalis.
Pertama, aliran pemikiran konservasionis memandang bahwa diperlukan kawasan atau wilayah yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia demi tercapainya keseimbangan ekologi. Pada dasarnya aliran ini menganggap penduduk setempat adalah ancaman bagi kegiatan konservasi.
Kedua, aliran pemikiran Eko-Populis memandang bahwa masyarakat lokal dan adat adalah penanggung risiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka memiliki peran penting dalam mengelola sumberdaya alam dan mempunyai kemampuan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak bentuk kehadiran swasta dan pelaku konservasi yang menafikan masyarakat lokal dan adat. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan ortodoksi ilmu sosial dan ilmu alam, tatapi lebih mendukung pada penegetahuan lokal.
Ketiga, developmentalisme memandang bahwa kerusakan sumberdaya alam didasarkan oleh kemiskinan, sehingga penanganan dan kebijakan lebih mengarah pada aspek pembangunan.
Paradigma pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia ternyata masih berparadigma pertama dan ketiga, yakni konservasionis dan developmentalis. Konsep kebijakan konservasi tersebut akhirnya menjauhkan masyarakat lokal dan adat dalam upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam.
Hal itu bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eko Cahyono (2012) yang berjudul Aksi Petani dalam Kontestasi Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon-Provinsi Banten. Eko memperlihatkan bahwa manusia di sekitar/kawasan TNUK masih dipandang sebagai “ancaman” daripada “solusi” pengelolaan kawasan konservasi.
Contoh lainya adalah alih fungsi lahan berbasis perusahaan dari kawasan hutan menjadi non-hutan (tanaman monokultur, HTI, dan lain sabagainya). seperti proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare yang terjadi pada 1995 di Kalimantan Tengah. Proyek itu bertujuan mengubah kubah gambut menjadi sawah.
Tujuanya adalah swasembada beras berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) tanggal 5 Juni 1995 tentang ketahanan pangan dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah.
Namun, yang terjadi adalah petaka bagi masyarakat dan kawanan ekosistem gambut. Proyek tersebut menimbulkan dampak negatif secara fisik, biologi, ekonomi, dan sosial karena tidak didahului dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Berbagai kasus di atas menunjukkan perlu adanya evaluasi serius oleh pemerintah dalam kebijakan pengelolaan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam. Evaluasi ini mengarah pada perbaikan orientasi dari sentralisme menuju regionalisme. Harus lebih melibatkan peran manusia lokal dan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Mengurangi orientasi pembangunan berbasis perusahaan dengan beralih berbasis masyarakat.
Hariadi (2017) dalam bukunya meneybutkan konsep bioregionalisme. Konsep tersebut muncul sebagai respon terhadap ketidakmampuan paradigma sains-industri dakam mengatasi permasalahan lingkungan. Meskipun begitu, paradigma bioregionalisme bukan berarti anti-pengetahuan sains-industri, pertumbuhan ekonomi, tekonologi, dan efisiensi industri.
Konsep itu memperlakukan komponen sains-industri sebagai alat yang berguna untuk memecahkan masalah sosial dan ruang hidup. Pada intinya, paradigma bioregion atau ekoregion—bahkan konsep bioregionalisme sekalipun, melihat pembangunan berjalan pada skala region. Lebih tertuju pada ruang hidup dengan berbagai karakteristik yang ada di dalamnya.
McTaggart dalam Hariadi (2017) merinci enam pokok pemikiran bioekoregionalisme, yaitu : (1) Menyadari bahwa masyarakat merupakan bagian dari sistem ekologi dan keduanya tak bisa dipelakukann secara terpisah, (2) Menyadari bahwa sistem yang kompleks seperti ekoregion lebih dari sekadar penjumlahan untug-rugi, dan harus diperhatikan secara keseluruhan, (3) Menyadari bahwa hubungan sebab akibat secara sederhana tidak cukup untuk memahammi kompleksitas ekoregion karena banyak eksternal dan internal yang memengaruhinya, (4) Memahami perubahan ekosistem lokal serta global merupakan hal normal, meski kerusakan saat ini lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia, (5) Menyadari bahwa adanya nilai-nilai komunitas dengan budayanya dalam lanskap yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan konservasi dan restorasi, (6) Menyadari bahwa ekoregion bukan objek, melainkan entitas yang berkembang sendiri dengan proses yang ada di dalamnya sebagai wilayah kesadaran masyarakat.
Dengan sasaran utama pengelolaan sumberdaya alam lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat lapisan bawah (adat, desa, lokal), maka kita bisa menilik lebih jauh kajian lingkungan lebih dari sekadar “teknikalisasi permasalahan”. Lebih jauh lagi bahwa, kajian lingkungan berkaitan dengan struktur ekonomi-politik. Tujuan akhirnya adalah meciptakan kondisi sosial-ekologis yang adil dan berorientasi pada kesejehteraan rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.