Fast Fashion dan Tantangan Etika Bisnis
Gaya Hidup | 2024-11-29 21:49:40Fenomena fast fashion telah mengubah cara kita berbelanja dan mempersepsikan mode dalam kehidupan sehari-hari. Pakaian-pakaian trendi dengan harga terjangkau dan desain yang terus berubah menjadi daya tarik utama bagi konsumen. Merek-merek besar seperti Zara, H&M, dan Uniqlo telah menjadikan "kecepatan" sebagai unggulan utama mereka, menawarkan koleksi baru setiap minggu. Namun, di balik kecanggihan model bisnis ini, terdapat sejumlah masalah etika yang mendalam, yang melibatkan dampak sosial dan lingkungan yang sering kali terabaikan.
Fast fashion memberi kenyamanan kepada konsumen dengan harga rendah dan akses mudah ke pakaian baru yang mengikuti tren terbaru. Dalam beberapa tahun terakhir, model ini mendorong konsumsi berlebihan, di mana pakaian hanya digunakan sebentar sebelum diganti dengan koleksi baru. Hal ini berkontribusi pada pola konsumsi sekali pakai yang merugikan.
Namun, dalam proses produksinya, fast fashion sering kali mengabaikan standar etika. Untuk menjaga harga tetap murah, perusahaan-perusahaan besar memindahkan produksi ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang rendah dan regulasi ketenagakerjaan yang longgar. Akibatnya, pekerja di pabrik-pabrik ini sering kali dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat buruk, dengan upah rendah dan jam kerja yang panjang.
Selain masalah tenaga kerja, industri fast fashion juga berperan besar dalam kerusakan lingkungan. Setiap tahun, industri fashion menghasilkan lebih dari 92 juta ton limbah tekstil, dengan sebagian besar pakaian yang dibuang sulit terurai di tempat pembuangan sampah. Pakaian-pakaian yang terbuat dari bahan sintetis seperti poliester, yang merupakan turunan dari minyak bumi, menambah beban polusi mikroplastik di lautan. Selain itu, proses pewarnaan dan produksi tekstil menggunakan bahan kimia berbahaya yang mencemari air.
Dalam laporan yang diterbitkan oleh Ellen MacArthur Foundation, disebutkan bahwa industri fashion menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon global—lebih banyak daripada gabungan sektor penerbangan dan pelayaran. Data ini menunjukkan betapa besar dampak industri ini terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan planet ini.
Menghadapi tantangan ini, beberapa merek mulai menunjukkan upaya untuk mengurangi dampak negatif mereka. Zara, misalnya, telah meluncurkan inisiatif untuk menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon dalam proses produksi mereka. H&M juga telah memperkenalkan koleksi pakaian yang menggunakan bahan daur ulang dan berkomitmen untuk mengurangi penggunaan plastik dalam produksinya. Namun, kritik terhadap upaya ini tetap ada, dengan banyak yang berpendapat bahwa perubahan tersebut masih bersifat kosmetik dan belum menyentuh inti masalah dalam model bisnis fast fashion.
Konsumen juga memegang peranan penting dalam merubah arah industri ini. Kesadaran tentang dampak sosial dan lingkungan dari produk yang kita konsumsi dapat mendorong perubahan. Gerakan slow fashion, yang mengutamakan kualitas, keberlanjutan, dan etika, mulai berkembang. Konsumen yang lebih bijak dalam berbelanja—memilih produk yang lebih tahan lama dan mendukung merek yang berkomitmen pada keberlanjutan—dapat mengurangi tekanan pada industri ini.
Industri fast fashion memang telah menawarkan kenyamanan dan harga terjangkau, tetapi di balik itu terdapat dampak sosial dan lingkungan yang sangat besar. Sudah saatnya kita sebagai konsumen untuk berpikir lebih bijak dalam memilih produk. Setiap pembelian yang kita lakukan memiliki dampak yang jauh lebih besar dari yang kita sadari. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dalam bisnis dan keberlanjutan, kita bisa membantu menciptakan perubahan dalam industri fashion yang lebih baik dan ramah lingkungan.
Anisa Fatimatuzzahra, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Ekonomi Syariah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.