Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Ayah dan Bunda, Kapan Terakhir Mendongeng untuk Anak?

Pendidikan dan Literasi | 2022-12-28 17:29:50

Ayah dan Bunda, Kapan Terakhir Mendongeng untuk Anak?

Sumber foto: https://cdn.popmama.com/

Bagi penggemar film-film Hollywood, adegan sosok Ayah yang tengah mendongeng untuk anaknya sebelum tidur mungkin menjadi hal yang lazim dijumpai. Sebuah adegan kecil mungkin, tetapi ini sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana aktivitas Ayah atau Ibu mendongeng untuk anaknya telah menjadi budaya di masyarakat Barat. Bahkan di film bergenre crime dan action sekalipun yang sarat dengan adegan kekerasan, kadang sutradara tetap menyelipkan adegan mendongeng kan?

Nah, selain mendongeng telah menjadi budaya, dalam adegan semacam ini juga menyiratkan kualitas komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak-anaknya. Apalagi interaksi itu dilakukan di kamar sang anak menjelang tidur, ini tentu menjadi ruang yang amat privat, sehingga komunikasi yang terjadi menjadi lebih berkualitas.

Para orang tua di Barat mungkin menginsafi bahwa waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan lainnya sudah terlalu banyak, sehingga mereka butuh waktu khusus (quality time) untuk membayar waktu yang hilang bersama anak-anaknya yang masih kecil.

Tidak hanya soal membangun kedekatan, aktivitas mendongeng juga bisa berdampak positif untuk pertumbuhan otak anak. Karena mendongeng bisa merangsang anak-anak menjadi lebih imajinatif. Imajinasi anak menjadi lebih kaya dan "liar", sehingga membuat pikiran anak terasak lebih peka dan kritis, sesuatu yang tentu dibutuhkan dalam hidupnya kelak.

Di film Hollywood, saat tokoh utama baru saja melakukan pembunuhan yang tak semestinya, ia bisa saja masuk ke toilet. Lalu mematung di depan cermin, atau memukul cermin hingga pecah. Tanpa dialog, penonton sudah bisa memahami kegalauan sang tokoh. Itulah imajinasi. Coba bandingkan dengan sinetron di Indonesia, dialognya justru over, bahkan suara batinnya sampai diperdengarkan. Belum lagi alur ceritanya yang mudah ditebak. Penonton tak dibiarkan berimajinasi, mungkin dianggap bodoh kali yak, hahaha.

Dikutip dari https://kumparan.com/, salah seorang anggota perkumpulan profesor di Universitas California, AS, Virginia Walter, PH.D, mengatakan bahwa aktivitas mendongeng atau membacakan buku anak secara berulang ternyata bisa membantu meningkatkan pengembangan logika berpikir anak.

Mungkin pertama-tama anak masih belum mampu mengkap isi cerita ketika pertama mendengarkan dongeng. Namun ketika dongeng itu terus diulang, anak akan bisa memahami. Menariknya, anak bahkan bisa menabak alur cerita pada dongeng tersebut, karena kemampuan otak anak merekam dongeng yang berulang.

Minimal, dengan sering mendengarkan dongeng, kecerdasan berbahasa anak akan meningkat. Hal ini dibuktikan dari hasil sebuah penelitian saraf di National Institute of Child Health and Human Development, AS, yang dipimpin oleh G. Reid Lyon, Ph.D., bahwa jika mendongeng atau membacakan cerita kepada anak sebelum tidur bisa memicu peningkatan perkembangan otak. Anak yang sering didongengi disebut akan lebih cepat terampil berbahasa.

Jadi, pantas ya Bun kalau para orang tua di Amerika sana rutin mendongeng untuk anak-anaknya sebelum tidur. Karena ternyata manfaatnya amat positif untuk perkembangan otak anak. Lalu bagaimana dengan para orang tua di Indonesia? Kapan terakhir Ayah dan Bunda mendongeng untuk anak?

Masalahnya, kalau generasi yang dulu tumbuh dengan banyak mendengarkan dongeng memiliki potensi imajinasi yang lebih kaya, anak-anak generasi Zilenial (generasi Z) saat ini justru hidup dengan kecenderungan imajinasi yang kurang berkembang.

Kalau Anda harus menyajikan tiga jenis konten dengan pesan yang sama kepada anak zaman now, yakni dalam bentuk tulisan, gambar, dan video, kira-kira jenis konten mana yang akan dipilih? Besar kemungkinan yang dipilih adalah video. Kalau harus diranking daftar preferensi anak dari ketiganya, maka urutannya adalah video dulu, baru gambar, dan pilihan terakhir adalah tulisan.

Anak tak perlu repot-repot berpikir dan menganalisa, tak terlalu butuh imajinansi tinggi untuk memahami sebuah konten. Pada akhirnya, generasi Z tumbuh dalam budaya serba instan, instanisasi. Dan itulah generasi medsos saat ini.

Coba bandingkan dengan generasi milenial yang lahir di 1980an, mereka masih bisa menikmati sebuah konten audio dengan penuh penghayatan. Ya, anak-anak kecil di 1980 an bisa mendengarkan sandiwara radio dengan khidmatnya. Padahal hanya dari suara, tetapi mereka bisa merasakan takut dan merinding saat plot alurnya sedang horor, bisa menangis dan tertawa mengikuti alur cerita.

Pengalaman yang sama sebetulnya bisa didapati pada aktivitas membaca dan lantas menulis, atau sebut saja budaya literasi. Saat membaca novel, kita serasa ditarik ke dalam alur cerita, hingga emosi diaduk-aduk sedemikian rupa. Kadang geregetan, kadang senyum-senyum sendiri, dan finally setelah kita merampungkan membaca, kesan tentang isi novel itu masih terbayang-bayang dengan jelasnya, bahkan bisa terawat lama di kepala.

Sekarang ini, banyak pasaangan-pasangan muda yang sebetulnya hidup berkecukupan, masuk kelas menangah. Tetapi waktunya sebagian besar dihabiskan untuk bekerja dan kesibukan lainnya, sehingga mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mendongeng atau membacakan cerita buku bagi anak-anaknya. Belum lagi dengan perkembangan anak yang bergantung pada gadget. Saat anak merengek di malam hari, orang tua yang sudah lelah memilih langsung memberi si anak gadget agar tangisnya reda. Dia tidak sempat berinteraksi, apalagi mendongeng untuk anak-anaknya menjelang tidur.

Padahal mendongeng tidak butuh waktu lama loh, paling 30 menit kan? Pun dengan mendongeng sekali dayung dua tiga pulau terlampaui; interaksi dengan anak lebih hangat, quality time dengan anak terbayarkan, dan pertumbuhan otak anak juga lebih bagus. Dan suatu waktu saat anak susah tidur, mungkin kita akan mendengar rengekan manjanya;

"Ayah cerita dulu dong, cerita pas Ayah masih kecil. Kalau nggak, cerita Nabi Muhammad apa Nabi Musa. Pokoknya adek nggak mau bobo kalo belum diceritain..." []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image