Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Frial Supratman

Kemunculan Studi Islam di Amerika Serikat

Agama | Saturday, 24 Dec 2022, 23:22 WIB
Universitas Harvard adalah salah satu kampus di Amerika Serikat yang memiliki peran besar dalam mengembangkan kajian Islam dan Timur Tengah melalui Center for Middle Easter Studies (CMES). (Foto: https://www.thedp.com/article/2019/09/penn-upenn-philadelphia-harvard-admissions-legacy-athletes)

Ketertarikan orang-orang Amerika Serikat mengenai Islam sudah dilakukan sejak abad ke-18. Hal ini disebabkan banyaknya imigran yang datang ke Amerika Serikat berasal dari Eropa. Seperti yang telah diketahui, Eropa bukanlah wilayah yang asing untuk Islam. Bahkan Negara Ummayah pernah menjadikan Andalusia (Spanyol) sebagai pusat pemerintahan negara Muslim sebelum akhirnya mengalami pengusiran pada abad ke-15 (Hodgson 1977).

Dengan demikian, para imigran yang datang ke Amerika Serikat kemungkinan besar sudah memiliki ketertarikan mengenai Islam. Informasi yang diperoleh mengenai Islam juga banyak diberikan oleh para orientalis Eropa yang sudah terlebih dahulu mempelajari Islam.

Diawali oleh orientalis Eropa

Kajian dari Edward Said memperlihatkan bagaimana para orientalis dari Inggris, Prancis dan Jerman banyak mendominasi kajian-kajian Islam di Eropa. Upaya para orientalis dalam mempelajari Islam dan Dunia Muslim menciptakan saling keterkaitan antara pengetahuan dan kuasa (Said 2003, Alatas 1977).

Rasa ingin tahu para orientalis sebelum paruh kedua abad ke-20 banyak dikaitkan pada aspek imperialisme. Para orientalis tersebut kebanyakan mempelajari Islam untuk membantu negaranya dalam memperkuat imperialisme terhadap Dunia Muslim sehingga banyak kajian-kajian yang dilakukannya mengandung bias.

Hal ini mendapatkan kritik yang tajam dari sarjana-sarjana poskolonial, seperti Edward Said dan Syed Hussein Alatas, yang menganggap bahwa tulisan para orientalis lebih bersifat politis ketimbang akademis.

Edward Said adalah ilmuwan Amerika Serikat yang banyak mengkritisi pekerjaan para orientalisme. Salah satu gagasan besar dari Said banyak dituangkan dalam bukunya yang berjudul Orientalism. (Foto: https://www.nytimes.com/2021/03/25/books/review/places-of-mind-a-life-of-edward-said-timothy-brennan.html)

Menurut Syed Hossein Nasr, ada juga orientalis yang simpatik terhadap Islam, seperti Louis Massignon, Sir Hamilton Gibb dan Henry Corbin. Kendati demikian, jumlah mereka sangat sedikit. Sealiknya, kajian Islam di Eropa dan Amerika Serikat pada awalnya banyak didominasi oleh misionaris dengan pandangan yang antipati terhadap Islam (Nasr 2012).

Memasuki abad ke-19 Amerika Serikat sudah memiliki berbagai fasilitas dan komunitas dalam mempelajari mengenai masyarakat di Dunia Muslim, seperti American Oriental Society (1842), The American Ethnological Society (1842) dan Modern Language Assosciation (1883).

Keberadaan komunitas-komunitas tersebut juga didukung oleh berkembangnya kegiatan filantropi yang dilakukan oleh Andrew Carnegie, J.P. Morgan, John D. Rockefeller dan Phoebe Apperson Hearst (Shami dan Miller-Idriss 2016). Mereka merupakan sponsor utama untuk melakukan eksplorasi terhadap Islam dan masyarakatnya di Amerika Serikat.

Hartford Seminary

Kendati demikian kampus Amerika Utara yang pertama kali menggunakan nama “Islamic Studies” bukan berada di Amerika Serikat, tetapi di Universitas McGill, Kanada. Program kajian Islam di universitas ini dibuka pada 1951 di bawah kepemimpinan Profesor Wilfred Cantwell Smith (Abbas 2021). Beberapa sarjana Islam terkemuka, sebelum datang ke Amerika Serikat, pun pernah menjadi dosen di McGill, seperti Ismail Faruqi dan Falzur Rahman.

Di kampus Amerika Serikat sendiri kajian Islam – meskipun tidak menyandang nama jurusan “Islamic Studies” – sebenarnya sudah dilakukan lebih dahulu dari McGill. Salah satu kampus yang paling awal membuka jurusan kajian Islam adalah Hartford Seminary.

Sejak tahun 1892-1893 Hartford Seminary sudah memiliki jurusan Kajian Islam dan Arab. Kajian dari Willem A. Bijlefeld menunjukkan bagaimana peran dari Hartoford Seminary dalam mengembangkan program kajian Islam dan Arab. Salah satu sarjana dari Hartford yang berperan dalam mengembangkan kajian Islam adalah Profesor Duncan Black Macdonald.

Hartford Seminari merupakan salah satu kampus di Amerika Serikat awal yang membuka program kajian Islam. (Foto: https://www.courant.com/news/connecticut/hc-news-connecticut-hartford-seminary-rename-20210920-eyofaey5kbavla7l6w7nmf4o5i-story.html

Kajian Islam di sekolah ini dibuka pada awalnya sebagai pendukung dari kajian Semitic. Hal ini diutarakan oleh Duncan Black Mcdonald bahwa “pengetahuan mengenai bahasa Arab adalah fondasi bagi kajian Semitic” (Bijlefeld 1993, 104). Saat itu bahasa Arab merupakan mata kuliah pilihan bersama dengan bahasa Syriac.

Sejak saat itu mahasiswa-mahasiswa di Hartford mulai memproduksi tesis dan disertasi mengenai kajian Islam. Bijlefeld merinci bahwa antara tahun 1930 hingga tahun 1953 terdapat 36 judul karya ilmiah mengenai Islam. Kebanyakan dari karya ini dibimbing di Departemen Kajian India dan juga Departemen Psikologi.

Selain itu ada karya-karya tersebut juga terdiri dari penerjemahan bahasa Arab (diantaranya karya dari al-Ghazali dan teks-teks tasawuf). Sisanya adalah karya mengenai syiah dan sebuah disertasi mengenai Negara Usmani. Dengan melihat ini Bijlefeld melihat bahwa kajian Islam yang ditulis lebih banyak bercorak pada kajian wilayah Muslim (Bijlefeld 1993).

Penulisan karya ilmiah mengenai kajian Islam di Amerika Serikat setelah tahun 1950-an pun mengalami peningkatan yang signifikan. Kurzman dan Ernst juga memperlihatkan bahwa tumbuhnya minat para sarjana di Amerika Serikat mengenai kajian Islam juga terlihat dari tulisan-tulisan yang diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah antara 1960-2001 dan 2002-2010.

Banyak dari kajian Islam tersebut tersebar di berbagai jurnal-jurnal tematik, seperti American Anthropologist, American Economic Review, American Historical Review, American Political Science Review, American Psychologist, American Sociological Review, Annals of the Association of American Geographers hingga Journal of American Academy of Religion (Kurzman dan Ernst 2016).

Antara kajian agama dan kajian wilayah

Pertumbuhan minat dari para pelajar dan sarjana di Amerika Serikat dalam mengkaji Islam tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat dominan dalam pertumbuhan kajian Islam di Amerika Serikat adalah kepentingan geopolitik di Timur Tengah. Hal ini juga yang kemudian mendorong adanya transformasi dan inovasi “Islamic Studies” dari kajian agama (Religion Studies) menjadi kajian wilayah, seperti “Middle Eastern Studies” atau “Near Eastern Studies”.

Selain itu kajian Islam juga banyak dilakukan di jurusan-jurusan “non-agama”, seperti antropologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu hubungan internasional, sejarah dan lain-lain (Kurzman dan Ernst 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kajian Islam di Amerika Serikat sangat kompleks dengan menggunakan berbagai pendekatan multidisiplin.

Kajian Islam pada awalnya memang dipelajari sebagai kelanjutan dari kajian orientalisme di Eropa. Beberapa universitas di Eropa, bahkan, hingga hari ini masih menggunakan istilah “orient” , seperti School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London.

Dalam kajian mengenai “orient” di masa lalu, pendekatan yang banyak digunakan adalah pendekatan teks. Pendekatan ini biasanya ditemukan dalam program kajian agama di universitas-universitas Amerika Serikat. Di sana kajian Islam juga dipelajari bersama dengan kajian Buddha, Hindu, Cina dan lain-lain. Untuk itu kemampuan pelajar memahami bahasa-bahasa Dunia Muslim sangat penting.

Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu filsuf Islam ternama yang mengajar di Amerika Serikat. (Foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Seyyed_Hossein_Nasr)

Seyyed Hossein Nasr menyatakan pemahaman mengenai teks-teks klasik Islam sangat penting untuk menjadi ahli dalam kajian Islam. Dia juga menekankan bahwa bahasa Arab “modern” saja tidak cukup untuk menjadi ahli kajian Islam. Para pelajar dan sarjana dalam bidang ini juga memerlukan pemahaman mengenai bahasa Arab klasik. Selain Arab, tentu saja, bahasa Persia, Turki, Urdu dan Melayu juga penting (Nasr 2012).

Pendekatan ini merupakan salah satu pembelajaran klasik dari kajian Islam di kampus-kampus Amerika Serikat. Para ahli yang mempelajari Islam melalui pendekatan ini mirip dengan gambaran mengenai orientalis yang dituliskan oleh Edward Said. Mereka biasanya memahami Islam hanya dengan bekal teks-teks Islam klasik dan kamus (Said 2003). Mereka seringkali juga disebut sebagai “armchair scholar”. Para profesor yang ahli dalam kajian ini biasanya membimbing mahasiswanya di kelas untuk membaca teks-teks klasik.

Namun perkembangan kajian Islam di Amerika Serikat tidak hanya dilakukan dalam konteks kajian agama. Kajian ini kemudian berkembang menjadi kajian-kajian yang menganalisis kehidupan Muslim melalui teori-teori modern yang berkembang di Barat. Hal ini membuat kajian Islam dilakukan melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial.

Para pelajar dan sarjana tidak lagi hanya meneliti Islam pada masa klasik, tetapi juga dinamika Muslim di era modern, seperti sistem politik, ekonomi hingga konflik sosial kontemporer. Salah satu program yang seringkali menjadi tempat mempelajari kajian Islam dengan pendekatan ilmu sosial adalah jurusan kajian Timur Tengah (“Middle Eastern Studies”) atau Timur Dekat (“Near Eastern Studies”). Keduanya seringkali sulit dibedakan di berbagai kampus-kampus Amerika Serikat.

Universitas Harvard, misalnya, cenderung menggunakan istilah “Middle Eastern Studies” di dalam program mereka, seperti Center of Middle Eastern Studies (CMES). New York University (NYU) juga menggunakan istilah program “Middle Eastern and Islamic Studies”. Sedangkan Universitas Chicago dan Princeton, misalnya, menggunakan istilah program “Near Eastern Language and Civilization”.

The University of Chicago merupakan salah satu kampus terbaik di Amerika Serikat yang menawarkan program studi Timur Dekat (Near Eastern Language and Civilization). (Foto: https://www.goodschoolsguide.co.uk/universities/usa-reviews/university-of-chicago)

Meskipun istilah tersebut berbeda-beda, tetapi program kajian tersebut biasanya ditujukan untuk mempelajari Dunia Muslim yang mayoritas dihuni oleh etnis Arab, Turki, Persia dan bahkan terkadang India Muslim (mayoritas menghuni Pakistan) yang berbahasa Urdu (Kurzman dan Ernst 2016). Adapun etnis Melayu yang mayoritas Muslim biasanya dipelajari di program “Southeast Asian Studies”.

Salah satu perbedaan antara kajian Islam klasik di departemen agama dengan departemen kajian wilayah adalah unit analisisnya. Di departemen agama biasanya Islam dikaji sebagai agama sehingga lebih cednerung membicarakan pada aspek-aspek fundamental Islam sebagai agama, seperti hukum Islam, ilmu kalam, tasawuf dan lain-lain.

Sedangkan kajian Islam di dalam departemen kajian wilayah lebih banyak membicarakan masyarakat. Selain itu unit analisis yang digunakan dalam kajian wilayah biasanya adalah negara-bangsa (nation state) (Rafael 1994).

Apakah “objektif”?

Meskipun pertumbuhan kajian wilayah di kampus-kampus Amerika Serikat juga tidak lepas dari warisan dari orientalisme Eropa, namun kajian wilayah pasca-Perang Dunia II merupakan program yang kompleks dan “terintegrasi dengan jaringan-jaringan intitusional, dari mulai universitas hingga pendonor (foundations), yang telah memungkinkan reproduksi dari gaya mengetahui (style of knowing) orang-orang Amerika Utara...” (Rafael 1994, 91).

Beberapa ahli antropologi dan ilmu politik dari kajian Timur Tengah, misalnya, seringkali direkrut untuk membantu pemerintah Amerika Serikat dalam mengambil kebijakan. Lisa Wedeen menunjukkan bahwa meskipun para sarjana ilmu politik sering direkrut oleh pemerintah, namun “tidak semua dari ilmuwan-ilmuwan politik mempromosikan imperium AS, atau memiliki nilai liberal atau menggunakan metode saintifik” (Wedeen 2016, 59).

Dengan kedekatan antara kajian wilayah dan area politik maka terdapat isu-isu yang diperdebatkan mengenai objektifitas dan subjektifitas. Para sarjana yang tergabung dalam kajian Timur Tengah selalu mencoba menggunakan metodologi yang “ilmiah” sehingga mempertahankan program mereka sebagai bagian kajian akademis.

Resat Kasaba memberikan gambaran bagaimana para sosiolog yang bekerja dalam lingkup kajian Timur Tengah mencoba menempatkan ilmu sosiologi dalam kerangka kajian wilayah. Salah satu metodologi dalam sosiologi yang dikembangkan biasanya dengan pendekatan kuantitatif, namun hal ini biasanya membuat penelitian-penelitian mereka lebih berjarak dari “dunia nyata” (Kasaba 2016).

Pendekatan yang digunakan dalam mempelajari Islam di program kajian Timur Tengah pun mendapatkan banyak kritik dari para sarjana Muslim itu sendiri. Selain subjektivitas, kajian Islam yang ditempatkan di departemen atau program kajian Timur Tengah kehilangan esensi dasar dari Islam. Hal tersebut disebabkan para sarjana di kajian Timur Tengah lebih banyak fokus pada aspek-aspek sosial dibandingkan keagamaannya.

Ahli falsafah Islam Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa kajian Islam (Islamic studies) lebih cocok dipelajari di dalam kerangka studi agama. Dia mengkritisi bahwa kajian Islam di Amerika Serikat mengalami distorsi karena menerapkan perspektif sekular (Nasr 2012).

Kritik dari Nasr menunjukkan bahwa para sarjana Muslim yang tinggal di Amerika Serikat itu sendiri tidak semuanya tertarik dengan kajian Islam yang ditempatkan dalam program Timur Tengah.

Program kajian Islam yang ada di kampus-kampus Amerika Serikat tentu saja mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perdebatan mengenai tujuan dibukanya program kajian Islam tentu saja tidak dapat dihindari.

Penulis menyatakan bahwa kemunculan kajian Islam di kampus-kampus Amerika Serikat merupakan fondasi dari upaya diplomasi publik yang dilakukan untuk menciptakan kesepahaman antara Amerika Serikat dan negara-negara Muslim.

Kendati demikian, pembukaan program kajian Islam saja ternyata tidak cukup untuk mendorong diplomasi publik. Untuk itu, pemerintah Amerika Serikat dan yayasan-yayasan besar dan berpengaruh di negara ini turut mendorong kedatangan para pelajar dan sarjana dari Dunia Muslim untuk dapat belajar di kampus-kampus Amerika Serikat. Selain itu, para sarjana Amerika Serikat pun didukung melalui pemberiaan donor (grant) untuk melakukan penelitian di negara-negara Muslim yang dibiayai oleh yayasan-yayasan Amerika Serikat.

Referensi

Abbas, Megan Brankley. Whose Islam?: The Western university and modern Islamic thought in Indonesia. Stanford, California: Stanford University Press, 2021.

Alatas, Syed Hussein. The Myth of Lazy Native: A Study of the Image of Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to 20th Century and its Function Ideology Colonial Capitalism. London: Frank Cass, 1977.

Bijlefeld, Willem A. "A Century of Arabic and Islamic studies at Hartford Seminary." The Muslim World LXXXIII, no. 2 (April 1993): 103-117.

Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization: The Classical Age of Islam (volume 1). Vol. 2. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1977.

Kasaba, Resat. "Middle East in sociology, sociology in Middle East." In Middle East studies for the new millenium, by Steney Shami and Cynthia Miller-Idriss, 82-111. New York: Social Science Research Council and New York University Press, 2016.

Kurzman, Charles, and Carl W Ernst. "Islamic studies in US universities." In Middle East studies for the new millenium: Infrastructure of knowledge, by Seteney Shami and Cynthia Miller-Idriss, 320-348. New York: Social Science Research Council and New York University Press, 2016.

Nasr, Seyyed Hossein. "Observing the observer: Islamic studies in America." In The State of Islamic studies in American universities, by Mumtaz Ahmad, Zahid Bukhari and Sulayman Nyang, 18-45. Vancouver: International Institute of Islamic Thought , 2012.

Rafael, Vicente L. "The Cultures of area studies in the United States." Social Test, no. 41 (Winter 1994): 91-111.

Said, Edward. Orientalism. London: Penguin, 2003.

—. Orientalism. London: Penguin Classics, 2003.

Shami, Seteney, and Cynthia Miller-Idriss. "Introduction: The many crises of Middle East studies." In Middle East Studies for the new millenium: Infrastructures of knowledge, by Seteney Shami and Cynthia Miller-Idriss, 1-27. New York: Social Science Research Council and New York University Press, 2016.

Wedeen, Lisa. "Scientific knowledge, liberalism, and empire: American political science in the modern Middle East." In Middle East studies for the new millenium: Infrastructures of knowledge, by Steney Shami and Cynthia Miller-Idriss, 31-81. New York: Social Science Research Council and New York University Press, 2016.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image