Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Cek, Amankan, dan Hajar Chard jadilah Obstruction of Justice dan Penembakan (bagian 2)

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 22 Dec 2022, 15:21 WIB

Dalam ragam bahasa suku bangsa, meskipun suatu kata yang diucapkan memiliki kesamaan dalam bunyi pengucapan, terkadang memiliki makna yang berbeda. Contohnya, kata “cokot” dan “atos”. Dalam Bahasa Jawa “cokot” berarti menggigit, sementara “cokot” dalam Bahasa Sunda berarti mengambil. Dalam Bahasa Jawa “atos” berarti keras, sementara dalam Bahasa Sunda, “atos” berarti sudah.

Ini sekedar ilustrasi. Ceritanya ada dua orang mengendarai mobil, yang seorang berasal dari suku Jawa, sementara seorang lagi berasal dari suku Sunda. Di tengah perjalanan, ban mobilnya mengalami kebocoran. Mereka pun berhenti untuk mengganti ban tersebut.

Sang sopir yang berasal dari Sunda meminta tolong temannya untuk mengambil dongkrak dengan menggunakan Bahasa Sunda. “Hey, cokot dongkrak!”

Dengan lugas temannya menjawab, “Ya, atos kang!”

Berkali-berkali sang sopir menyuruh temannya untuk mengambil dongkrak dengan kata “cokot dongkrak”, dan berkali-kali pula temannya menjawab dengan kata “Ya, atos kang!”.

Hampir-hampir saja terjadi pertengkaran diantara mereka. Untungnya mereka berdua cepat menyadari, telah terjadi salah paham diantara mereka.

Ketika sang Sopir yang bersuku Sunda mengatakan “cokot dongkrak” kepada temannya yang bersuku Jawa, ia berpikir sang sopir sedang berkelakar, karenanya ia menjawab dengan lugas, “Ya atos pak”.

Untuk meredakan suasana ia berujar kepada sang sopir, “masa dongkrak yang keras harus aku gigit, rontoklah gigiku, kang.” Akhirnya keduanya tertawa-tawa sambil mengganti ban mobil yang bocor.

Kini pemahaman yang berbeda terhadap makna suatu kata tengah menjadi perbincangan hangat dalam kasus “best seller” Ferdi Sambo dan Putri Cabdrawathi. Seperti sudah disebutkan pada awal tulisan, kata “cek dan amankan” dan “hajar Chard” menjadi bahan perdebatan dalam persidangan. Dalam beberapa kali persidangan, para pengacara Ferdi Sambo mengungkit-ungkit perintah Ferdi Sambo kepada Bharada Richard Eliezer.

Febri Diansyah, mantan juru bicara KPK yang kini menjadi salah seorang pengacara Ferdi Sambo mengatakan, Ferdi Sambo tidak memerintahkan Richard Eliezer untuk menembak Brigadir Joshua. Ia hanya memerintahkan Richard Eliezer menghajar Brigadir Joshua, “hajar Chard”, namun Richard Eliezer malah menembaknya beberapa kali sampai Brigadir Joshua terkapar.

Seperti halnya bawahan Khalid bin Walid dengan kata dafi’u dan Eliezer dengan kata “hajar Chard”, mereka berdua memiliki pemahaman yang berbeda terhadap makna kedua kata tersebut. Kedua kata tersebut bermultimakna karena terpengaruh teks dan konteks ketika pengucapan kata tersebut.

Dalam kajian psikolinguistik, untuk memahami makna suatu kata, kita perlu memahami beberapa tingkatan makna, yakni makna leksikal; makna gramatikal; dan makna kontekstual (Abdul Chaer, 2003, Psikolinguistik Kajian Teoretik, hal. 267).

Sederhananya, makna leksikal adalah makna yang tertera dalam lema kamus. Seperti kata dafi’u, secara leksikal berarti menghangatkan. Demikian pula kata “hajar” secara leksikal berarti memukuli dan sebagainya supaya jera; memukuli sebagai hukuman.

Namun demikian, makna leksikal belum cukup dijadikan landasan untuk memahami makna suatu kata. Makna leksikal bisa berubah maknanya sesuai dengan konteks atau kondisi ketika seseorang mengucapkan kata tersebut. Karenanya, untuk memahami makna suatu kata secara utuh, kita perlu mengkaji makna gramatikal dan makna kontekstual. Jenis makna yang terakhir yakni makna kontekstual harus benar-benar mendapat perhatian, sebab makna ini akan sangat berpengaruh terhadap makna suatu kata.

Konteks situasi seperti asal daerah, peristiwa, dan kondisi ketika seseorang mengucapkan suatu kata akan berpengaruh terhadap makna kata. Orang berasal dari suku Jawa memahami kata “cokot” dengan “menggigit”, dan kata “atos” dengan “keras”. Sementara orang yang berasal dari suku Sunda, memahami kata “cokot” dengan “mengambil”, dan kata “atos” dengan “sudah”.

Bawahan Khalid bin Walid yang berasal dari Bani Kinanah memahami kata dafi’u sebagai perintah untuk membunuh, sebab dalam dialek mereka, kata tersebut bermakna membunuh. Selain itu, ketika sang Panglima mengucapkan kata tersebut situasinya sedang menangani para pemberontak yang membangkang terhadap aturan Islam.

Bisa jadi Richard Eliezer memaknai kata “hajar” sebagai perintah untuk menembak. Teks dan konteks ketika Ferdi Sambo mengucapkan kata tersebut mendukung Eliezer melakukan penembakan.

Konon kabarnya, sebelumnya Ferdi Sambo menawarkan penembakan Brigadir Joshua kepada Ricky Rizal, namun ia tak sanggup melakukannya. Ketika Ferdi Sambo menawarkannya kepada Richard Eliezer, ia menyanggupinya. Karenanya, ketika ia sudah berhadapan dengan Brigadir Joshua dan mendengar teriakan “hajar Chard” dari Ferdi Sambo, dengan cepat ia memuntahkan pelurunya ke arah Brigadir Joshua.

Sama halnya dengan kata “cek dan amankan” yang diperintahkan Agus Nurpatria kepada Irfan Widiyanto. Bisa jadi ia memahami perintah atasannya sebagai Bahasa eufimisme, penghalus perintah.

Bukan rahasia lagi, kita sering mendengar kalimat “pelaku perampokan sudah diamankan”. Seharusnya kalau diamankan, pelaku itu benar-benar aman. Tapi dalam kenyataannya, pelaku kejahatan tersebut malah babak belur. Bisa jadi Irfan Widiyanto memaknai perintah untuk mengamankan isi rekaman CCTV di komplek perumahan tempat Ferdi Sambo tinggal dengan mengganti DVR CCTV tersebut.

Selayaknya kita berhati-hati dengan kata yang bermultimakna. Kita harus benar-benar memperhatikan teks, konteks, dan akibat dari kata-kata bermultimakna tersebut. Lalu bagaimana dengan aspek hukumnya?

Dalam hukum apapun terdapat aspek niat dalam melakukan suatu perbuatan. Aspek niat menentukan akibat atau sanksi hukum bagi pelakunya. Dalam ranah hukum Islam terdapat kaidah umum idza ta’dzdzarat al haqiqat yusharu ila al majazi, apabila makna hakiki berhalangan, maka suatu kata dibawa atau dipahami ke makna majazinya (kiasan/metafor). Kaidah ini kembali kepada teks dan konteksnya ) Abdul Karim Zaidan, 1977, Al Wajiz fi Syarhi al Qawa’id al Fiqhiyyah fi Syari’ati al Islamiyah, al Qaidah al Rabi’ah, hal. 18).

Karena situasinya usai melakukan peperangan, bawahan Khalid bin Walid memaknai kata dafi’u sebagai kiasan untuk melaksanakan pembunuhan terhadap para tawanan. Demikian pula dengan tindakan yang dilakukan Richard Eliezer. Selain ia sedang memegang senjata dan sebelumnya sudah ditawari untuk membunuh Brigadir Joshua, maka ketika mendengar kata “hajar” tidak ada makna lain di benaknya selain makna kiasan dari kata “hajar” yakni membunuh dengan senjata yang telah ia pegang.

Sama halnya dengan Irfan Widiyanto, kemungkinan ia memaknai kata “cek dan amankan” sebagai ungkapan penghalus dari atasan untuk melakukan suatu tindakan pengamanan. Tindakan tersebut tiada lain adalah mengganti DVR CCTV yang juga sebagai langkah untuk mengamankan posisi atasannya dari peristiwa yang telah terjadi.

Dalam ranah hukum postif (hukum pidana), suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana apabila memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perbuatan (actus reus) dan sikap batin pelaku atau niat (mens rea). Jika terdapat hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat dari perbuatannya, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya tersebut.

Lalu bagaimana dengan “hajar Chard” dan “cek dan amankan” yang terdapat dalam rangkaian kasus Ferdi Sambo dan Putri Candrawathi? Apakah maksudnya benar-benar tidak dimaksudkan untuk menembak, dan kata “cek dan amankan” tidak dimaksudkan sebagai perintah untuk mengganti DVR CCTV, tapi yang dimaksud adalah makna secara leksikal saja? Kita tunggu saja analisa dan vonis hakim sampai berakhirnya persidangan kasus ini. (Habis)

Ilustrasi : Kasus Ferdi Sambo (sumber gambar : metrotvnews.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image