Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Frial Supratman

Sains dan Naturalis Eropa di Hindia Belanda

Sejarah | Monday, 19 Dec 2022, 10:03 WIB
Sumber: Jurnal Transactions of The Zoological Society of London, vol.13 (1891-1895). Koleksi Biodiversity Heritage Library.

Masa Pencerahan abad ke-18 merupakan era di mana orang-orang Eropa melakukan eksplorasi terhadap dunia. Hal ini berkaitan dengan era kemajuan ekonomi dan teknologi yang dicapai oleh negara-negara Eropa, khususnya Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman – namun Jerman tidak melakukan eksplorasi kolonialisme hingga akhir abad ke-19. Banyak sejarawan yang berargumen bahwa dengan masuknya Eropa ke dalam zaman pencerahan, maka peradaban di luar Eropa masuk ke dalam “zaman kegelapan”. Artinya ketika Eropa mengalami pencerahan, maka Asia mengalami kemunduran.

Argumen di atas tidak seluruhnya tepat karena para penguasa Asia masih memiliki kekuatan untuk mengorganisir wilayahnya. Hingga abad ke-18 kekuatan Eropa dan Asia (khususnya Cina) tidak memiliki banyak perbedaan. Eropa tidak berarti lebih berkuasa dan kuat dibandingkan Asia. Salah satu indikasi kesetaraan Eropa dan Asia hingga abad ke-18 adalah pertumbuhan kota. Bahkan banyak kota-kota Asia lebih besar daripada London abad ke-18. Sebanyak 22 persen populasi Jepang pada saat itu sudah hidup di kota, sedangkan hanya 10-15 persen saja dari orang Eropa yang hidup kota (Pomeranz 2000).

Kendati demikian, apa yang membuat masa ini disebut sebagai masa pencerahan adalah kemampuan Eropa dalam menemukan kembali tradisi keilmuan Yunani kuno yang sudah ditinggalkan sejak lama melalui karya-karya pemikir Muslim, seperti Ibn Rusyd. Meskipun seringkali terjadi pendistorsian sejarah dengan tidak mengakui kontribusi pemikir Muslim dalam Renaisans Eropa. Selain itu, masa pencerahan juga ditandai dengan keaktifan Eropa dalam mengeksplorasi “negara luar” yang belum mereka kenal sebelumnya.

Pada masa ini ditandai dengan eksplorasi-eksplorasi yang memainkan peran penting dalam perkembangan sains. Meskipun demikian, tidak semua dari mereka dapat disebut “saintis”, “naturalis” atau “sarjana”. Hal tersebut disebabkan sulitnya memisahkan sains dari kepentingan politk.

William Marsden (1754-1836) dari Inggris, misalnya, melakukan eksplorasi terhadap alam Sumatra. Bukunya yang berjudul The History of Sumatra memainkan peran penting bagi pengetahuan Eropa mengenai Asia Tenggara. Begitu juga dengan Thomas Stamford Raffles yang melakukan eksplorasi terhadap wilayah Jawa melalui bukunya yang berjudul The History of Java.

Lukisan William MArseden (Sumber: Wikipedia)

Dengan munculnya rasa ingin tahu mengenai “dunia lain” yang jauh dari Eropa, maka muncul suatu asumsi-asumsi dari para pemikir Eropa mengenai “dunia lain” yang seringkali dikenal dengan ‘Orient’ atau ‘Timur’ – para pengkajinya seringkali disebut orientalis. Montesquieu yang menulis Lettres pada 1721 menunjukan bagaimana cara Eropa menggambarkan “eksotisme Timur” yang direpresentasikan dengan Persia. Genre seperti ini diikuti oleh beberapa penulis, seperti Oliver Goldsmith melalui bukunya Citizen of the World,or Letters from a Chinese Philosopher Residing in London to His Friends in the East dan Jose Cadalso yang berjudul Cartas Marruecas (Osterhammel 2018).

Para naturalis Eropa juga kemudian melakukan observasi langsung terhadap alam. Observasi langsung terhadap alam merupakan kunci daripada kesuksesan sains masa pencerahan. Peter Boomgaard menyatakan bahwa “selama masa pencerahan, proses kuantifikasi adalah kunci untuk perubahan saintifik. Ilmu-ilmu eksak tanpa matematika menjadi tidak dapat dipikirkan, dan bahkan dalam ilmu-ilmu sosial yang baru muncul, maka menghitung dan mengukur menjadi lebih jauh luar biasa” (Boomgaard 2013).

Minat yang besar terhadap observasi langsung telah mendorong para saintis untuk melakukan ekspedisi dengan kapal laut melintasi samudra untuk melakukan pengamatan. Pada pertengahan abad ke-18, misalnya, banyak astronom yang dikirim ke luar Eropa untuk melakukan pengamatan terhadap benda-benda angkasa.

Inggris disebutkan mengirim para astronomnya hingga sejauh Tanjung Harapan Utara, sekitar Hammerfest, dan Hudson Bay di Amerika Utara, serta Pasifik selatan, seperti yang dilakukan oleh ekspdisi James Cook. Kemudian Prancis mengirim para astronomnya ke Filipina, California bagian selatan dan Pulau Karibia Santo Domingo. Pada 1761 dan 1769 Belanda melakukan pengamatan dengan mengirimkan astronomnya yang bernama Johann Mortiz Mohr ke Batavia. Bahkan Mohr berhasil membangun observatoriumm astronomi di Batavia (Berkel 2013).

Belanda juga kemudian mengirimkan Johannes dan Nicolaus van Burmann untuk melakukan pencatatan mengenai tumbuhan yang hidup di Tanjung Harapan, Sri Langka dan Hindia Timur untuk perkembangan ilmu obat-obatan (Vriese 1858).

Ekspedisi ke luar Eropa tidak dapat dilepaskan dari jaringan dagang yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan dagang, seperti VOC dan EIC. VOC telah melakukan serangkaian usaha perdagangan di kepulauan nusantara, bahkan memainkan peran politik hingga ke pedalaman Jawa. Kemampuan VOC dalam menundukan penguasa Banten, Cirebon dan Mataram telah memudahkan para saintis atau naturalis untuk melakukan observasi lapangan.

Sebelumnya, jangankan para saintis, gubernur jenderal dan para pegawai VOC pun tidak memiliki keberanian yang cukup untuk melakukan eksplorasi lapangan. Namun sejak perdamaian dengan para penguasa pribumi, khususnya Mataram, maka keberanian untuk melakukan eksplorasi dapat dilakukan. Gubernur Jenderal van Imhoff pun berani melakukan meninggalkan tembok kota Batavia untuk menelusuri pedalaman Jawa (Veth 1878).

VOC sendiri mendukung upaya eksplorasi para naturalis untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai kepulauan nusantara yang masih “misteri” bagi mereka. Gubernur Sri Langka, Joan Gideon Loten (1710-1789) – ketika itu menjadi wilayah bawahan VOC – mendukung usaha saintifik untuk mengumpulkan informasi mengenai tanaman dan hewan dari Hindia Timur (kepulauan nusantara, khususnya Jawa).Bahkan para pegawai VOC itu sendiri – seperti Nicolaes Witsen dan Johan Huydecooper van Maarsseveen – juga menggunakan fasilitas yang dimiliki perusahaan untuk mendukung hobi dan ketertarikan mereka dalam bidang sejarah alam dan sejarah masyarakat yang hidup di luar negeri (Berkel 2013)

Orangutan merupakan salah satu hewan di kepulauan nusantara yang sering menarik perhatian para naturalis Eropa di masa lampau. Gambar diambil dari Jurnal Transactions of The Zoological Society of London, vol.13 (1891-1895). Koleksi Biodiversity Heritage Library.

Salah satu figur dari naturalis era pencerahan di Hindia Timur atau Hindia Belanda adalah seorang dokter militer bernama Franz Junghuhn (1809-1864). Meskipun Junghuhn tidak hidup pada abad ke-18, namun era pencerahan tidak berhenti pada 1800. Semangat pencerahan berlanjut pada masa setelahnya dan menjadi landasan bagi pembangunan sains modern yang puncaknya dirayakan pada akhir abad ke-19. Andrew Goss menyebut Junghuhn sebagai “Alexander von Humboldt dari Jawa” karena kegemaranya berpetualang dan mencatat data-data mengenai alam, seperti gunung, fauna, flora, lokasi geografis.

Namun Junghuhn lebih banyak mencurahkan energinya untuk meneliti Jawa. Disebut Alexander von Humboldt dari Jawa karena Junghuhn melakukan imitasi terhadap bagaimana cara Humboldt melakukan pengamatan dengan melakukan “demistifikasi terhadap hutan tropis yang masif dan belum dikenal” (Goss 2011, 17). Sebenarnya pemikiran sarjana pada masa itu menyangka bahwa cara pandang pribumi terhadap ilmu pengetahuan diwarnai dengan mistik memiliki bias Eropasentris.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peradaban di luar Barat memiliki cara tersendiri dalam mengambil ilmu pengetahuan. Pribumi di nusantara tidak memandang hutan dengan cara yang mistik, tetapi memang mereka memandang hutan sebagai suatu hal yang sakral, sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Sementara Barat melalui modernisasinya justru ingin mendesakralisasi cara pandang terhadap alam (Nasr 1993).

Foto dari Franz Junghuhn (Sumber: Wikipedia)

Dalam biografi singkatnya yang ditulis oleh H. Rochussen pada 1865 untuk mengenang jasa-jasanya, disebutkan bahwa Franz Junghuhn dilahirkan di Masfeld, Jerman, pada 26 Oktober 1812. Dia tidak memiliki pendidikan khusus sebagai seorang ahli ilmu botani, namun justru merupakan seorang dokter. Pertemuan dengan mata kuliah botani dan geologi selama menempuh kuliah di jurusan kedokteran telah membuatnya semakin menyukai dua bidang tersebut.

Pada 12 Oktober 1835 untuk pertama kalinya Junghuhn ditugaskan di Rumah Sakit Militer Batavia. Kemudian tidak lama kemudian pada Februari 1836 dia dipindahkan ke Yogyakarta. Rochusssen menyebut bahwa permulaan Junghuhn untuk tertarik terhadap alam Hindia Belanda adalah ketika dia ditempatkan di Batavia dengan melihat tanaman-tanaman juga lukisan-lukisan yang indah (Rochussen 1865).

Junghuhn banyak melakukan eksplorasi ke pedalaman Jawa dengan mengamati aktivitas gunung-gunung berapi. Bagi Junghuhn “jiwa dari Jawa termanifestasikan oleh tumbuhnya bunga-bunga yang beraneka ragam di gunung-gunung berapi” (Goss 2011, 19). Banyak yang menganggap bahwa catatan dari Junghuhn merupakan cara saintifik satu-satunya dalam memahami gunung berapi.

Masyarakat pribumi kemudian dianggap mistis dan tidak memiliki “sains” mengenai wilayahnya sendiri. Bahkan hingga awal abad ke-20 para penulis asing menganggap bahwa sebelum kedatangan orang-orang Eropa ke Hindia Belanda tidak ada data mengenai gunung berapi di Jawa yang dapat dipercaya.Seorang manajer perusahaan timah asal Amerika Serikat, Alexander L. Ter Braake mencatat bahwa sebelum abad ke-16:

Selain itu, dalam kata pengantar untuk buku karya Junghuhn, F.Gunst menyebut bahwa Junghuhn merupakan merupakan tokoh yang membuat Kepulauan Sunda dapat diakses oleh “kita” (Gunst 1867). Anggapan bahwa para naturalis Eropa berkontribusi terhadap akses pengetahuan memang menjadi hal yang lumrah pada saat itu. Hal tersebut disebabkan sedang berkembangnya pemikiran mengenai superioritas Eropa terhadap dunia di luar Eropa.

Pencerahan memang membawa orang-orang Eropa terhadap rasa ingin tahu yang mendalam mengenai “dunia luar” yang mereka anggap eksotis. Kendati demikian, hal tersebut juga mendukung adanya stereotip negatif terhadap “obyek” yang mereka amati. Bahkan mereka meyakini bahwa hanya Eropa yang dapat membawa pencerahan kepada orang-orang pribumi.

Para naturalis – termasuk Junghuhn – juga masih terjebak dengan teori iklim yang menyatakan bahwa Eropa lebih maju daripada luar Eropa karena iklim yang dimilikinya. Selain itu Junghuhn juga menyatakan bahwa ras Eropa lebih superior daripada yang lain. Untuk itu Junghuhn menjanjikan untuk membawa semangat “Gospel” yang menuntun pribumi untuk menjadi bangsa maju (Goss 2011).

Selama melakukan perjalanan dan observasinya di Hindia Belanda, Junghuhn memiliki banyak koleksi, baik itu koleksi mengenai mineral maupun botani. Setelah Junghuhn wafat maka koleksi-koleksinya diserahkan kepada Lembaga Masyarakat Kesenian dan Ilmuwan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunstenn en Wetenschapppen). Koleksi tersebut termasuk klise dari hasil fotografi yang dilakukan oleh Junghuhn. Namun ternyata koleksi-koleksi mineral diputuskan untuk disimpan Departemen Pertambangan yang terdapat di Buitenzorg dan di Museum Asosiasi Fisikawan Kerajaan. Asosiasi Fisikawan Kerajaan juga ditugaskan untuk menyimpan koleksi-koleksi botani, ornitologi dan zoologi (Bestuursvergadering van 22 April 1865 1865).

Gambar 9. Ilustrasi tanaman teh diambil dari Jurnal The Family Flora and Material Medica Botanica Vol 2 1845. Koleksi dari Biodiversity Heritage Library.

Franz Junghuhn merupakan tipikal daripada naturalis yang hidup di Hindia Belanda pada akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. Biasanya mereka merupakan orang-orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda untuk ditugaskan sebagai pegawai, adminstrator, dokter, tentara dan lain-lain. Namun selain mengurus pekerjaan profesionalnya, mereka juga tertarik pada lingkungan Hindia Belanda yang dianggap “eksotis”.

Populasi orang Eropa pada masa itu memang masih terlalu sedikit. Selain orang Eropa totok yang datang dari Belanda, kota-kota di Hindia Belanda, juga dihuni oleh orang Indis hasil pernikahan antara orang Eropa dengan pribumi. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff, usaha untuk mendatangkan imigran Belanda semakin ditingkatkan. Menurut Jean Gelman Taylor, Van Imhoff ingin “membangun karakter Belanda di ibukota kolonial dengan membawa keluarga-keluarga kota dan mengizinkan mereka untuk berdagang dalam berbagai kategori komoditass dan juga berdagang di pelabuhan-pelabuhan di bawah monopoli VOC” (J. G. Taylor 2009, 79).

Orang-orang Eropa yang tinggal di kota-kota besar, seperti Batavia, memiliki ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan, seperti halnya sejawat mereka di kota-kota besar Eropa. De Haan pun mencatat bahwa orang-orang Eropa yang tinggal di Batavia sudah memiliki ketertarikan terhadap ilmu botani (De Haan (I) 1910).

Dengan demikian, ada kelompok orang-orang Eropa atau Indis yang memang memiliki hobi untuk membaca, mendiskusikan dan mengamati sains. Mereka kemudian membentuk Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen , BGKW) sebagai wadah untuk menyalurkan minat mereka akan sains.

Pembentukan BGKW merupakan respon atas sulitnya mendapatkan pendidikan dan akses terhadap ilmu pengetahuan dan seni di Batavia. Ketika BGKW dibentuk, Belanda sudah memiliki organisasi-organisasi sejenis di Belanda, seperti Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen te Haarlem pada 1752, Het Bataafsch Genootschap der Proefondervindelijke Wijsbegeerte te Rotterdam pada 1770 dan Het Zeeuwsche Genootschap der Wetenschappen te Vlisingen pada 1769 (Kinderen 1879).

Bahkan BGKW juga kemudian berhasil mendirikan Asosiasi Naturalis pada Oktober 1850 untuk mewadahi kegiatan para naturalis. Untuk mewadahi karya-karya para naturalis di Hindia Belanda maka dibentuklah media yang memuat karangan para naturalis, seperti Tijdschrift voor Nederlands Indie, De Gids, De Kopiist, Indische Magazin hingga Java Bode (Goss 2011).

Publikasi mengenai sains pada masa itu memang sedang gencar mengingat ketertarikan masyarakat Eropa untuk menerbitkan sains pun sangat besar. Peter Boomgaard menyebutkan bahwa penerbitan mengenai sains antara 1770’an hingga 1790’an meningkat. Bahkan ini berdampak pada meningkatnya jasa ilustrator untuk buku-buku sains sehingga buku tersebut menjadi lebih menarik (Boomgaard 2013). Perkembangan sains, ketika itu, banyak terpusat di Batavia dan Buitenzorg. Hal itu dapat dibuktikan dengan dibentuknya lembaga penelitian ilmu botani Kebun Raya Buitenzorg yang sangat penting dalam perkembangan sains di Hindia Belanda.

Referensi

Berkel, Klaas van. "Empire without Science?: The Dutch Scholarly World and Colonial Science around 1800." In Empire and Science in The Making: Dutch Colonial Scholarship in Comparative Global Perspective, by Peter Boomgaard, 89-108. New York: Palgrae Macmillan, 2013.

Bestuursvergadering van 22 April 1865. "De Verzamelingen van dr. Junghuhn." Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlansch Indie (H.m. Van Dorp dan Martinus Nyhoff) 28, no. 3 (1865): 456.

Boomgaard, Peter. "Introduction: From The Mundane to The Sublime: Science, Empire, and The Enlightenment (1760s-1820s)." In EMpire and Science in The Making: Dutch Colonial Scholarship in Comparative Global Perspective, by Peter Boomgaard, 1-37. New York: Palgrave Macmillan, 2013.

Braake, Alexander L. Ter. "Volcanology in The Netherlands Indies." In Science and Scientiests in The Netherlands Indies, by Pieter Honig and Frans Verdoorn, 22-35. New York City: Board for The Netherlands Indiesm Surinam and Curacao, 1945.

De Haan (I), F. Priangan I: De Preanger-Regentschappen onder het Nederllandsch Bestuur tot 1811. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kusnten en Wetenschappen, 1910.

Goss, Andrew. The Floracats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia. Madison, Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2011.

Gunst, F. "Levensschets van Dr. Franz Wilhelm Junghuhn." In Licht-en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java:, by Dr. F. W. Junghuhn. Amsterdam: F. Gunst, 1867.

Kinderen, T. H. der. Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen Gedurende de Eerste Eeuw van Zijn Bestaan 1778-1878: Gedenkboek (deel 1). Batavia: Ernst & Co, 1879.

Nasr, Seyyed Hossein. The Need for a Sacred Science. Richmond: Curzon Press, 1993.

Osterhammel, Jurgen. Unfabling The East: The Enlightenment's Encounter with Asia. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2018.

Pomeranz, Kenneth. The Great Divergence: China, Europe, and The Making of The Modern World Economy. Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000.

Rochussen, H. "Levensberigt van dr. F. W. Junghuhn." Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (H.N. Van Dorp dan Martinus Nyhoff) 28, no. 3 (1865): 342-356.

Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia. Madison, Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 2009.

Veth, P. J. Java: Geograpisch, Ethnologisch, Historisch (Tweede Deel). Haarlem: De Erven F. Bohn, 1878.

Vriese, W. H. de. Reinwardt's Reis Naar Het Oostelijk Gedeelte van den Indischen Archipel in Het Jaar 1821. Amsterdam: Frederik Muller, 1858.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image