Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Selayaknya Kita Dapat Bersahabat dengan Gempa Bumi

Edukasi | Sunday, 18 Dec 2022, 11:32 WIB

Sering didengung-dengungkan, wilayah negara kita berada pada zona Cincin Api Pasifik, artinya seluruh wilayah di negara kita merupakan kawasan yang berpotensi besar sering dilanda gempa. Kondisi ini sejatinya menjadikan seluruh penduduk di setiap wilayah negara kita memahaminya. Sayangnya, kita nampak terlena dengan berbagai keindahan alam, kesuburan tanah, dan keamanan di wilayah masing-masing tempat kita tinggal.

Semua kalangan baru merasa panik ketika terjadi bencana gempa bumi seperti yang terjadi di Cianjur beberapa waktu yang lalu. Meskipun tidak separah Cianjur, kemudian disusul gempa bumi di Garut (20/11/2022), Jember (6/12/2022), Flores Nusa Tenggara Timur (7/12/2022), dan gempa lainnya yang terjadi sejak November – Desember 2022 seolah-olah mengingatkan kita bahwa kapanpun akan terjadi bencana gempa bumi.

Kita tak boleh menganggap enteng akan ancaman bahaya gempa bumi ini, namun juga jangan memiliki rasa takut berlebihan. Upaya terbaik yang harus kita lakukan adalah selalu waspada, dan siap siaga menghadapi gempa bumi yang pasti terjadi tanpa bisa diprediksi terlebih dahulu.

Sebagai bentuk kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam mengahadapi gempa bumi, pemerintah dalam hal ini Pusat Studi Gempa Nasional, Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait telah menyusun buku “Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia” yang selalu dilakukan pemutakhiran sesuai dengan perkembangan kegempaan.

Tentu saja buku ini sangat bermanfaat bagi semua kalangan dalam meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Namun demikian, yang lebih penting daripada itu adalah setelah penyusunan peta sumber dan bahaya gempa tersebut adalah memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.

Diakui atau tidak, kebanyakan masyarakat masih awam terhadap tingkat kegempaan di setiap wilayah tempat tinggalnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka abai terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Masyarakat baru sadar akan wilayahnya yang rawan gempa setelah terjadi gempa yang menelan banyak korban seperti yang terjadi di Cianjur akhir-akhir ini.

Idealnya, setelah pihak-pihak terkait menyusun peta gempa dengan berbagai aspeknya adalah melakukan kegiatan nyata, diantaranya memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat seputar gempa. Pihak-pihak terkait tingkat paling minimal memberikan informasi kepada masyarakat secara kontinyu tentang kesiapsiagaan menghadapi gempa.

Selama ini, kebanyakan orang baru diajarkan cara menghadapi gempa bumi, ketika gempa bumi tersebut sudah terjadi. Oleh karena itu, sangatlah bijak jika pihak-pihak terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan pihak terkait lainnya memberikan penyuluhan, informasi, edukasi, secara kontinyu dan berkala kepada masyarakat tentang potensi gempa bumi dan cara menghadapinya.

Rasanya akan sia-sia jika peta gempa yang sudah tersusun selama ini namun tidak dijadikan pedoman untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat. Sederhananya, ibarat seseorang yang sudah memiliki resep dari dokter dan menebusnya di apotik, namun setelah obatnya didapat hanya disimpan di lemari obat, tidak dikonsumsi sedikitpun. Demikian pula halnya, peta gempa hanya akan menjadi tumpukan hasil studi yang minim implementasi dan manfaat bagi masyarakat.

Ketika kita bersahabat dengan seseorang, pada umumnya kita mengetahui karakter, perilaku, dan kebiasaan sahabat kita, bahkan kita mengetahui aktivitas kesehariannya. Demikian pula jika kita mampu bersahabat dengan gempa, meskipun tidak persis sama dengan persahabatan antar sesama manusia. Ketika kita bersahabat dengan gempa bumi, setidaknya kita akan mengetahui karakter gempa bumi dan memiliki kesiapsiagaan untuk menghadapinya.

Dalam hal bersahabat dengan gempa bumi, selayaknya kita belajar dari bangsa Jepang. Mereka menyadari akan negaranya yang berada pada zona rawan gempa bumi. Secara rutin, lembaga-lembaga yang menangani bencana gempa bumi di negara tersebut memberikan edukasi dan gladi mitigasi bencana gempa bumi. Buah dari gladi yang diberikan secara rutin, mereka selalu memiliki kesiapsiagaan jika suatu saat gempa bumi terjadi. Gladi yang rutin dilakukan ini setidaknya dapat meminimalisir korban tewas atau luka.

Hasil gladi ini terbukti ketika terjadi gempa bumi berkekuatan 7,2 Skala Richter di kota Kobe (17/1/1995), masyarakat kota ini begitu siap menghadapinya sehingga dapat meminimalisir korban tewas dan luka. Menurut catatan sebagian besar korban yang selamat pada bencana ini karena pertolongan diri sendiri mencapai 34,9 persen. Sementara mereka yang selamat karena pertolongan keluarga sebanyak 31,9 persen, pertolongan teman atau tetangga 28 persen, pertolongan pejalan kaki 2,6 persen, pertolongan oleh tim penyelamat 1,7 persen, dan pertolongan lainnya hanya 0,9 persen.

Selain sosialisasi dan edukasi mistigasi bencana, pemerintah Jepang juga sangat ketat dalam pengawasan dan pemberian izin pendirian bangunan, baik untuk perumahan, sekolah, kantor, maupun bangunan lainnya. Bangunan yang dibuat setidaknya harus mendapatkan jaminan kualitas tidak akan runtuh karena gempa dalam jangka waktu 100 tahun ke depan.

Jujur harus kita akui, meskipun kebanyakan wilayah kita berada pada zona seperti Jepang, namun edukasi dan sosialisasi mitigasi bencana gempa bumi kepada masyarakat masih terbilang minim. Demikian pula halnya dengan tata ruang pemukiman yang tidak tertata, sehingga ketika terjadi bencana gempa bumi menyulitkan jalur evakuasi atau menyelamatkan diri.

Rata-rata masyarakat kita senang menghabiskan lahan dipakai untuk bangunan, hanya menyisakan gang sempit yang terkadang hanya cukup untuk lalu lalang orang. Kondisi seperti ini mengakibatkan kesulitan ketika terjadi lalu lalang orang dalam jumlah banyak, jangankan ketika terjadi gempa bumi, sekedar untuk membawa masuk keranda mayat ketika ada warga yang meninggal pada hari-hari biasa saja kesulitan.

Sebagai bagian dari upaya bersahabat dengan gempa bumi, sudah saatnya ketika kita mendirikan suatu bangunan bukan saja persyaratan untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan yang harus dipenuhi, namun kitapun harus memperhatikan spesifikasi bangunannya. Pihak-pihak terkait harus berani menegur atau setidaknya memperingatkan jika seseorang mendirikan suatu bangunan tidak memenuhi persyaratan keselamatan. Selain itu pihak-pihak yang berwenang tak henti-hentinya memberikan berbagai edukasi seputar kegempaan dan mitigasinya.

Ilustrasi : korban gempa bumi (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image