Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Kemiskinan Struktural dan Mindset yang Salah

Politik | Sunday, 11 Dec 2022, 21:44 WIB
Rasio Gini Indonesia semakin meningkat sejak 2000. Kondisi ini menyebabkan Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan sosial ke-4 di dunia. (Foto: Republika)

Kemiskinan masih menjadi salah satu problem sosial di tengah masyarakat kita. Banyak faktor yang menyebabkan penduduk di suatu negara miskin. Berbagai riset dan studi menunjukkan kemiskinan lebih didominasi pada struktur sosial, budaya dan politik di tengah masyarakat. Kemiskinan struktural adalah bentuk kemiskinan yang disebabkan oleh karena rendahnya akses terhadap sumber daya. Pada umumnya terjadi pada suatu tatanan sosial budaya ataupun sosial politik yang kurang mendukung adanya pembebasan kemiskinan.

Secara statistik, angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 1998. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin mencapai 23,4 persen dari populasi Indonesia pada 1999. Angka itu terus turun, bahkan pada 2018 angka penduduk miskin menyentuh satu digit yakni 9,82 persen. Ini menjadi sejarah Indonesia yang luar biasa.

Persoalannya kemudian ada pada definisi kemiskinan. Menurut BPS, mereka yang disebut miskin adalah orang yang pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya hanya 472.525 rupiah per bulan. Artinya, jika ada keluarga yang berpenghasilan 500 ribu per bulan, maka dia tidak dikategorikan miskin. Jika kebutuhan per harinya 20 ribu, maka dia bukan orang miskin.

Secara nalar sederhana, orang yang penghasilannya 20 ribu per hari sebenarnya masih jauh dari kata layak. World Bank mengategorikan kemiskinan sebagai orang yang berpenghasilan setiap harinya minimal 2 dolar atau sekitar 30 ribu. Kalau mengacu pada definisi World Bank, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai 40 persen. Ini tentu sangat miris.

Selain angka kemiskinan, ada persoalan lain yang tidak kalah urgen. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan memang terus dilakukan. Namun, statistik menunjukkan penurunan kemiskinan di Indonesia sejak 2009 hingga 2019 sebesar 1,74 persen saja.

Sebuah lembaga yang konsern terhadap isu kemiskinan, Smeru Institute merilis hasil penelitian tentang kemiskinan sejak 1993 hinga 2014. Lembaga ini menyatakan 40 persen anak yang lahir dalam kondisi miskin akan tetap miskin ketika mereka dewasa. Mereka yang lahir dari keluarga miskin sangat sulit keluar dari jurang kemiskinan. Ini yang disebut adanya kemiskinan struktural di tengah masyarakat Indonesia.

Kemiskinan yang terisolasi oleh struktur sosial dan lingkungan. Di mana faktor sosial itu yang menghambat masyarakat untuk keluar dari jurang kemiskinan. Setidaknya ada tiga faktor mendasar terjadinya kemiskinan struktural. Pertama, pola pikir keliru yang tanpa sadar tertanam di benak masyarakat. Masyarakat miskin di Indonesia pola pikirnya pasrah dan menerima nasib tanpa mau berusaha keras mengubah kehidupan mereka. Mereka meyakini kemiskinan sebagai bagian dari takdir kehidupan yang tidak bisa diubah.

Penelitian LIPI dari 2015-2017 menunjukkan karakteristik masyarakat miskin di empat kota di Jawa salah satunya persepsi warga terhadap fenomena kemiskinan. Wilayah penduduk yang memiliki sikap pasrah berkorelasi dengan angka kemiskinan yang tinggi.

Ada juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa uang adalah sesuatu yang negatif. Jika ada teman atau tetangga yang mendapat uang, maka sikap masyarakat adalah menyindir sehingga membuat tidak nyaman dan akhirnya menjauh. Masyarakat merasa nyaman asalkan selalu bersama. Istilahnya "mangan ora mangan sing penting kumpul."

Pola pikir ini tidak lepas dari pola asuh di tengah keluarga. Anak yang lahir dari keluarga miskin akan melihat kehidupan serba kekurangan adalah sebagai hal yang wajar dan sudah menjadi garis kehidupan yang harus dijalani.

Kedua, sulitnya akses pendidikan yang berkualitas. Di banyak daerah, anak-anak mendapat akses pendidikan yang tidak berkualitas. Sekolah di kampung tidak memiliki sarana dan prasarana yang menunjang kualitas pendidikan peserta didik. Alhasil, realitas ini menjadikan masyarakat miskin sulit mengubah kehidupan mereka. Kualitas lulusan sekolah yang buruk menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik.

Tidak adanya kondusivitas proses belajar mengajar juga ikut menurunkan kualitas pendidikan. Kita tentu sering melihat di pemberitaan atau media sosial bagaimana seorang pelajar harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mencapai sekolah, atau menyeberang sungai yang deras. Ini juga menjadi bagian dari realitas kemiskinan struktural di Indonesia. Belum lagi kondisi di mana anak harus membantu orang tuanya mencari uang. Akhirnya, ini memicu angka putus sekolah di kalangan pelajar yang lahir dari keluarga tidak mampu.

Ketiga, keterbatasan akses sumber daya. Keluarga kaya memiliki kemudahan untuk mendapatkan permodalan dari bank. Uang pinjaman bank ini bisa untuk membeli rumah, kendaraan, biaya pendidikan atau sebagai modal usaha. Nah, keluarga miskin tidak dilirik oleh bank karena mereka tidak memiliki jaminan untuk mendapatkan bantuan. Orang miskin, khususnya di pelosok, memang ada yang didatangi oleh rentenir. Namun, konsekuensi berhubungan dengan lintah darat ini justru mencekik dan menjadikan masyarakat terjatuh dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam.

Kondisi ini justru menimbulkan ketimpangan yang angkanya terus naik tiap tahun. Masyarakat miskin terjebak dalam lingkaran setan yang sulit untuk keluar. Ini memperparah ketimpangan sosial masyarakat Indonesia. Kemiskinan struktural ini juga dapat dilihat dari ketimpangan ekonomi. Berdasarkan data World Bank, Rasio Gini Indonesia semakin meningkat sejak 2000 hingga saat ini. Credit Suisse menghitung Rasio Gini sebesar 0,782 jauh lebih tinggi dari BPS sebesar 0,381 (2021) dan 0,384 (Maret 2022). Kondisi ini menyebabkan Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan sosial ke-4 di dunia.

Mengubah Mindset Masyarakat

Prof. Rhenald Kasali memiliki pandangan menarik tentang bagaimana seharusnya Indonesia keluar dari kemiskinan. Menurutnya, miskin itu lebih kepada rasa ketimbang materi. Orang yang merasa cukup dengan apa yang ada, maka dia sejatinya adalah orang yang kaya. Justru, orang yang selalu merasa kurang, sejatinya adalah orang yang miskin.

Jadi, yang harus diubah pertama kali adalah mindset. Bisa jadi seseorang itu miskin walau sekolah tinggi dan sehat, disebabkan cara berpikirnya yang salah. Miskin itu biasanya orang yang tidak pernah cukup. Tidak pernah puas dan selalu ingin mengambil. Orang kaya itu bukan berapa besar dia ingin menerima, tetapi seberapa banyak dia ingin memberi kepada orang lain. Makin besar dia memberi, maka semakin kaya orang itu sebenarnya.

Kalau seseorang punya uang 100 ribu, tetapi dia berani memberikan 80 ribu kepada orang lain, maka dia sebenarnya kaya. Cara berpikir ini jika ditanam dalam sebuah masyarakat, maka akan melahirkan generasi yang berkualitas. Pantang menyerah, mau berusaha, empati, tidak leha-leha, selalu mencari solusi atas persoalan, itu menjadi modal penting dari mengubah suatu masyarakat.

Masyarakat harus dilatih untuk cerdas secara finansial dan ekonomi. Kecerdasan itu ibarat parang yang diletakkan di bawah pohon terkena hujan atau kepanasan. Jika dibiarkan saja, maka dia akan tumpul. Tapi, jika parang itu diasah, disimpan di tempat yang baik, maka akan tajam dan membawa manfaat. Begitu juga dengan kecerdasan, dia harus diasah dan diletakkan di tempat yang baik. Selain, kecerdasan itu harus ditopang dengan karakter, kebiasaan (habit), attitude dan mindset seseorang.

Dengan cara berpikir yang benar, maka seseorang akan berusaha maksimal agar kehidupan lebih baik. Tentunya, menjadi tugas negara untuk hadir bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur memadai dan faktor penunjang lainnya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image