Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Hati-hati Monster Pemangsa Kebenaran Berkeliaran di Sekitar Kita

Agama | Saturday, 11 Dec 2021, 18:11 WIB

MEMPERBAIKI akhlak merupakan tugas pertama yang diemban Nabi Muhammad saw. Memperbaiki akhlak identik dengan memperbaiki jiwa agar dapat bertindak lurus sesuai dengan fitrah kemanusiaan, memupuk jiwa agar dapat bertindak lurus, mampu mengendalikan nafsu hewani, dan tunduk kepada hati nurani yang selalu membisikkan kebaikan.

Memperbaiki jiwa berarti pula menanamkan keyakinan akan adanya Zat Yang Menciptakan dan Mengendalikan Jiwa. Memperbaiki jiwa berarti juga memperbaiki keyakinan akan adanya Zat Yang Maha Mengawasi, menumbuhkan moral mulia, dan menumbangkan moral-moral angkara murka

Negara kita telah meyakini akan pentingnya memperbaiki jiwa seperti yang dilakukan Rasulullah saw. Keyakinan tersebut dituangkan para pendiri negara ini dalam bait-bait indah lagu kebangsaan , Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.

Para pendiri negara ini berkeyakinan, pembangunan jiwa bangsa ini akan dapat mengantarkan negeri ini kepada kemajuan yang hakiki, yakni pembangunan manusia seutuhnya, sehat lahir-batin, adil, makmur, dan sejahtera. Kecerdasan otak dan kemajuan fisik tanpa didasari kebaikan jiwa, karakter yang baik atau akhlak mulia, hanya akan menjadikan bangsa ini sarat dengan prestasi namun nirprestise yang melahirkan beragam raga tanpa jiwa.

Sudah sejak lama, para filsuf mengkhawatirkan akan raga-raga berotak cerdas namun tak berjiwa lahir dan hadir di tengah-tengah kehidupan suatu bangsa. Kekhawatiran ini sangat wajar, sebab raga-raga berotak cerdas nirjiwa yang baik hanya akan menjadi benalu bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Mereka akan nampak seperti ikut menghidupkan, membangun masyarakat, bangsa, dan negara, namun sebenarnya mereka tengah menggerogoti ketenangan hidup masyarakat, bangsa, dan negara demi kepentingan dirinya sendiri.

Berkenaan dengan hadirnya orang-orang yang berotak cerdas secara kognitif belaka, berpendidikan tinggi tapi miskin moral mulia, J.J. Rousseau, sang filsuf (1712 -1778 M) mengatakan, semakin banyak orang pandai, berilmu tinggi, semakin sulit dicari orang jujur. Sulit dicari orang yang benar-benar tulus dan berakhlak mulia.

Kecerdasan dan ilmu yang tinggi tanpa dibarengi karakter yang baik dan jiwa murni yang dihiasi akhlak mulia hanya akan melahirkan monster-monster pemangsa kebenaran dan kejujuran seraya menumbuhkan sikap dan perilaku kebohongan. Mereka mengingkari kebenaran dan memuja kepalsuan, bersikap seperti hewan, bahkan lebih buas daripada hewan yang sebenarnya.

John Law (1991) dalam karyanya A Sociology of Monster mengatakan, pada saat ini, pengetahuan, apalagi kekuasaan, mulai diragukan bisa menjadi lahan subur pertumbuhan kebenaran dan kejujuran. Sebaliknya, malah larut dibawa arus uang, arus mengikuti hawa nafsu, kemudian ikut menjadi monster pemangsa kebenaran dan kejujuran itu sendiri.

Idealnya kehidupan orang-orang yang berilmu dan berpendidikan tinggi, sikap dan perilaku dalam kehidupannya menjunjung tinggi kebajikan, kebijakan, dan moral mulia. Mereka mendahulukan suara hati nurani dan kekuatan otak, tidak memperturutkan keinginan hawa nafsu dan memperagakan kekuatan otot.

Norma yang baik, kebenaran, moral mulia, serta etika seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap tindakan orang-orang yang berilmu dan berpendidikan tinggi . Hatinya dipenuhi keyakinan bahwa segala tingkah lakunya diawasi Tuhan Yang Maha Mengawasi, dan kelak akan diminta pertanggungjawaban oleh-Nya.

Kalau jujur diakui, kehidupan berbangsa dan bernegara kita pada saat ini sudah agak melenceng dari tatanan etika, moral mulia, dan nilai-nilai religius. Kegaduhan politik, kebejatan moral, korupsi serta berbagai tindak kebohongan lainnya merupakan bukti betapa kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah melenceng jauh dari nilai-nilai etika, moral, dan nilai-nilai religius.

Nilai-nilai etika mulia hanya dijadikan pengetahuan belaka. Sementara nilai-nilai religius hanya dilaksanakan dalam bentuk formalitas ritual-seremonial, namun nilai-nilainya tak dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Pada saat ini, para oknum pemuja hawa nafsu, para monster pemangsa kebenaran tengah memperlihatkan diri dan manggung di tengah-tengah kehidupan sosial kita .

Ada oknum polisi yang memperkosa dan melakukan perampokan, kasus yang sedang heboh dan menggemparkan adalah seorang oknum yang mengaku ustaz yang merudapaksa puluhan santrinya. Sebelumnya tak kalah menghebohkan adalah seorang dosen sebuah perguruan tinggi yang melakukan pelecehan sexual kepada mahasiswinya.

Meskipun hanya para oknum dan segilintir monster pemangsa kebenaran yang melakukan perilaku bejat di negara kita, hal ini tak boleh dianggap enteng, jangan-jangan sel-sel kehidupan sosial bangsa kita sedang sakit, hampa dari rasa manusia, sarat dengan rasa nafsu hewani. Bisa jadi para serigala berbulu domba dan para monster pemangsa kebenaran lainnya tengah berkeliaran di tengah-tengah kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik kita. Mereka tengah mengendap-ngendap mencari mangsa, yang suatu saat akan mereka terkam.

Ketika mendengar kata korupsi, kita selalu langsung terbayang kepada para pejabat yang mencuri uang rakyat. Namun sebenarnya ketika seseorang sudah memiliki ilmu pengetahuan, mengetahui suatu kebenaran dan moral yang baik, kemudian ia melanggarnya, sebenarnya ia juga tengah melakukan korupsi. Hal yang ia korupsi adalah ilmu dan kebenaran. Jika koruptor membohongi rakyat dan negara, orang yang korupsi terhadap kebenaran, ia sedang membohongi hati nuraninya sendiri serta melupakan Tuhannya.

Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam tulisannya Prolegomena to The Metaphysics of Islam berpendapat, Our real challenge is the problem of the corruption of knowledge. Tantangan utama kita pada saat ini adalah masalah korupsi ilmu pengetahuan.

Korupsi yang terjadi pada berbagai bidang, kebejatan moral, dan berbagai tindakan yang tak manusiawi pada awalnya karena para pelakunya telah melakukan korupsi terhadap ilmu yang dimilikinya. Ia telah melupakan bahwa dirinya merupakan orang yang dihormati karena ilmunya, dan tanpa disadari mereka telah membunuh suara hati nuraninya. Mereka membunuh jiwa suci kemanusiaannya dan menggantinya dengan jiwa monster jahat pemangsa kebenaran.

Penyebab utama kehancuran suatu negeri bukanlah karena peperangan atau bencana alam, namun kehancuran suatu negeri akan terjadi manakala negeri tersebut telah dihuni orang-orang yang sudah tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai religius, norma, dan moral yang mulia.

Ilustrasi : perang kebenaran dan kebatilan (Sumber Gambar :https://philoshophyforlife.weebly.com)

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image