Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lulu Nugroho

Perempuan dan Trafficking

Eduaksi | 2022-11-28 22:42:30

Seminggu yang lalu, polisi mengamankan dua orang mucikari atas tindak pidana perdagangan orang (trafficking) terhadap 19 wanita dewasa dan di bawah umur yang diduga dijadikan PSK, di Kecamatan Gempol dan Prigen, Pasuruan.

Dari hasil interogasi terhadap 8 orang wanita tersebut, mereka dipekerjakan di warkop sembari dijadikan PSK dengan tarif Rp500 ribu sampai Rp800 ribu.

Trafficking atau perdagangan orang menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

Karenanya tidak ada kebaikan di sana. Bahkan yang terjadi ada intimidasi, eksploitasi, kesewenang-wenangan satu pihak, kepada korban.

Kasus semacam ini terus saja terjadi dalam kurun waktu yang lama. Sempitnya kehidupan membuat masyarakat kerapkali mencari jalan pintas demi mendapat sesuap nasi. Mimpi mendapat gaji tinggi dengan pendidikan ala kadarnya, menjadikan mereka terjerat trafficking.

Tidak hanya menimpa perempuan dan anak-anak, yang dijadikan budak pemuas nafsu, tetapi juga para pria dalam bentuk kerja paksa. Tidak hanya orang miskin dengan pendidikan pas-pasan, orang pintar pun terjebak melalui penipuan pemberian bea siswa atau kerja di luar negeri.

Indonesia telah memiliki perangkat hukumnya Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki- laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan.

Namun tampaknya belum menyentuh akar permasalahan. Sebab sekularisme masih menjadi biang keladi melenggangnya kejahatan semacam ini, di sepanjang masa. Cara pandang sekularisme menjadikan manusia serakah dan kejam menghalalkan segala cara demi mendapat materi.

Nilai-nilai kemanusiaan diabaikan. Halal haram tidak lagi menjadi kendali sebab Allah tidak diberi peran dalam kehidupan sehari-hari. Manusia membuat aturan sendiri. Alhasil muncul banyak kerusakan yang saling berkaitan selama manusia tidak berhukum pada aturan Allah.

Karenanya masalah ini dapat diselesaikan jika negara menerapkan aturan Allah. Akidah dijadikan sebagai landasan pemikiran agar masyarakat tunduk patuh pada Allah.

Kepemimpinan dalam Islam laksana perisai dan penjaga. Sebagai perisai, negara akan melindungi warganya dari tindak kejahatan. Sedangkan sebagai pengatur, negara menjamin terpenuhinya hak warga negaranya.

Islam mendorong negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para kepala keluarga, agar para perempuan fokus pada tugas utamanya sebagai ummu wa robbatul baiyt, tak perlu mengais rezeki sehingga rentan terkena fitnah.

Kepala keluarga mendapat kesempatan kerja yang seluas-luasnya sesuai keahliannya. Ada yang mendapat lahan untuk digarap, mendapat pelatihan dan ketrampilan untuk pekerja pabrik atau kantoran, atau mendapat modal bagi warga yang ingin berdagang.

Islam memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi yang berkualitas agar masyarakat bisa memanfaatkan ilmunya untuk peradaban. Tidak lagi bodoh sehingga mudah tertipu.

Dalam Islam, suasana keimanan ditumbuhkan. Manusia akan takut bermaksiat kepada Allah. Bahkan sanksi yang tegas pun akan membuat jera para pelaku kejahatan. Tujuan aktivitas akan diarahkan untuk semata-mata mendapat rida Allah. Allahumanshurnaa bil Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image