Polisi Gerak Cepat Usut Kasus Pornografi, Kenapa Tidak dengan Kasus yang Lain?
Curhat | 2022-11-27 16:01:04Belakangan ini, kasus terkait penyebaran konten tak senonoh kembali terjadi di Indonesia. Kali ini sebuah video yang mempertontonkan sepasang pria wanita dalam satu kamar hotel menyeruak ke jagat publik dan menimbulkan cukup kegaduhan. Video cabul yang kemudian dikenal luas dengan sebutan “Kebaya Merah” ini menjadi trending viral sejak memasuki pekan awal bulan November.
Tentu saja polisi sigap untuk kemudian bertindak, dan mengusut asal usul penyebaran konten porno tersebut. Dan tak butuh waktu lama semenjak pertama kali munculnya video tersebut di permukaan media pada 1 November 2022 (Dilansir dari salah satu pemberitaan paling awal terkait kasus, pada laman Denpost.id), berselang satu pekan tepatnya pada tanggal 7 November 2022, kedua pemeran video berhasil di tangkap di wilayah kota Surabaya (Dilansir dari CNNIndonesia.com). Bahkan sebelum penangkapan, pihak berwajib telah juga berhasil mengidentifikasi lokasi pengambilan syuting video tersebut di salah satu hotel di Kawasan Gubeng, Surabaya (Dilansir juga dari CNNIndonesia.com).
Tindakan bergas kepolisian ini tentu bukan tanpa alasan, sebab bahkan sebelum menjadi sensasi berskala nasional, video “Kebaya Merah” ini sempat menggegerkan publik Pulau Dewata karena busana yang dikenakan oleh pemeran wanita dalam video tersebut hampir serupa dengan pakaian adat masyarakat di Bali, sehingga muncul desas desus awal bahwa pengambilan adegan asusila di lakukan di sana (Dilansir dari Denpost.id), maka tentu menjadi bertambahlah alasan bagi Polri untuk melakukan penanganan cepat terkait konten porno ini yang selain telah meresahkan publik juga jelas melanggar peraturan perundang-undangan terkait pornografi.
Yang menjadi permasalahan adalah kenapa, kenapa baru ketika ada hal yang berbau konten viral apalagi terkait dengan tindak porno aksi dan pornografi, kepolisian dapat bergegas bertindak tanpa neko-neko. Sedangkan ketika menindak jenis kejahatan lainnya, seperti ada kesan menunda-nunda bahkan sengaja menutupi kasus. Hal demikian yang turut mewarnai pemberitaan dan lalu lintas dialog media sosial sepanjang trending video “Kebaya Merah” ini.
Apakah benar demikian? Bahwa kepolisian akan lebih sigap atau bahkan baru sigap bila suatu kasus menjadi buah bibir orang banyak alias viral, apalagi bila berbau tindakan senonoh seperti kasus video asusila saat ini, sebagaimana pendapat beberapa netizen. Berdasarkan keterangan komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, bahwa cepat lambatnya penanganan suatu kasus tidak bisa disama ratakan antara satu jenis kasus dengan kasus lainnya, semisal pada perkara “Kebaya Merah” ini selain karena banyaknya laporan dari masyarakat, penangan cepat oleh aparat juga didukung oleh melimpahnya bukti-bukti dan saksi terkait, namun di sisi lain pada kasus seperti tindak pencurian kendaraan bermotor yang juga banyak mendapatkan laporan dari masyarakat, tidak dapat dituntaskan secepat kasus sebelumnya karena proses pengumpulan bukti dan saksi yang relatif butuh waktu lebih lama (Dilansir dari Kompas.com). Dan menurut penulis hal ini tentu dapat dibenarkan secara logis, namun hal ini tetap belum menjawab pertanyaan mengapa harus menunggu sampai sebuah kasus menjadi viral atau lebih parah lagi apakah memang harus sebuah kasus berkaitan dahulu dengan kegiatan seksual baru akan mendapatkan penanganan cepat?
Jika mencoba menggunakan jalur pemikiran dari komisioner Kompolnas sebelumnya, mengenai korelasi antara bukti dan laju penyelidikan, maka pernyataan bahwa sebuah kasus yang menjadi trending akan lebih cepat dapat ditangani dapat dibenarkan. Bahwa ketika sebuah kasus mendapat perhatian yang lebih luas dari publik yang juga lebih beragam, maka berbagai perspektif akan muncul dari pembicaraan publik, dan dari berbagai perspektif kemungkinan bagi pihak penyidik untuk menemukan suatu petunjuk, bukti, bahkan saksi akan semakin tinggi, dan alhasil laju penyelidikan akan semakin cepat. Animo masyarakat juga berperan sebagai kekuatan penekan bagi pihak kepolisian, dengan semakin banyak mata publik yang menyorot dapat dipastikan bahwa reputasi dan kinerja dari institusi ini akan dipertaruhkan dan menuntut untuk penyelesaian yang maksimal pada suatu kasus.
Berbicara mengenai reputasi institusi kepolisian Indonesia, pada beberapa waktu belakangan tidak menunjukkan angka yang terlalu baik. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) selama periode Agustus hingga Oktober tahun 2022, indeks kepercayaan publik kepada institusi Polri mengalami penurunan drastis sebesar 17%, dari sebelumnya 70% pada periode Juni hingga Agustus, menjadi 53% dan menjadikan badan negara ini sebagai institusi paling tidak dipercaya publik selama periode survei tersebut. Hal ini terkait dengan persepsi masyarakat terhadap bagaimana kinerja aparat kepolisian dalam penangan berbagai kasus besar selama periode tersebut seperti kasus pembunuhan Brigadir J oleh Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo; kasus kerusuhan di Stadion Kanjuruhan; hingga keterlibatan calon Kapolda Jawa Timur, Teddy Minahasa, dalam penggunaan dan peredaran narkotika jenis sabu selama karirnya dalam kepolisian (Dilansir dari DataIndonesia.id).
Dan bukan sesuatu yang sulit untuk dibayangkan bahwa kasus-kasus yang menyedot banyak perhatian yang berujung pada rusaknya citra Polri perlu dikonter dengan kasus-kasus lain yang berpotensi untuk meningkatkan pamor tersebut. Solusi praktis yang mungkin dapat diambil secara sadar oleh pihak kepolisian, tentu adalah dengan meletakkan perhatian pada satu kasus yang menjadi buah bibir masyarakat luas dan sekaligus relatif mudah bagi Polri untuk melakukan penanganan, dan kasus video asusila seperti “Kebaya Merah” dan video sejenis sebelumnya menjadi jawabannya. Di tengah masyarakat Indonesia, terutama yang masih konservatif akan nilai-nilai budaya yang di dalamnya tentu mengandung norma dan aspek religi, sudah barang tentu tindakan amoral seperti pembuatan video mesum akan menimbulkan suatu kegaduhan, yang kemudian bagi institusi yang sedang membutuhkan perbaikan citra seperti Polri pada saat ini, hal ini tentu tak boleh dilewatkan untuk dapat dimanfaatkan.
Itulah dia, beberapa solusi pertanyaan umum terkait pola kerja terkait penyidikan kasus yang dilakukan oleh badan kepolisian kita di Indonesia. Penulis menyadari bahwa berbagai solusi dan penarikan kesimpulan dari berbagai sumber pemberitaan dalam artikel ini masih sangat sederhana dan belum mencakup variabel seperti karakter institusi Polri itu sendiri, permainan politik serta kongkalikong yang terjadi, serta karakter netizen Indonesia yang dalam kasus video porno “Kebaya Merah” ini menjadi tenaga penggerak diskusi terkait permasalahan yang ada, baik secara menyeluruh ataupun garis besar. Namun dengan artikel ini penulis sangat berharap, bagi semua pihak agar dapat menemukan sedikit pencerahan terkait polemik kinerja institusi negara yang satu ini, karena selayaknya semua permasalahan yang terjadi dalam skala luas setara nasional ini maka banyak pihak yang akan terlibat, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, dan kemudian akan banyak juga kemungkinan hasil akhir atas suatu kasus yang akan terjadi, who knows?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.