Metode Konseling Terbaik dalam Tangani Pergaulan Remaja di Masa Pandemi
Guru Menulis | 2022-11-24 20:17:34Oleh: Apriliani Chrisnanda Putri
Hari ini, dunia sudah melalui fase-fase tersulitnya, keluar dari masa kritis pandemi. Fenomena COVID-19 yang mewabah ke hampir seluruh penjuru bumi, menyisakan banyak kesan dan kisah yang melingkupinya. Tidak sekadar berbicara sakit fisik dan kematian yang ditimbulkan, penyakit mental jadi salah satu problematika lain yang mewarnai masa-masa sulit ini.
Penulis yang merupakan guru di salah satu sekolah swasta, berupaya mewartakan fenomena pergaulan remaja hingga memunculkan penyakit psikis akibat dampak pergaulan remaja, melalui penelitian empirik dan penanganan konseling dengan metode yang sesuai dalam standar dunia pendidikan.
Fenomena ini dinarasikan secara deskriptif, di mana kasus penanganan remaja yang terkena sakit mental ini terjadi di sebuah satuan pendidikan menengah atas di Surakarta. Buah tulisan ini lahir dari suatu peristiwa yang menjadi momentum ditemukannya suatu kasus berat yang menghantam mental seorang siswi.
Serentak sesaat ujian akhir semester di sekolah dilaksanakan, seorang siswi telah resah ketika gawainya disita petugas pengawas. Sebenarnya bukan hal yang mengherankan untuk menyita gawai dari peserta ujian yang bermain curang, namun berbeda halnya bagi siswi itu. Baginya, penyitaan itu menjadi hal yang sangat meresahkan dan menyita pikirannya.
Ketika gawai miliknya diambil oleh petugas ujian, siswi tersebut berekasi selayaknya seorang yang mengalami tekanan. Kerabat sekelasnya yang merasa khawatir karena kondisinya, segera melaporkan siswi tersebut kepada guru Bimbingan dan Konseling. Ternyata di luar dugaan, sang siswi secara alam bawah sadar sangat tertekan akibat gawainya yang disita, lantas melukai bagian lengannya. Saya mengenalnya dengan istilah self harm.
Menurut Laye-Gindhu dan Schonert-Reichl dalam jurnalnya berjudul "Nonsuicidal Self-Harm Among Community Adolescents: Understanding the "Whats" and "Whys" of Self-Harm" (2005) menyebut bahwa perilaku self harm adalah perilaku yang disengaja yang dianggap merugikan diri sendiri. Ini paling sering dianggap sebagai cedera langsung pada jaringan kulit sendiri biasanya tanpa adanya niat untuk melakukan bunuh diri.
Akibat perilakunya, terlihat bekas cakaran yang menghias tangannya, menandakan kondisi mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Agaknya, penyitaan menjadi trigger perilakunya tersebut. Dalam kondisi yang serius, saya mencoba untuk melakukan beberapa pendekatan, meskipun dalam hari itu, konseling belum masuk kepada intinya. Siswi tersebut dibiarkan untuk kemnali melanjutkan ujian, namun di ruang khusus.
Selepas berakhirnya pekan-pekan padat ujian, saya mencoba melakukan pendekatan kepada siswi tersebut—paling tidak, ia sudah tak terbebani pikirannya karena ujian-ujian lalu. Melalui obrolan ringan, saya berusahan memetakan kondisinya tentang "permasalahan apa yang membuatnya sebegitu tertekan hingga melakukan self harm?"
Saya berusaha untuk membuat sang anak mengutarakan hal tersebut dengan pendekatan yang lebih kooperatif sehingga memberikan rasa aman dan nyaman. eksplorasi dan pendalaman masalah dimulai.
Beberapa guru juga dilibatkan untuk mendalami kasus dan permasalahan. Siswi tersebut mulai menerangkan permasalahannya. Ia terlempar pada suatu momen yang membuatnya merasa tertekan dan depresi, sampai-sampai membuatnya menyakiti diri.
Momen tersebut bermula pada kegiatan "ajang remaja di level kota" yang diselenggarakan selama masa pandemi. Tak terlalu terbebani tugas belajar dan sekolah yang acap kali dilakukan secara virtual, mendorongnya bergaul begitu lepas dengan rekan panitia hingga penyelenggara acara.
Intensitas pertemuan yang tinggi dan pergaulan lepas menjadi faktor pendorong yang menjerumuskan sang siswi pada tindakan atau perilaku yang menyimpang. Kedekatannya dengan rekan laki-laki dalam momen tersebut, menyeretnya pada kasus asusila hingga pelecehan yang berujung pada trauma dan tekanan mental yang cukup berat.
Euforia dalam ajang remaja di masa pandemi memiliki cerita yang berlainan bagi siswi yang satu ini. Nahas, trauma itu yang membuatnya depresi hingga membuatnya melakukan self harm. Sebagai guru Bimbingan Konseling, saya mencoba melakukan pendekatan kepada sang siswi. Pendekatan yang saya gunakan ialah Solution Focused Brief Counseling (SFBC). Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg adalah dua jenius yang mengembangkan teori konseling ini. Pendekatan ini mengedepankan solusi cepat dan tepat, ketimbang berkutat untuk melihat permasalahannya.
Dalam proses SFBC, saya menanyakan tentang skala keadaan saat sang siswi mendengar atau bersinggungan dengan "ajang remaja" yang bergengsi selama masa pandemi itu, dan jawabannya mengejutkan. Ia berada dalam skala 8 dari 10 yang menunjukkan bahwa ia merasa sangat terganggu dengan hal itu. Selanjutnya, saya melemparkan miracle question untuk membantunya menyelesaikan permasalahan secara cepat dan tepat.
Saya melontarkan beberapa pertanyaan dan salah satunya adalah "jika siswi tersebut bermimpi bahwa permasalahan tersebut dapat terselesaikan, maka kedepannya apa yang akan dilakukan agar tidak terjadi hal itu lagi?"
Saya melemparkan tiga pertanyaan kepada sang siswi sebagai penyelesaian cepat terhadap tekanan yang dideritanya. Secara singkat, saya mendorongnya untuk mengidentifikasi faktor terbesar yang membuatnya tertekan, hingga muncul satu kata: "ajang remaja" yang bergengsi selama masa pandemi.
Menurutnya, segala hal yang berhubungan dengan momen itu akan membuatnya menjadi tertekan hingga menyakiti diri. Setelah itu, saya mulai membangun perjanjian dengannya untuk tidak lagi berurusan dengan momen traumatik itu. Ia harus pandai untuk melakukan manajemen diri agar dapat menjauh dari momen traumatik itu.
Barangkali perjanjian ini cukup efektif dan bertahan lama, siswi ini berangsur menjalani kehidupan normalnya. Sampai akhirnya, ia kembali dihadapkan dengan momentum traumatik yang malah membuatnya "kumat" kembali. Entah apa yang membuatnya berurusan dengan momen dan ajang remaja itu lagi, ia telah melanggar perjanjian.
Setelah dirasa permasalah menjadi bertambah berat, saya menjalankan rencana kedua, melakukan pendekatan Konferensi Kasus. Pendekatan ini melibatkan kehadiran keluarga, di mana saya memanggil ibu dan kakaknya untuk menangani permasalahan yang bertambah pelik ini. Hal yang membuat permasalahan ini menjadi pelik adalah ketidakstabilan kondisi emosional yang membuatnya kerap menangis dan sakit-sakitan. Ini yang menyebabkan siswi tersebut mangkir dari sekolah selama hampir sebulan!
Setelah diskusi dilakukan, pihak keluarga telah sepakat untuk membawanya kepada psikiater demi penanganan yang lebih serius—di sisi lain—mempertahankan sang siswi untuk tetap bersekolah karena ia sudah berada di jenjang kelas XII atau 3 SMA. Referal atau alih tangan kasus kepada psikiater setelah pendekatan Konferensi Kasus merupakan solusi terbaik untuk membantu sang siswi menyembuhkan kondisi psikisnya.
Secara kooperatif dan teratur, ia diberi obat dan mengatur diri untuk mampu menjaga kewarasannya selama masih di sekolah. Alhasil, setelah dilakukan sejumlah pendekatan dan metode konseling, hingga referal kepada psikiater, mewujudkan harapan dari penyelesaian masalah ini. Sang siswi yang sebentar lagi menghadapi ujian kelulusan, berhasil lulus secara memuaskan hingga mendapatkan perguruan tinggi favorit saat ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.