Melihat pagelaran etnik seni budaya di RTH Guntung Paikat
Wisata | 2022-11-13 09:09:23Sejak akhir bulan Oktober, kegiatan yang berkaitan dengan seni budaya di Kota Banjarbaru semakin bergerak.
Pelan-pelan, grafiknya semakin naik ke atas. Di awali dengan mengikuti kegiatan aruh sastra di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.
Para seniman dan sastrawan saling berdiskusi tentang kemajuan sastra di Provinsi ini. Malamnya para pemain teater beradu cerita dan ekspresi.
Di perhelatan ini saya bertugas mendampingi. Melihat seperti apa latihan berjalan hingga saatnya tampil di atas panggung di Taman Lawas Pelaihari.
Seminggu setelah perhelatan, mulailah kegiatan kesenian dan budaya bergerak dengan membuat kegiatan pagelaran etnik seni budaya. Sebagai awal, ada 3 Kecamatan yang menjadi tempat pagelaran, Kecamatan Banjarbaru Selatan, Banjarbaru Utara, dan Landasan Ulin.
Mulailah rapat maraton digulirkan. Bola itu mulai menggelinding dari Kecamatan Banjarbaru Selatan. Pertemuan awal diadakan pada malam jumat.
Ada 5 kelompok yang ikut serta, tidak semua karena sifatnya tidak mengikat.
Berteman kopi dan gorengan, rencana pagelaran dibuat. Kapan dan dimana tempat yang tepat.
Ada saran untuk mengadakan pagelaran di gedung, mengingat cuaca yang tidak menentu. Namun, rasanya kurang tepat karena seperti ada jarak dengan masyarakat.
Akhirnya sebuah Ruang Terbuka Hijau menjadi tujuan. Letaknya strategis, dekat jalan besar, memiliki parkir luas, mudah di akses dari mana saja, tercantum di map, dan pastinya mampu mendekatkan kesenian dengan masyarakat.
Pertemuan berikut yang lagi-lagi diadakan pada malam jumat, diputuskan siapa yang akan tampil terlebih dahulu. Bagaimana mengatur letak panggung, tenda penonton, tempat pemain menunggu, hingga lamanya waktu tampil untuk setiap kelompok. Malam itu semua rencana tuntas dibuat.
Malam esoknya, RTH Guntung Paikat tampil beda. Lebih berwarna dan hidup. Hujan memang turun. Namun berhenti tepat sebelum acara dimulai.
Di tanah lapang yang basah, para penari memperlihatkan gerak-gerik yang dinamis dan memukau.
Anak-anak yang sudah bersiap dan mengambil duduk paling depan tak mau beranjak. Semua terpaku pada keindahan tarian tradisional suku dayak dan papua.
Begitu juga saat pemain wayang gong tampil dengan kostum indahnya. Interaksi pemain hanoman dengan penonton membuat suasana sangat cair. Tawa lepas anak-anak terdengar dari tepi tenda.
Tak lama hujan kembali menyapa. Waktunya jeda hingga pukul 20.00 Wita.
Kendang ditabuh, gong dipukul, sinden mulai menyanyi. Hujan perlahan berhenti. Memberi kesempatan para seniman manggung lagi.
Dua kelompok kuda lumping tampil bergantian. Tentu saja suara pecut yang menggelar terasa tidak menakutkan, meski awan cukup tebal.
Justru mengundang orang datang. Pembatas darurat tak terlalu efektif menahan desakan penonton. Namun mereka tak terlalu berani menonton lebih dekat karena para penari menyebar. Sesekali pecut dimainkan. Seperti memberi tanda agar tak melangkah lebih dekat lagi.
Suara kelinting dari deretan bel berukuran kecil di atas kepala barongan memberi denting kemeriahan. Lucunya, kelintingan ini seperti alarm jam yang menandakan waktu pagelaran tak lama lagi usai karena malam hampir mencapai puncaknya.
Dari tepi tenda panggung, saya bersyukur seluruh kegiatan berjalan lancar. Tentu saja ada yang harus diperbaiki karena baru pertama kali membuat pagelaran etnik seni budaya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.