Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tatang Hidayat

Mengapa Pertempuran Surabaya Terjadi 10 November 1945 ?

Agama | 2022-11-10 14:57:25
KH. Hasyim Asy'ary dan KH. Amin Sepuh Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon (Sumber Gambar : pulipuli.id)

Selama ini sejarah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih banyak diwarnai oleh narasi tentang perjuangan militer. Tokoh-tokoh pejuang yang hadir dalam sejarah nasional Indonesia, lebih banyak didominasi oleh para jenderal militer yang mengangkat senjata. Padahal, dari sekian catatan sejarah tentang perjuangan kemerdekaan, ada senarai kisah para Kyai dan santri pesantren yang dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan.

Sebagian kisah para pejuang kemedekaan dari pesantren seolah tersingkirkan dari panggung sejarah Indonesia. Naskah sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru, atau pasca peristiwa 1965, bahkan tidak banyak yang menghadirkan sejarah pesantren dalam arus utama perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Tim penulisan sejarah dari Pusat Sejarah ABRI yang dikomando oleh Nugroho Notosusanto (1930-1985) seakan menenggalamkan narasi perjuangan kaum santri dalam membela kemerdekaan. Buku serial sejarah kebangsaan, sejarah Nasional Indonesia (seri I-IV), terbitan Direktorat Sejarah dan Tata Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah komando Nugroho Notosusanto dan Marwati Djened Pusponegoro, menenggelamkan catatan perjuangan kaum santri. Padahal, ada banyak Kyai dan ulama yang dengan gigih menggerakkan santri, memobilisasi massa, mengangkat senjata dan terjun langsung ke medan laga (Dikutip dari sebuah tulisan karya Munawir Azis)

Dari sekian banyak Kyai tersebut adalah Kyai Amin bin Irsyad atau yang dikenal sebagai Kyai Amin Sepuh, Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Tidak banyak yang mengenal sosok Kyai ini padahal beliau merupakan tonggak perjuangan 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian menjadi monumen sejarah Hari Pahlawan,

Dalam sebuah majelis KH. Abdul Mujib Ridlwan (alm) yang merpakan tokoh NU, pernah menyampaikan sebuah pertanyaan. “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?” Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kyai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan KH. Hasyim Asy’ary untuk memulai pertempuran. Mengapa tidak diizinkan? ternyata Kyai Hasyim Asy’ary menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dan KH. Amin Sepuh dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon”

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa KH. Amin Sepuh memiliki pengaruh dan peran yang sangat besar dalam peperangan 10 November 1945 tersebut.

Amin Sepuh lahir di Mijahan Plumbon, Cirebon pada hari Jum’at 24 Djulhijjah 1300 H atau bertepatan dengan 1879 M. Ayahnya bernama Kyai Irsyad, kalau ditarik dari silsilahnya, KH. Amin Sepuh merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan Sunan Gunung Djati. Kyai Irsyad sendiri merupakan cucu dari Ki Jatira dari pihak ibu. Ki Jatira terkenal sebagai pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Rihlah Ilmiyyah KH. Amin Sepuh

Hal yang sangat menonjol dari sosok Amin kecil ini adalah semangat dalam menuntut ilmu, dibanding dengan anak seusianya pada masa itu. Dengan giat ia belajar ilmu dasar ilsam dari sang Ayah, Kyai Irsyad. Menurut beberapa sumber, Amin kecil bukan hanya belajar ilmu keislaman dari sang ayah, tetpai sang ayah pun mengajarkan ilmu bela diri, yang bisa disebut sebagai ilmu kenuragan.

Setelah dipandang cukup belajar dasar dasar ilmu Islam dari sang ayah, Amin kecil pun memulai perjalannya menuntut ilmu, sebagai santri kelana. Pertama ia mondok di pesantren Sukasari, Plered-Cirebon, dibawah asuhan Kyai Nasuha, Jiwa santri kelana amin mendorongnya untuk terus belajar, terbukti setelah pesantren di Sukasari. Beliau pindah ke pesantren di daerah Jatisari, Cirebon di bawah bimbingan Kyai Hasan.

Semangat Amin menggebu, setelah banyak belajar di wilayah Cirebon, beliau keluar untuk menuntut ilmu ke wilayah Jawa Tengah, Pesantren Kaliwungu, Kendal menjadi pilihannya. Berikutnya masuk dan belajar di pesantren Mangkang di daerah Semarang. Dan setelah itu menuntut ilmu di sebuah pesantren di daerah Tegal yang diasuh oleh Kyai Ubaidah.

Belum puas belajar di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad pun meneruskan berkelanan dalam menuntut ilmu, keluar lebih jauh lagi yaitu ke wilayah Jawa Timur. Disini beliau belajar di pesanntren yang sangat kondang yakni pesantren Bangkalan Madura, Beliau belajar kepada KH. Cholil, selain itu juga beliau pun belajar kepada KH. Hasyim Asy’ary (pendiri NU, yang pada saat itu masih menjadi tahassus atau Ustadz pada KH. Cholil).

Setelah belajar di Bangkalan, Amin kembali meneruskan kepada KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Hasrat untuk berkelana belum terpuaskan, maka setelah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Amin bin Irsyad bertolak ke negeri Arab di Mekkah sempat mengaji kepada Kyai Mahfudh al-Tirmasi, asal Pacitan. Kyai Mahfudh merpakan seorang ulama nusantara yang sangat kesohor di Mekkah. Karena dianggap telah matang dalam penguasaan ilmu agama Islam, maka di kota Mekkah bukan hanya belajar, tapi diberi kepercayan untuk mengajar para santri mukim atau pelajar Indonesia yang tinggal di Mekkah.

Belajar dan mengabdi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Sepulang dari Mekkah, Amin bin Irsyad melaksanakan amanat ayahnya semasa masih hidup, yaitu untuk kembali belajar di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Di pesantren Babakan Amin Irsyad belajar kepada Kyai Ismail bin Nawawi yang juga masih keturunan Kyai Jatira (Pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon). Karena Amin bin Irsyad tergolong santri yang pandai mengaji maka beliau dikenal dengan sebutan “santri pinter”. Dengan wawasan dan keilmuan yang dikuasai hasil dari belajar di berbagai pesantren, maka Amin bin Irsyad pun dipercaya menjadi takhasus atau mengabdi di pesantren ini dan dinikahkan dengan keponakan dari Kyai Ismail.

Seperti yang dituturkan oleh H. Fikri, salah seorang putra Amin bin Irsyad, Kyai Amin di karunia 22 anak, dengan 3 orang istri. Istri pertama bernama Hj. Aisyah dikarunia 8 anak, istri kedua bernama Nyai Aliyah dikarunia 8 anak dan istri ketiga bernama Hj. Sujinah dikarunia 6 anak.

Setelah Kyai Ismail wafat, tepatnya tahun 1916, maka pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dilanjutkan Kyai Amin bin Irysad, yang lebh dikenal dengan nama Kyai Amin Sepuh. Menurut beberapa sumber, yang menjadi alasan beliau diangkat menjadi penerus Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin adalah selain dari keilmuannya yang mempuni juga karena berasal dari tempat yang sama dengan luhurnya, Kyai Jatira dari Mijahan.

Bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh serta upaya mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di timur tengah pada umumnya mulailah Kyai Amin Sepuh memegang tampuk Pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya itu, dengan penuh kesungguhan. Kyai Muda energik ini, selain mengajarkan berbagai Khazanah kitab kuning juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu.

Meski demikian, seperti halnya pada kebanyakan pesantren, ilmu fiqih tetap menjadikan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut tata kehidupan sehari hari masyarakat dan individu, dengan sikapnya itu Kyai Amin semakin dikenal di seluruh Jawa sebagai seorang ulama yang sangat alim dan berpemikiran progresif. Maka dari itu dibawah bimbingan Kyai Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk belajar Islam.

Santri-santri yang mengaji dengan Kyai Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat. Beberaap santri Kyai Amin Sepuh, juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing masing. di antarnaya : Kang Ayip Muh (Cirebon), KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Amin Halim, KH. Mukhlas, KH. Syarif Hud Yahya dan beberapa santri lainnya.

Sekilas tentang pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon merupakan satu wilayah atau kawasan yang memiliki banyak pesantren. H. Fikri menjelaskan bahwal awal Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon adalah dari satu pesantren yakni Pondok Gede Raudlatut Tholibin terletak di Desa Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon dan pondok ini merupakan pondok pesantren tertua. Dari satu pesantren tersebut, akhirnya berkembang menjadi 40 pesantren (data tahun 2012).

Secara geografi Pesantren Babakan Ciwaringin di bagi menjadi 2 wilayah yaitu wilayah, Pesantren Babakan Utara dan Pesantren Babakan Selatan. Pondok pesantren Raudlatut Tholibin yang didirikan oleh KH. Amin Sepuh ada di wilayah Babakan Utara.

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon didirikan sekitar tahun 1127 H/1705 M, oleh Kyai Jatira. Kyai Jatira sendiri adalah gelar dari KH. Hasanuddin putra KH. Abdul Latief dari desa Mijahan Plumbon Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon. KH. Hasanuddin adalah seorang pejuang agama yang sangat dekat dengan masyarakat miskin. Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah Belanda. Maka dirintislah sebuah pesantren sederhana yang diberi nama Pesantren Babakan.

Pada tahun 1718, penjajah Belanda merasa khawatir dengan keberadaan pesantren ini, maka mereka menyerang Pesantren Kyai Jatira. Serangan itu mendapat perlawanan yang sangat sengit dari para santri. Tetapi karena peperangan itu tidak seimbang dalam perlangkapan senjatanya. Akhirnya para santri dapat dikalahkan, dan pesantren Kyai Jatira dihancurkan dan dibakar habis. Pada persitiwa itu tidak sedikit para santri yang menjadi syuhada, dan peristiwa itu dikenal dengan nama Perang Ki Jatira. Sedangkan Kyai Jatira sendiri dibawa lari oleh muridnya menuju ke Desa Kajen.

Paska perang Ki Jatira, yang telah menghancurkan pesantren yang telah dirintisnya, Kyai Jatira kembali membangun pesantren dan mengajak masyarakat untuk memeluk Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Dan usahanya tersebut membuahkan hasil, masyarakat berbondong bondong masuk Islam dan belajar ilmu-ilmu Islam.

Namun hal tersebut kembali tercium pihak penjajah, dan pada tahun 1751 para penjajah kembali menyerang Pesantren Kyai Jatira. Tetapi serangan itu sudah diketahui oleh Kyai Jatira. Sehingga sebelum para penjajah itu datang untuk melakukan penyerangan, terlebih dahulu Kyai Jatira membubarkan para santrinya. dan Kyai Jatira sendiri kembali ke desanya yaitu desa Kajen, untuk mengungsi sementara menunggu situasi aman.

Setibanya para penjajah di Padukuan Babakan didapatinya pesantren Kyai Jatira dalam keadaan kosong, karena ditinggalkan oleh para penghuninya. Dan akhirnya untuk yang kedua kalinya pesantren dibakar oleh penjajah. Dalam pengungsiannya, Kyai Jatira sakit. Beliau sempat berpesan kepada keponakan yang menjadi menantunya bernama Nawawi untuk datang ke Padukuan Babakan dan meneruskan perjuanganya. Kemudian sekitar tahun 1753 Ki Jatira wafat dan dikuburkan di tempat pengungsiannya di desa kelahirannya sendiri yaitu Desa Kajen.

Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kyai Jatira meniggal dunia, karena tidak ada kader yang dapat menggantikan Kyai Jatira di Pesantren Babakan. Hal tersebut mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisik pun tidak berbekas. Sampai kemudian KH. Nawawi menantu dari Kyai Jatira membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer ke arah selatan dari tempat semula. Dalam mengasuh pesantren beliau dibantu oleh KH. Adzro’i. setelah itu pesantren dipegang oleh KH. Ismail putra KH. Adzro’i tahun 1225 H / 1800 M. Mulai tahun 1916 M pesantren diasuh oleh KH. Amin Sepuh bin KH. Irsyad yang masih merupakan ahlul bait, dari garis keturunan Sunan Gunung Djati.

Peran Kyai Amin Sepuh dalam pertempuran 10 November:

“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ...! Merdeka ..!” (Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo dari berbagai sumber).

Penggalan pidato berapi-api Bung Tomo itu tak lepas dari pekik takbir dan kata merdeka, yang merupakan ciri khas pidatonya dalam membakar semangat kepahlawanan para pejuang Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Kalimat itu selalu digunakan dalam mengawali dan mengakhiri pidato. Bukan merdeka atau mati. Padahal dalam rentang waktu proklamasi 17 Agustus 1945 hingga Oktober 1945, pekik merdeka atau mati sudah tersosialisasi secara luas di seluruh tanah air.

Bung Tomo tampaknya cukup tahu kalau para pejuang yang terjun langusng dalam peristiwa itu adalah umat Islam. Dengan demikian, kalimat takbir yang dipekikan Bung Tomo tidak dilakukan dengan asal-asalan, tetapi melalui perhitungan psikologis yang cukup matang. Sebab penggunaan takbir saat berperang mempertahankan tanah air adalah panggilan perang suci, Jihad Fii Sabilillah.

Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India, Zia-ul-Haq, terheran-heran menyaksikan para Kyai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq terenyuh, dan dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap tentara yang kemudian menjadi Presiden Pakistan ini tentu saja semakin menyulitkan pasukan Inggris menguasai Indonesia dari sisi Surabaya. Resolusi Jihad terlahir karena tentang Indonesia yang baru berdiri belum sekuat sekarang, bahkan berdirinya saja masih beberapa minggu. Dalam resolusi itu disebutkan, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Sedangkan warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

“Kesadaran itu menunjukkan bahwa kalangan santri mempunyai nasionalisme yang tinggi untuk mengusir penjajah” menukil perkataan dari Gus Sholah.

Kemudian, menyambut pidato yang menggelora dari Bung Tomo, maka semakin mantaplah semangat heroisme para pejuang yang berada di lapangan. Tidak hanya itu, laskar Hizbullah dan Sabilillah sebagai sayap militer umat Islam mulai berduyun-duyun memasuki Surabaya untuk menghadang kembalinya sang penjajah. Diantara alumnus kedua laskar yang ikut bertempur di Surabaya itu adalah KH. Munasir Ali, KH. Yusuf Hasyim, KH. Baidowi, KH, Mukhlas Rowi,dan KH. Sulanam Samsun.

Tidak beda dengan Jatim, seruan jihad melawan kolonial juga berkumandang keras di Jabar. Tampil sebagai pelopor adalah Kyai Amin Sepuh dari Babakan Ciwaringin Cirebon, sebagai komandan Hizbullah. Meski saat itu teknologi belum maju, tetapi Kyai Amin Sepuh menjalin komunikasi yang baik dengan para Kyai di Jombang, Solo dan Yogyakarta.

Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan ‘misi’ mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka Kyai Amin Sepuh mengelar rapat bersama para Kyai di wilayahnya. Menurut penuturan Kyai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Bersama dengan Kyai Main, Kyai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory (Plered), dan lan-lain.

Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak ketinggalan, Kyai Amin Sepuh juga berangkat ke Surabaya, termasuk mengusahakan pendanaanya untuk berangkat. “Pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin,” ungkap Kyai Fathoni yang saat itu melihat langsung.

Kyai Amin Sepuh sendiri berangkat ke Surabaya bersama Kyai Abbas Buntet, Kyai Bisri Musthofa, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syamsuri dan beberapa Kyai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat para Kyai berkobar, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Kyai Amin Sepuh bersama beberapa santri, melakukan perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kyai Amin bertemu dengan Kyai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya. Kyai Amin Sepuh merupakan salah satu Kyai yang ditunggu oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ary, sebelum menetapkan tanggal pasti penyerbuan untuk mengobarkan perang terhadap pasukan NICA di Surabaya.

Ilmu yang dimiliki para Kyai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang dan semangat juang santri menjadi modal utama para santri melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan tersebut. Sekembali dari pertempuran di Surabaya Kyai Amin Sepuh dan ribuan pasukannya memilih jalan untuk meninggalkan kenangan peran dan kembali ke pesantren. sebuah langkah sama yang diambil oleh KH. Munsair Ali, KH. Yusuf Hasyim, dan KH. Baidowi. Sebagian besar bahkan memilih untuk menyingkir dari arena politik sama sekali, sehingga sejarah akhirnya menenggelamkan kiprah mereka yang sebenarnya luar biasa.

Nama besar Kyai Amin Sepuh sangat melegenda, bahkan menjadi incaran tentara Belanda, terbukti ketika agresi Belanda II, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan mereka mengangap Kyai Amin Sepuh merupakan tokoh pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para pengasuh berserta keluarga mengungsi. Dua tahun kemudian, tahun 1954, Kyai Sanusi yang masih salah satu murid Kyai Amin sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk kitab-kitab karya Kyai Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.

Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin Sepuh yang menjadi pengauh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya. Atas usahanya beliau maka perkembangan pesantren menjadi maju pesat. Kemajuan yang sangat pesat tersebut juga diiringi dengan rintangan yang tidak mudah. H. Fikri menuturkan, sekitar tahun 1965 pesantren Raudlatut Tholibin dianggap sebagai penghalang anti PKI oleh sebab itu, PKI menyerang pesantren dan menculik salah seorang putra Kyai Amin Sepuh, yang hingga saat ini nasibnya tidak diketahui.

Dibalik itu santri Kyai Amin sepuh makin lama makin meluap. Pondok Raudhotul Tholibin tidak dapat menampung para santri, hingga santrinya dititipkan di rumah rumah ustadznya seperti KH. Hanan, di rumah KH. Sanusi, hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini, sehingga pondok yang awalnya hanya satu (Pondok Raudlatut Tholibin) sekarang menjadi banyak. Alhamdulillah, tahun 2012 terdapat sekitar 40 pondok di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

KH. Amin Sepuh wafat pada hari Selasa, pukul 16.10 tanggal 16 Rabiul Akhir 1392 H atau 20 Mei 1972, di usia yang hampir seabad. Dan dikebumikan di pemakaman keluarga di area pesantren Raudlatut Tholibin.

Penulis : Sumardi

Editor : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)

Datar Pustaka :

Majalah Suara Ulama Edisi 9 tahun 1439 H / 2018 – KH. Amin Sepuh Pahlawan Cirebon

Rihlah Literasi “Menelusuri Jejak Islam di Cirebon” pada Jum’at, 19 Juni 2020 Via Google Meet bareng Student Rihlah Indonesia

Follow

IG : @studentrihlahindonesia

STUDENT RIHLAH INDONESIA

Pusat Kajian Pemikiran Pendidikan, Kebudayaan, dan Peradaban

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image