Radikalisme tidak Tumbuh dari Pesantren
Agama | 2021-12-08 08:06:13Kata radikal mungkin tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Dilansir dari laman kbbi.kemdikbud.go.id, radikalisme berasal dari kata radikal yang berarti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak. Sementara itu, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.
Dari paham radikal inilah muncul kegiatan terosime. menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 pasal 1 ayat 2, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.
Dalam prakteknya radikalisme sering menggunakan nama agama, khusunya agama Islam. Agama seringkali digunakan sebagai objek untuk merealisasikan tujuan dan kepentingan suatu oraganisasi radikal seperti, ISIS,al-Qaeda, Ikhwan al-Muslimin dan lain sebagainya. Hal ini semakin mencoreng agama Islam sebagaiagama rahmatan lil ‘alamin.
Di Indonesia, radikalisme sudah muncul sejak tahun 1949, kala itu Kartosuwirjo memimpin pemberontakan DI/TII dengan tujuan untuk membentuk negara Islam Indonesia dengan berlandaskan syariah. Lalu pada era pasca reformasi dan semakin gencarya demokrasi, paham radikalisme semakin merajalela di Indonesia, contohnya ada Komandan Jihad (KOMJI) yang meledakkan tempat ibadah pada tahun 1976 dan peristiwa bom Bali yang dikepalai oleh Nurdin M Top.
Di dalam dunia perpolitikan Indonesia, pendukung atau penganut paham Islam yang radikal semakin meningkat, sehingga menyebabkan masalah radikalisme Islam di Indonesia juga semakin besar. Namun dalam perjalanannya, gerakan-gerakan ini menunjukkan perbedaan tujuan. Kelompok yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia tetap ada, tetapi ada juga kelompok yang hanya ingin memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa harus mendirikan Negara Islam. Pola organisasi ini pun berbeda-beda, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan HTI, sampai dengan menggunakan gaya militer seperti Laskar Jihad dan FPI.
Paham Radikalisme di Indonesia menyebar melalui berbagai macam organisasi, instansi, media sosial dan lain sebagainya. Bahkan, penyebaran paham radikalisme sudah mencapai dunia pendidikan. Dilansir dari www.republika.co.id “Isu Radikalisme-Terorisme dan pendidikan Ponpes” , menurut kepala Badan Penangulangan Terorisme (BNPT) tidak ada bidang yang benar-benar terbebas dari radikalisme, termasuk dunia pendidikan.
Jika dilihat dari dunia pendidikan di Indonesia, terdapat dua jenis basis pendidikan di Indonesia, yaitu yang berbasis umum dan berbasis agama. Contohnya adalah pondok pesantren yang berulang kali dikaitkan dengan isu-isu radikalisme dan terorisme. Salah satu penyebab pondok pesantren dikaitkan dengan penyebaran radikalisme adalah karena beberapa pelaku terorisme di Indonesia pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Isu radikalisme di pesantren tentu menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang tua di Indonesia, pasalnya tidak sedikit orang tua di Indonesia yang memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesanten untuk belajar, khususnya ilmu Agama Islam. Dilansir dari www.cnnindonesia.com, pada tahun 2016, kepala BNPT saat itu, Saut Usman Nasution, menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme. Namun seiring berjalannya waktu, dilansir dari nasional.kompas.com, Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas, menyatakan bahwa tidak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme.
Pada umumnya, pondok pesantren menganut paham moderat, yaitu paham yang tidak ekstrem, tetapi juga tidak lalai dalam beragama. Hanya sebagaian kecil saja pondok pesantren yang berpaham ekstrem. Dalam pesantren, isu-isu seperti hukum merokok dan lain sebagainya bukanlah hal yang baru. Justru dengan isu-isu itu, para santri diajarkan untuk mempelajari tentang pendapat para ulama mengenai isu-isu tersebut. Lalu santri bisa belajar menghadapi berbagai perbedaan pendapat dengan kepala dingin, tanpa bersikap takfir (pengkafirkan terhadap orang lain), serta menghindari fatwa penghalalan darah orang lain yang berbeda pendapat. Sikap takfir ini dalam tingkat tertentu bisa menjadi alasan terjadinya kekerasan atas nama agama yang pada akhirnya dapat menciptakan konflik.
Hal tersebut diataslah yang akan menumbuhkan sikap apresiatif terhadap perbedaan pendapat dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Kondisi inilah yang bisa menjadi benteng terhadap paham radikal, bahkan terorisme bagi para santri.
Menurut Ahmad Baso, sebagaimana yang dikutip oleh Badrul arifin dalam jurnal yang berjudul “Kurikulum Anti-Radikalisme dalam Pendidikan Pesantren”, pengajaran di pesantren menekankan pada sikap menghormati perbedaan madzhab dan hasil ijtihad, walapun pada akhirnya harus memilih salah satu madzhab, pesantren mengakui bahwa adzhab lainnya adalah benar. Misalnya di Indonesia yang kebanyakan memilih madzhab Syafi’i, didalam madzhab syafi’i sendiri pun sangat banyak perbedaan pendapat di dalamnya, dalam hal ini, pesantren tidak memvonis salah dan benar di dalam perbedaan pendapat. Selanjutnya, menurut Ahmad Baso, ijtihad adalah proses manusiawi yang dapat diapresisai tanpa harus ada vonis ini keliru atau salah. Karena dalam konsep ijtihad, meski keliru akan mendapat pahala.
Dalam jurnal karya Ari Prayoga dan Muhammad Sulhan yang bejudul “Pesantren Sebagai Penangkal Radikalisme dan Terorisme”, K.H. Imam Zarkasyi membantah tuduhan bahwa Pondok Pesantren Modern Gontor tidak Pancasilais dengan menyatakan bahwa tidak ada sila Pancasila yang tidak dipraktikkan setiap harinya. Beliau juga menambahkan bahwa sila Persatuan Indonesia sudah meresapi pesantren ini bahkan sebelum ikrar sumpah pemuda. Dengan menempatkan para santri yang berasal dari berbagai suku dan daerah dengan tidak mengelompokkan kedalam satu kelompok yang berdasarkan suatu suku atau daerah tertentu. Hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi bahwa Indonesia itu satu dan sikap anti-kesukuan.
Dilihat dari beberapa contoh diatas, dapat dikatakan bahwa benih-benih radikalisme Islam sulit untuk menembus lembaga pesantren. Jika dilihat dari salah satu ciri radikalisme, yaitu mudah mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan dirinya dan tidak menghargai perbedaan pendapat, pendidiikan di pondok pesantren justru sebaliknya. Pondok pesantren menekankan kepada para santrinya untuk menghormati dan mernghargai perbedaan pendapat. Jadi,asumsi bahwa pesantren adalah tempat penyebaran paham radikalisme adalah kurang tepat.
Melalui tulisan ini, penulis berharap agar kita semua tidak memberikan label kepada pondok pesantren sebagai sarang penyebaran radikalisme, adapun jika ditemukan pesantren yang menyisipkan ajaran yang berbau radikal, itu pasti sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, penulis berharap agar tidak menggeneralisir dan membuat stigma bahwa semua pondok pesantren itu mengajarkan paham radikal. Penulis juga berharap agar kita bisa mencontoh dan menjadikan ajaran-ajaran pesantren yang moderat sebagai benteng untuk menangkal paham radikalisme dan terorisme.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.