Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Cinta Otentik itu Bernama Sheila Syafira Hidayat

Curhat | Sunday, 23 Oct 2022, 14:50 WIB

Kalau boleh jujur, saya dahulu mempunyai pemikiran dan keyakinan yang kuat dan tak tergoyahkan perihal cinta. Pertanyaan yang cukup klise, tetapi memang mau tidak mau terus dipertanyakan dan diperdebatkan, “Apakah cinta harus saling memiliki?” dan “Apakah cinta harus berakhir di pernikahan?” tentu saja, jawaban saya tidak!

Apriori saya berasal dari memaknai cinta pada saat itu. Cinta adalah keras kepala. Cinta sering kali dianggap sebagai sesuatu yang terberi (given) dan diterima begitu saja (taken for granted). Mencintai adalah proses pemindahan rasa suka, duka, dan penerimaan yang begitu dahsyat kepada orang yang kita cintai. Artinya, apapun yang kita lakukan terhadap orang yang kita cintai, kita harus mampu mengeluarkan segala macam usaha dan perlakuan, serta pemberian, dan pemenuhan entah itu yang bersifat materil maupun nonmaterial seluruhnya tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa mengkritisi realitas yang kita sedang alami!

Apapun yang orang yang kita cintai butuhkan, kita selalu ada; menolongnya, membantunya, mengasihinya, memberikan makan, minum, jajan, menjemputnya, menjadi tempat dia bercerita dari civitas kehidupannya, termasuk cerita cinta orang yang kita cintai dengan orang yang ia cintai pula! Tragis memang, saat orang yang kita cintai membutuhkan kita di saat ia sedang dalam masalah bersama orang yang dicintainya. Namun kembali lagi, cinta adalah keras kepala dan tanpa syarat tanpa pamrih!

Entah itu masuk ke dalam kategori maniacal loving (mencintai secara tergila-gila) atau generous loving (mencintai dengan tulus/tanpa syarat). Maniacal loving didominasi oleh nafsu untuk memiliki. Sedangkan sebaliknya, generous loving justru merupakan tindakan “menolak segala aksi memiliki” (Beauvoir, 1983: 67). Saya tidak memahami di kategori manakah saya mencintai, sebab dua-duanya mempunyai keterikatan emosional dan tentunya saling berkelindan. Dan yang pasti, saat kita mencintai, kita sangat mudah meruntuhkan sekat-sekat yang ada dalam kehidupan manusia, apalagi hanya merobohkan dikotomi tersebut.

Namun, waktu terus berjalan. Kehidupan memberikan banyak arti dari hasil dialektis pencarian makna cinta dan hidup. Perdebatan terus saya cari, mulai dari filosofis, neuronsains, perspektif biologis yang menjelaskan bahwa ia bermula dari adanya dinamika hormonal dalam tubuh manusia, sastra, visualisasi dari film layar lebar mengenai perjuangan cinta, sampai karya musik mengenai pengorbanan dan ungkapan rasa cinta. Alhasil, saya mendapatkan semacam pencerahan; pemikiran dan keyakinan saya berubah. Pertumbuhan kognisi saya berdampak kepada perkembangan orientasi saya dalam memaknai arti cinta dan kehidupan. Cinta harus saling memiliki, dan jika kamu mencintai, menikahlah dan hidup bersamanya!

Kesadaran saya juga turut berkembang. Kita hidup dalam arus kehidupan yang begitu mencekam. Kapitalisme yang terus bertransformasi juga perkembangan mesin dan teknologi dalam kerangka industrialisasi dan teknologisasi mampu meramu sedemikian rupa wajah realitas baru di luar daripada realitas yang nyata dan konkret. Itu tergambar dalam terjadinya pergeseran yang paling mendasar ialah sedari tindak-tanduk manusia menjalani kehidupan, bersosialisasi, berbelanja, hingga pada ruang intim memaknai kehidupan —terutama realitas yang manipulatif bagi Jean Baudrillard. Hikmat Budiman (2002) turut mengemukakan keresahannya bahwa dunia manusia sekarang sudah dipenuhi dengan huru-hara tanpa ada rasa haru. Nestapa manusia modern sudah memasuki periode ambivalensi dalam menjalani kehidupannya.

Menurut Fromm, manusia memiliki problem eksistensial, yaitu kesadaran akan kesendirian, keterpisahan, dan ketidakberdayaan di tengah-tengah kehidupan sosial. Seiring berjalannya waktu, problem tersebut dapat bertransformasi menjadi rasa malu dan cemas, yang tentu dapat mengganggu kehidupan. Transformasi tersebut melahirkan sebuah keinginan yang amat dalam, yaitu meninggalkan penjara kesendirian dan keterpisahannya melalui sebuah penyatuan. Salah satu bentuk dari penyatuan tersebut adalah cinta.

Dari kontemplasi itulah saya mulai berpikir untuk bukan hanya mencintai, tetapi juga mencari teman hidup, membentuk semacam ikatan keluarga. Saya tidak bisa membayangkan hidup dalam kehidupan seperti ini jika saya hidup dalam kesendirian. Betapa kejinya pusara kapitalisme dan neoliberalisme ekonomi dalam mengkerdilkan juga mengalienasikan eksistensi manusia sehingga terjerembap dalam keterasingan dan makhluk hidup serta memberangus lingkungan semesta alam.

Saya butuh pendamping hidup untuk saling bertukar pikiran, bercerita tentang civitas keseharian, saling memenuhi kebebasan berpikir dan berpendapat individu supaya terus bertumbuh dan berkembang dalam pemikiran serta karier, saling mencintai, membantu, mengasihi, menguatkan, saling menjaga, saling menasihati, saling mengucurkan kesabaran dan ketabahan yang tertuang dalam suka ataupun duka.

Kehidupan akan melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang terkadang mendatangkan keterkejutan yang di luar akal nalar rasional manusia dan yang tak sesuai harapan dan keinginan kita, yang dinyana dapat membuat psikis kita terperosot dan down, oleh sebab itu kita butuh pegangan untuk bersandar, memposisikan kepala kita sebentar di bahu pasangan orang yang kita cintai, untuk rehat, lalu mulai bangkit dan mengevaluasi realitas yang terjadi, dan saya yakin, adanya rasa cinta kasih, perhatian, serta doa dari pasangan kita, dapat mengisi ulang pikiran dan tenaga untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.

Dan, hanya pernikahan yang memungkinkan itu semua, bukan hanya pacaran sesaat, bukan pacaran tak tentu arahnya, bukan cinta satu malam, bukan hubungan tanpa status, bukan Friend with benefit, bukan cinta bertepuk sebelah tangan, bukan badut, tetapi hanya pernikahan!

Saya sudah mulai untuk mempersiapkan semuanya. Dimulai dari mengkondisikan diri saya untuk berpikir, memahami, dan belajar cara mencintai yang baik dan benar. Saya memilih seseorang untuk menjadi pasangan dan berkomitmen untuk hidup dengan saya sampai langit runtuh dan maut memisahkan. Saya mencari seseorang bukan hanya untuk rasa nyaman karena kesempatan, bukan pula yang sibuk mengemasi gaya hidup, cara berpakaian, maupun kapasitas finansial. Logika cinta menjadi logika negosiasi perdagangan. Relasi antar rasa yang bersifat agung direduksi layaknya jual-beli barang dagangan. Waktu hidup mereka dihabiskan untuk mengemas diri, bukan mempersiapkan pembelajaran cinta kasih yang sesungguhnya.

Harapan dan kecemasan yang berbaur itu berakhir pada seorang perempuan yang bermana Sheila Syafira Hidayat. Gadis Betawi yang begitu cantik dan aduhai, senyum indah nan mungil yang menawan. Aku tergila-gila padanya. Dan beruntungnya lagi, ia menerima dan ingin berkomitmen dan hidup dengan saya dalam mahligai pernikahan. Ini bukan hanya anugerah lalu berucap alhamdulillah, tetapi wajib disyukuri sembari sujud syukur seraya menangis ke hadapan yang maha kuasa, di mana Ia telah bukan hanya memenuhi harapan dan keinginanku, tetapi melampaui apa yang aku pikir, imajinasikan, dan rapalkan panjat doa-doa di sepertiga malam.

Kehadiran Sheila mampu menyapu bersih problem dalam cinta; dari proses pemaknaan maupun perwujudan atas konsepsi yang diyakini oleh seluruh umat manusia. Sheila mampu menghadapi inventarisasi problem cinta yang bisa diidentifikasi, seperti ketidakcocokan, ketidaksepahaman, dan ketidaksetaraan. Sheila bersedia menempuh jalan “cinta” dari pemikiran Erich Fromm yaitu care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (hormat), dan knowledge (pengetahuan). Kami berdua sepakat; untuk terus membangun dan mengkontruksi cinta kita tanpa finalistas!

Jika dalam buku The Second Sex, filsuf perempuan Prancis Simone de Beauvoir mengatakan, ”Authentic love mesti timbul dari kesadaran resiprokal (saling berbalas) antar dua kebebasan; tiap pasangan nantinya akan mengalami menjadi dirinya sendiri sekaligus menempatkan dirinya sebagai yang lain: tiap pasangan tidak ada yang melepaskan nilai transendensi mereka maupun ‘memutilasi’ diri mereka sendiri; bersama-sama mereka akan mengungkap nilai dan tujuan hidup mereka di dunia”. Maka, Sheila Syafira Hidayat adalah sebenar-benarnya representasi dari perwujudan Authentic love itu sendiri.

Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur. Kita memilih untuk mencintai (Sheila), tapi kita tidak memilih untuk berhenti mencintai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image