Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rama Kurnia Santosa

Mereka yang Kita Sayangi adalah yang Paling Hebat Melukai

Sastra | 2025-10-24 12:19:12

Mencintai, barangkali, adalah bentuk penghormatan terakhir terhadap diri sendiri. Atau mungkin, justru pengkhianatan yang paling halus terhadapnya. Di dunia yang dipenuhi wajah-wajah letih, setiap orang berbicara tentang cinta seolah itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan mereka dari kehampaan, aku mulai meragukannya. Ada pepatah kuno yang berkata: “Cintailah dirimu sendiri sebelum mencintai orang lain.” Tapi pepatah itu kini terdengar seperti debu di rak buku tua, tersisih, tak dibaca, hanya menjadi kalimat yang kehilangan maknanya di tengah hiruk-pikuk manusia yang begitu sibuk mencari seseorang untuk disembah, bukan untuk disayangi.

Manusia telah menjadikan cinta sebagai upacara pengorbanan. Mereka menyerahkan jiwanya, tubuhnya, dan kadang juga kewarasannya, untuk sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Di antara semua hal yang kita sebut “indah”, cinta justru paling sering melukai, karena ia selalu datang bersama harapan. Lalu harapan, seperti yang kutahu, adalah bentuk keputusasaan paling rapi yang pernah diciptakan manusia. Orang yang kita sayangi biasanya adalah orang yang paling lihai dalam menyayat. Mereka datang membawa bunga, tapi dalam kelopaknya terselip belati. Kita menerima keduanya dengan sukarela, bahkan dengan bahagia, seolah luka adalah bagian dari perayaan itu sendiri.

Mungkin karena itu, mencintai berarti menyiapkan wadah bagi air mata kita sendiri, semacam bejana sunyi di sudut kamar, tempat setiap tetes kesedihan ditampung diam-diam, jauh dari pandangan siapa pun. Tak ada yang benar-benar bisa menolong kita dalam mencintai, sebagaimana tak ada yang benar-benar bisa menyelamatkan kita dari kesepian. Kita belajar menahan tangis di dada, belajar tersenyum sambil menganga oleh luka yang belum juga sembuh.

Namun anehnya, di tengah segala kebingungan ini, manusia terus mencintai. Ia tahu bahwa cinta akan melukainya, bahwa suatu hari bunga itu akan layu dan belati akan menembus dadanya, tapi ia tetap melangkah dengan keyakinan yang sama, bahwa barangkali kali ini akan berbeda. Bahwa mungkin cinta kali ini tak akan menjadi perang, melainkan rumah.

Lantas di sanalah absurditas manusia terbentang: kita semua sadar bahwa cinta adalah labirin tanpa pintu keluar, namun kita terus berjalan di dalamnya, berharap dindingnya runtuh hanya karena kita percaya. Mungkin di situlah letak kemanusiaan yang sesungguhnya, di antara luka dan harapan yang tak pernah selesai. Sebab, bukankah kita memang sudah terbiasa hidup dengan kehilangan, dan mencintai hanyalah cara baru untuk mengulanginya dengan sedikit lebih lembut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image