Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Dalam hal mendidik dan melakukan dakwah kita harus berperan laksana seorang bidan

Agama | Monday, 03 Oct 2022, 06:13 WIB

Membantu proses kelahiran bayi. Itulah tugas pokok seorang bidan. Untuk saat ini, hampir di semua pelosok daerah sudah tersedia pelayanan bidan.

Berlainan dengan jaman dahulu, kini hampir semua ibu hamil senantiasa memeriksakan kehamilannya kepada bidan. Demikian pula ketika akan melahirkan, keluarga ibu hamil sudah terbiasa datang kepada bidan praktik, atau mengundang bidan ke rumahnya.

Terdapat dua kata kunci yang dapat kita ambil dari tugas seorang bidan, yakni ibu hamil dan membantu proses kelahiran bayi. Sebelumnya, sejak pertama kali seorang ibu diketahui kehamilannya, seorang bidan dengan permintaan seorang ibu yang tengah hamil memeriksa dan selalu memberikan nasihat agar sang ibu menjaga kesehatannya agar dapat melahirkan bayi dengan sehat dan selamat.

Jika kita analogikan dengan peran kita sebagai khalifah Allah di muka bumi, kita bisa belajar dari seorang bidan. Namun, tentu saja bukan ikut membantu proses kelahiran seorang ibu hamil yang akan melahirkan, melainkan mendidik dan melahirkan jiwa kepada ketaatan dan kesucian, yang dilandasi keimanan, pengakuan akan ke-Tuhan-an Allah yang sudah kita “kandung” sejak di alam azali. Setiap manusia sudah dibekali dengan “bayi-bayi” kebaikan dan ketauhidan kepada Allah dalam dirinya yang sering kita kenal dengan sebutan fithrah.

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, ‘Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.’ ” (Q. S.Al A’raf : 172).

Socrates, seorang filosof Yunani mengatakan, siapapun orangnya yang mengajak kepada kebaikan, mengajar dan mendidik seseorang, alangkah baiknya apabila ia menggunakan metode “maieutike tekhne”, yakni teknik atau seni kebidanan. Sebab secara filosofis setiap orang telah dibekali “kandungan” pengetahuan dan kebaikan yang disampaikan ruh atau pertanda ilahi (daimonion semeion).

Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak manusia yang tidak menyadari akan kefitrahan yang sudah mereka “kandung”, akhirnya banyak manusia yang perilakunya melenceng dari kefitrahannya. Disinilah tugas para guru, para penyeru kepada ilmu dan kebaikan untuk mengingatkan manusia yang tengah tersesat agar segera kembali ke jalan fitrahnya. Dari sinilah lahir konsep hijrah dalam arti luas dan konsep taubat kembali kepada jalan yang benar.

Sebagai khalifah Allah di muka bumi, kita tak boleh egois, hanya berusaha menjadikan jiwa sendiri saja yang memiliki keimanan dan kebaikan, namun kita pun harus pula membantu lahirnya keimanan dan kebaikan yang sudah lama “dikandung” jiwa orang lain. Seperti halnya jiwa sendiri, jiwa orang lain pun sama sudah dibekali dengan kefitrahan atau kesucian jiwa, keimanan dan kecenderungan untuk berbuat kebaikan, hanya saja orang tua dan lingkungan hidupnya yang merubah kefitrahannya.

Konsep “amar ma’ruf nahyi munkar” yang merupakan inti dari dakwah Islamiyah, pada hakikatnya adalah suatu proses untuk membantu kelahiran potensi-potensi keimanan dan perbuatan baik yang dikandung setiap jiwa manusia. Karenanya, seorang da’i, baik ustadz, mubaligh, maupun guru sebagai orang yang melakukan ajakan “amar ma’ruf nahyi munkar” selayaknya berperan seperti seorang bidan yang membantu kelahiran bayi dari seorang ibu.

Kelembutan, kesabaran, dan tanggungjawab dari seorang da’i mutlak diperlukan. Ia harus sabar menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan cercaan dari manapun datangnya, sampai lahir “bayi-bayi” kebaikan dari setiap jiwa, yang diharapkan kelak tumbuh mekar menjadi kebaikan abadi yang dapat meningkatkan kemuliaan Islam dan umatnya.

Dalam proses amar ma’ruf nahyi munkar, dialog dengan jiwa sendiri dan orang lain agar membantu proses kelahiran keimanan dan kebaikan mutlak diperlukan. Dialog dengan diri sendiri disebut tafakur atau muhasabah, merenungi tata perilaku jiwa sendiri. Hal ini mutlak diperlukan, sebab mana mungkin kita bisa membantu kelahiran kebaikan dari jiwa orang lain, sementara jiwa kita sendiri tidak mampu melahirkan kebaikan. Dari konsep ini lahirlah konsep kebaikan itu harus dimulai dari diri sendiri.

Al Qur’an dan hadits menyerukan agar kita memulai perbuatan baik itu dari diri kita sendiri, keluarga, baru kepada khalayak ramai. “Quu anfusakum wa ahlikum naaron”, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Q. S. at Tahrim : 6). Demikian pula dalam hadits Rasulullah saw, kebaikan itu harus dimulai dari diri kita sendiri, ”ibda binafsik” mulailah dari dirimu sendiri.

Jika konsep ‘ibda binafsik” ini benar-benar dipraktikan, maka akan melahirkan keteladanan. Perbuatan baik kita akan dicontoh orang lain. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw. Ia melakukan dakwah bukan dengan kata-kata belaka, namun dengan perbuatan nyata yang dapat disaksikan dan diteladani semua kalangan.

Sampai dunia ini berakhir, Iblis sebagaimana janjinya, akan terus berjuang keras mempengaruhi manusia agar cenderung kepada perbuatan jahat. Ia akan tetap konsisten menjadi “virus” agar kebaikan yang dikandung setiap jiwa berubah menjadi keburukan yang menyesatkan. Iblis akan berusaha menggoda setiap jiwa supaya mandul dalam melahirkan ketaatan dan kebaikan, subur dalam melahirkan perbuatan jahat dan dosa.

Agar “virus” yang dibisikan iblis kepada setiap jiwa tidak merubah kandungan kebaikan menjadi kejahatan, para da’i atau para penyeru kebaikan harus menjadi “bidan” yang siap melayani umat. Para da’i harus siap menjadi konsultan dan pelayan setiap jiwa, demi lahirnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta lahirnya beragam kebaikan dari setiap jiwa.

Selayaknya, para da’i atau penyeru kebaikan jangan hanya tinggal di menara gading, hidup glamor dalam gelimang kemewahan yang membuat orang segan mendatanginya untuk meminta nasihat atau fatwa.

Seperti halnya seorang bidan yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan ibu dan bayi ketika akan melahirkan, demikian pula dengan para da’i. Mereka harus ikut memelihara dan bertanggung jawab atas kelahiran kebaikan dari setiap jiwa yang ada di hadapannya.

Kelahiran kebaikan dari setiap jiwa yang dapat meningkatkan kualitas dan derajat Islam dan umatnya harus menjadi fokus utama para da’i. Dakwah demi “ke-viral-an” dan popularitas diri selayaknya dihindari setiap da’i, apalagi jika tujuan dakwahnya hanya mementingkan retorika belaka demi meningkatkan bayaran tinggi ketika diundang memberi tausiah, fatwa, atau ceramah.

Ilustrasi : seorang bidan sedang memeriksa ibu hamil (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image