Mahsa Amini, Perempuan dan Islam
Agama | 2022-09-30 01:30:56"Tragis dan menyedihkan," begitulah komentar Presiden Iran, Ebrahim Raisi, terhadap kematian Mahsa Amini.
Kematian Mahsa Amini
Dilansir dari laman Republika.co.id, Amini yang berusia 22 tahun ditangkap oleh polisi moral karena dinilai menggunakan pakaian yang tidak pantas dan tidak sesuai aturan. Amini, yang berasal dari Kota Saqez, Kurdi, meninggal di rumah sakit setelah koma. (29/9/2022)
Terpanggil oleh rasa keadilan. Banyak perempuan akhirnya turun ke jalan, menuntut keadilan bagi Amini dan perempuan Iran. Ada yang membuka hijabnya, membakar hijabnya, juga memotong rambutnya saat aksi berlangsung. Tak hanya perempuan Iran, dunia internasional mengecam fenomena ini.
Sayangnya, bukannya redam, jumlah yang meninggal justru semakin bertambah. Dilansir dari laman Republika.co.id (27/9/2022), Organisasi Iran Human Rights (IHR) mengungkapkan, tindak kekerasan aparat keamanan Iran dalam merespons gelombang unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini telah menyebabkan sedikitnya 76 orang tewas.
Sungguh diluar nalar. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini di negeri yang mengaku menerapkan islam? Padahal, Islam berarti keselamatan. Islam merupakan ajaran kasih sayang.
Sejarah Hijab di Iran
Membicarakan fenomena Tragis ini tak bisa lepas dari sejarah. Iran dahulunya adalah Persia. Oleh karena itu, Persia menjadi bahasa resmi Iran saat ini. Seperti yang kita ketahui, melalui lisan Rasulullah saw, kabar gembira datang, bahwa Persia akan ditaklukkan oleh Islam.
Faktanya bisa kita saksikan saat ini, Persia menjadi bagian dari Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw dan diperjuangkan oleh sahabat setelahnya. Hingga akhirnya Daulah Islam runtuh pada tahun 1924. Setelahnya, bagi-bagi kekuasaan terjadi.
Iran diberikan pada dinasti Pahlavi. Pada masa ini, peran islam dikucilkan. Sekularisme dipaksakan di tengah masyarakat. Hingga ada peraturan pelarangan hijab bagi muslimah Iran. Barat dijadikan kiblat termasuk dalam hal berpakaian.
Reza Shah Pahlavi sampai merilis dekrit Kashf-e hijab yang melarang setiap perempuan mengenakan hijab apalagi cadar, serta sejumlah pakaian kuno pria pada 7 Januari 1936. Ia menanggap hijab juga cadar sebagai bentuk keterbelakangan. Terdengar sama seperti saat ini.
Dekrit ini menjadi dalil bagi aparat untuk melucuti paksa hijab muslimah bahkan memasukkannya ke dalam bui jika tidak juga melepas hijabnya. Akhirnya, banyak muslimah yang lebih memilih diam di dalam rumah daripada harus dipermalukan dengan pelucutan hijabnya.
Sampai akhirnya, Reza Shah Pahlavi turun tahta, diganti oleh anaknya Muhammad Reza Pahlavi. Berbeda dengan ayahnya, ia lebih menyukai cara Mustafa Kemal Ataturk dalam memberikan aturan tentang hijab di Turki, jantungnya Daulah Islam dulu. Dekrit larangan hijab dicabut walau pandangan pemakaian hijab adalah keterbelakangan masih tetap ada.
Revolusi Islam
Walau sudah bertahun-tahun diterapkan aturan yang keras menjauhkan Islam dari muslim. Hingga berubah menjadi lebih lunak. Hal ini tidak mengubah kerinduan muslim terhadap penerapan Islam di bumi Persia. Dinasti Pahlavi tak kuat bertahan lama hingga akhirnya digulingkan oleh revolusi dengan pemimpin tertinggi Ayatollah Khomeini.
Di masa Khomeini inilah aturan baru tentang hijab diberlakukan. Muslimah diwajibkan memakai hijab ketika keluar rumah. Hukuman keras menanti jika muslimah tidak menutup auratnya. Aturan tersebut tertulis dalam Kitab Hukum Islam Iran Ke-5. Dalam pasal 638 ditetapkan, perempuan yang tak mengenakan hijab terancam hukuman penjara minimal dua hari dan maksimal dua bulan, dan atau membayar denda minimal 50 ribu rial dan maksimal 500 ribu rial.
Pada 1983, aturan tersebut diperluas lewat keputusan Majelis Permusyawaratan Islam. Kewajiban berhijab tak hanya berlaku untuk muslimah tapi juga perempuan non-Islam. Ganjaran pelanggarannya pun ditambah dengan hukuman 74 kali cambukan dan atau hukuman penjara 60 hari. Sejak itu, kaum perempuan di Iran suka-tidak suka harus mengenakan hijab. (historia.id, 29/9/2022)
Penerapan aturan tanpa pembinaan iman terus dilakukan hingga memupuk benih kebencian pada negara, aparat juga aturannya. Hingga akhirnya tanggal 16 September 2022 yang lalu, gelombang besar protes terjadi di Iran.
Berlebihan
Kalau kita coba telusuri dari sejarahnya, masalah muncul sejak runtuhnya Daulah Islam. Sekularisme disuntikkan dalam aturan. Memaksa masyarakat menjauh dari agama yang biasa mengatur hidup mereka sehari-hari. Berlebihan dalam membolehkan, boleh buka aurat di hadapan semua orang.
Tidak setuju dengan berlebihan dalam membolehkan, datang fase berlebihan melarang. Bahkan dilengkapi dengan kejamnya hukuman yang diberikan sama seperti kejamnya hukuman melarang hijab. Tidak memakai hijab dan tidak berpakaian longgar di depan umum dianggap sebagai kejahatan besar yang pantas dihukum.
Mana yang benar? Tentu tidak ada yang benar. Islam tidak mengajarkan berlebihan seperti itu. Baik berlebihan membolehkan atau berlebihan melarang. Fenomena berlebihan ini hadir karena muslim jauh dari tsaqofah islam. Hingga muslim tidak lagi mengenal baik ajaran agamanya sendiri.
Sebagaimana Allah berfirman dalam al quran surat Al Baqarah ayat 143 yang artinya, "Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..."
Mereka bersuara lantang bahkan ditambah dengan kekuasaan merasa benar dengan apa yang dilakukan. Padahal, tidak begitu Islam mengajarkan, tidak begitu pula Rasulullah memberikan teladan.
Hijab dalam Islam
Sebagai muslim yang membaca al quran, tentu kita ketahui ada aturan tentang menutup aurat bagi muslimah di dalam al quran. "Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 31).
Dari quran surat an Nur ayat 31 tersebut, jelas bahwa Allah swt memanggil perempuan yang beriman agar menutup kain kerudung ke dadanya. Bagi saya ini menggambarkan bahwa hanya mereka yang beriman sajalah yang mau menutupkan kain kerudung ke dadanya.
Mereka yang beriman pada Allah, yakin bahwa diri hanya makhluk sementara Allah sebagai Khaliq (Pencipta), yakin bahwa semua aturan yang diturunkan adalah yang terbaik bagi diri, karena yakin bahwa Allah Maha Mengetahui sementara manusia tidak. Yakin bahwa aturan Allah turunkan atas rasa sayang dan bentuk penjagaan pada kita, hamba-Nya.
Muslimah yang punya keyakinan seperti ini pasti akan mau menutup auratnya, memakai kerudung ke dadanya. Bahkan akan teguh memegang prinsip ini walau ditawari uang berjuta-juta, kerjaan dengan jabatan tinggi, atau yang lainnya. Sebagaimana muslimah Palestina mengaku tidur mengenakan hijabnya karena khawatir akan meninggal dalam keadaan tidur oleh gempuran Israel. Ia tak ingin auratnya nampak.
Buah Iman dan Islam
Itulah buah iman kepada aturan Allah swt. Itulah buah dari pemahaman yang benar akan Islam. Harusnya jika pemerintah ingin masyarakat rida, ringan, bersuka cita menyambut aturan berhijab ini, tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Tentu juga bukan hanya dengan fokus pemberian hukuman yang tegas dan keras.
Pemerintah bertugas menumbuhkan cinta dalam diri umat akan aturan Allah swt. Caranya dengan menanamkan iman lewat kurikulum pendidikannya, tak hanya itu media pun dikondisikan agar memupuk keimanan. Tayangan ini dibuat semenarik mungkin.
Selain itu, harus ada budaya amar ma'ruf nahi mungkar diantara masyarakat. Amar ma'ruf ini dilakukan atas dasar sayang dan cinta pada saudara seiman. Bermodal sayang dan cinta maka konten dan konteks amar ma'ruf akan beradab juga lembut. Sehingga akan lebih mudah bagi orang untuk menerima amar ma'ruf ini.
Semuanya ditemani dengan peran diri untuk terus memupuk iman, dan kecintaan pada Islam. Sehingga akan mudah, ringan dan bersuka cita saat menyambut pelaksanaan syariat Allah, termasuk mengenakan hijab yang baik dan benar. Tak peduli rambut indahnya harus ditutup. Tak peduli diri jadi kepanasan. Ia hanya memedulikan rida Allah atasnya.
Hukuman bagi yang melanggar aturan ini memang harus ada, tapi jenis hukumannya diganti. Bukan hukuman kekerasan seperti yang diberlakukan di Iran, tapi berupa yang mendidik. Jangan sampai menghantarkan pada kematian.
Khatimah
Inilah potret jauhnya kita dari agama sendiri. Sehingga muncul sikap berlebihan. Memprotes fenomenapun bisa tergelincir menjadi protes pada aturan Allah. Padahal, yang seharusnya diproses adalah kebijakan penguasa Iran. Sebagaimana Rasul juga mencontohkan adanya muhasabah lil hukam. Memuhasabahi para penguasa atas kezaliman yang dilakukannya. Semoga kita dijauhi dari kezaliman dan didekatkan pada rida Allah dengan kembali pada Islam secara kaffah.
Wallahua'lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.