Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

Kemana Arah Kebijakan Energi Baru Terbarukan?

Politik | Thursday, 29 Sep 2022, 08:33 WIB

Penulis: Devi Malika Azzahra, S.P. (Mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, ULM)

Peralihan energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terus didorong oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel untuk ditingkatkan guna mencapai target nol emisi atau net zero emission pada 2060 mendatang.

Mengutip rri.co.id, hal ini disampaikan Gubernur Kalsel, H. Sahbirin Noor melalui Staf Ahli Gubernur Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, Husnul Khatimah pada Diskusi Publik Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan dalam Mendukung Pelayanan Publik di Sektor Kelistrikan, berlangsung di Aston Hotel Kabupaten Banjar, Rabu (15/09/2022).

General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (UIW Kalselteng) Tonny Bellamy dalam sambutan yang disampaikan Manajer PT PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Banjarmasin Muhammad Arif Fikri mengatakan, PLN juga terus berkomitmen untuk melakukan transisi energi bersih di Tanah Air sebagai upaya menciptakan masa depan yang lebih baik (kompas.id, 22/09/14)

Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Gusti Muhammad Hatta, berpendapat Kalimantan Selatan memiliki potensi energi baru terbarukan cukup besar yang belum termanfaatkan maksimal (cendananews.com, 22/02/11).

Menurut Hatta yang merupakan mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan juga mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, beberapa energi baru terbarukan yang cukup potensial di Indonesia termasuk Kalsel, antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Pemanfaatan EBT menjadi salah satu program prioritas untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23 persen dan terus ditingkatkan sampai 31 persen tahun 2050.

Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi porsi bauran EBT dalam bauran energi nasional hingga tahun 2020 baru mencapai 11,5 persen. Capaian ini berada di bawah target semula yang dipatok pada kisaran angka 13,4 persen pada 2020.

Meneropong Peluang EBT

Pada 2050, energi terbarukan diproyeksikan berkontribusi sekitar 10 persen dari seluruh sumber energi dunia. Padahal pada 2019, kontribusinya hanya dua persen. Gas alam dan energi terbarukan akan saling melengkapi menjadi sumber energi yang penting di masa depan.

Gas alam diperkirakan akan mengambil alih dominasi batu bara pada 2025 dan pada akhirnya muncul sebagai sumber energi primer pada 2047 secara global. Gas alam juga dinilai lebih bersih untuk pembangkitan listrik daripada batu bara. Produksi emisi karbon dari pembangkitan listrik berbahan bakar gas alam hanya separuhnya dari pembangkitan listrik berbahan batu bara.

Oleh karena itu, gas alam dinilai sebagai bahan bakar “jembatan” untuk menuju dunia yang lebih rendah emisi karbon. Pada 2050, pangsa gas alam diperkirakan akan mencapai 28 persen dari seluruh permintaan sumber energi di seluruh dunia, menggeser dominasi minyak bumi dan batu bara.

Perkiraan tersebut diproyeksikan oleh Gas Exporting Countries Forum (GECF) melalui publikasinya. Permintaan gas alam diperkirakan akan tumbuh menjadi 5.920 miliar kubik meter pada 2050 sebagaimana dilansir Natural Gas Intelligence.

Pasar Asia Pasifik, Amerika Utara, dan Timur Tengah diperkirakan akan menjadi pasar yang paling dominan dalam hal permintaan gas alam. Asia Pasifik sendiri akan menjadi konsumen gas terbesar pada 2050 dan menggandakan konsumsinya menjadi 1.660 miliar kubik meter pada tahun itu.

Paradoks Indonesia

Energi ramah lingkungan atau energi hijau menjadi isu penting dunia di abad ini. Lingkungan hidup semakin rusak akibat industrialisasi yang digeber tanpa batas oleh kapitalisme. Sistem kapitalisme terus menggenjot produksi, demi keuntungan materi. Tak peduli alam makin rusak dan udara makin kotor sehingga berujung pada munculnya aneka penyakit.

Sejarah perusakan alam secara masif telah dimulai sejak revolusi industri pada abad ke-17 dan 18 di Eropa. Selanjutnya, penggunaan energi fosil secara berlebihan telah mengakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global. Sementara kesejahteraan ekonomi pada sebagian orang, telah menciptakan gaya hidup yang semakin abai terhadap lingkungan. Semua ini berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.

Indonesia telah meratifikasi The Paris Agreement menjadi undang-undang. Yakni sebuah traktat internasional yang mengikat terkait mitigasi, adaptasi, dan keuangan perubahan iklim, Indonesia mau tidak mau harus mengimplementasikan kebijakan pengurangan emisi nasional, terutama di sektor energi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, porsi energi terbarukan mencapai 23 persen pada tahun 2025 dan paling sedikit 30 persen pada tahun 2050.

Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dan menggiurkan. EBT di sini merujuk pada sumber-sumber energi alternatif dan berkelanjutan (sustainable) yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui.

Beberapa sumber-sumber energi baru terbarukan antara lain: energi matahari, tenaga air, gelombang laut, tenaga angin, panas bumi, dan biogas. Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang besar, sumber-sumber energi terbarukan tersebut juga melimpah.

Dengan potensi itu, sangat wajar bila Indonesia memiliki target tinggi dalam pemanfaatan EBT. Sebagaimana tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target penggunaan EBT di bauran energi nasional sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050.

Sayangnya, potensi pemanfaatan EBT di Indonesia belum maksimal. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), penggunaan energi bersih dan terbarukan di Indonesia baru mencapai kisaran 6% dari bauran energi nasional.

Menipisnya cadangan dan minimnya minat investasi, membuat Indonesia kian menggeliat dalam merespons rencana penggunaan EBT. Meski demikian, rencana ini tak urung menyisakan pertanyaan.

Respons dunia dalam menggunakan EBT sesungguhnya tidak lepas dari kian menipisnya ladang minyak termasuk batu bara dari negara-negara pengekspornya. Indonesia sendiri pernah mengalami kejayaan sebagai negara penghasil minyak pada tahun 1990 hingga 2000-an.

Namun, seiring pertumbuhan penduduk dan peningkatan konsumsi ditambah lagi aset sumber daya energi dan mineral (SDEM) strategis negara banyak dikuasai asing dengan kedok investasi, kondisi tersebut berubah drastis pada tahun 2004 di mana Indonesia akhirnya menjadi negara pengimpor minyak. Nilai import minyak Indonesia kini hingga 800.000 barel per hari atau kira-kira Rp2.200 triliun dalam APBN.

Negeri-negeri Muslim yang SDEM-nya berupa minyak, batu bara dan sejenisnya yang selama ini dikuasai asing pada akhirnya harus gigit jari saat dunia diarahkan untuk menggunakan EBT.

Sudahlah ladang minyak, batu bara, nikel dan sejenisnya dikuras lalu ditinggalkan, negeri ini dipaksa untuk bersikap apologetis dengan meratifikasi Perjanjian Paris. Padahal emisi karbon yang dihasilkan di Indonesia adalah sisa hasil kerukan perusahaan-perusahaan korporasi. Lempar batu sembunyi tangan.

Kini, seiring dengan menipisnya cadangan SDEM dalam negeri membuat Indonesia mau tidak mau harus memutar otak mengikuti tren penggunaan EBT.

Isu EBT yang bersembunyi di balik narasi pengurangan impor energi berbahan fosil, pengurangan beban keuangan negara dan pengurangan emisi karbon, pengelolaan energi di Indonesia sesungguhnya menyisakan masalah berupa ketiadaan visi politik energi.

Ketergantungan Indonesia terhadap investasi adalah kendala besar untuk menjalankan rencana penggunaan EBT. Defisit keuangan yang kerap dijadikan sebagai alasan mandeknya pengembangan energi terbarukan, hanya akan membuka peluang investor masuk dan mengendalikan rencana penggunaan EBT.

Tidak mandirinya negeri ini mengelola energi diperparah dengan kebijakan privatisasi SDA sebagai implementasi sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini. Jika demikian adanya, kebijakan pengalihan energi ini tetap saja akan menemui ketimpangan. Rakyat tetap saja kesulitan mengakses energi meski sumber-sumber energi telah diperbarui.

Kebijakan Energi Era Khilafah

Energi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Fungsi strategis ini mengharuskan negara mampu memenuhi kebutuhan energi rakyatnya dengan mengupayakan sumber-sumber energi serta memaksimalkan pembangunan infrastruktur energi modern.

Meski kaya akan SDEM, Khilafah tetap wajib mencari energi alternatif sebagaimana wacana Energi Baru Terbarukan saat ini. Khalifah wajib mewujudkan kemaslahatan rakyat dengan mengupayakan teknologi, memaksimalkan SDM untuk melakukan inovasi dalam menghasilkan energi baru terbarukan, dan menyiapkan infrastruktur dalam proses mewujudkannya.

Selain itu, harus dipahami bahwa energi ini merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, Khilafah harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara.

Karena itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri.

Untuk memenuhi konsumsi kebutuhan rakyatnya, Khilafah mendistribusikan energi kepada rakyatnya dengan harga murah bahkan gratis, secara adil dan merata. Seluruh rakyat memiliki hak akses energi yang sama, kaya ataupun miskin, muslim maupun nonmuslim.

Khilafah mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi individu atau negara mana pun. Sebab, pengelolaan energi tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi.

Pada masa Khilafah, umat Islam memimpin kemajuan industri. Berbeda dengan sistem kapitalisme, gencarnya industri dalam Khilafah tidak merusak lingkungan. Bahkan para ilmuwan saat itu merancang teknologi yang membuat penggunaan energi efektif dan efisien.

Banu Musa bersaudara (Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, dan Hasan bin Musa) pada abad 9 M dan Al-Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa bersinergi menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka. Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”. Demikianlah gambaran Khilafah kelak yang akan mewujudkan energi baru terbarukan yang bisa diakses semua rakyat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image