
Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Ruang Lingkup Pengadilan Agama
Bisnis | 2021-12-04 08:42:54
Sistem ekonomi syariah yang sedang berkembang pesat di Indonesia, tidak luput dari permasalahan didalam pelaksanaannya. Lantas, bagaimana jika terdapat sengketa hukum yang berkaitan dengan ekonomi syariah?
Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi adalah seorang pria bernama Sugiharto (50) warga kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang bersengketa dengan salah satu bank swasta syariah ternama di Bandung.
Pada tahun 2014 lalu, ia membeli sebuah lahan bangunan dengan harga Rp. 20 Miliar dengan pembiayaan sekitar 70% atau Rp. 13 Miliar yang akan dibiayai oleh pihak bank dan sisanya akan ia bayar sendiri dan cicilan sebesar Rp. 136 Juta per bulan yang dibayarkan ke pihak bank tersebut.
Namun, ditengah perjalanan cicilannya tersebut bermasalah. Bank syariah itu pun akhirnya menyita lahan bangunan tersebut dan melelang nya ke KPKNL Bandung. Lalu, dasar hukum apa saja yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut?
Peraturan Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2016 yang berisi tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, disana disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 6 bahwasanya lingkungan Peradilan Agama adalah tempat untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Lebih lanjut lagi, terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 perihal Peradilan Agama menyatakan bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah.
Pun demikian dalam Undang-undang No. 21 Pasal 55 ayat 1 tentang Perbankan Syariah, juga menyebutkan bahwa wewenang untuk mengatasi sengketa perbankan syariah berada di ruang lingkup Pengadilan Agama.

Dalam mata pelajaran ekonomi syariah, pengadilan agama mengacu pada semua tindakan atau kegiatan usaha yang mengikuti prinsip syariah. Kewenangan ini pada awalnya dimaksudkan terbatas pada masalah perbankan syariah, tetapi kemudian diperluas untuk mencakup ekonomi Islam. Akibatnya, telah dikatakan dalam penjelasan sebelumnya bahwa proses penyelesaian konflik ekonomi Islam tidak terbatas pada perbankan syariah tetapi juga pada disiplin ilmu ekonomi Islam lainnya.
Dengan demikian, masih terbuka pula kegiatan usaha lain yang mengandung prinsip syariah, seperti usaha, kepailitan, persaingan usaha, dan sebagainya. Soal penggunaan kekuasaan Peradilan Agama, masih banyak hal yang diperdebatkan. Ketidaksepakatan ini berkaitan dengan suatu hal yang tidak dapat dibicarakan, tetapi selalu menimbulkan pertanyaan apakah Pengadilan Agama berhak untuk memeriksa dan mengadilinya.
Berangkat dari penjelasan di atas, setiap kesulitan atau sengketa ekonomi syariah di bidang perdata menyiratkan kewenangan mutlak Peradilan Agama untuk memperoleh, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara, kecuali peraturan perundang-undangan secara tegas mempengaruhinya.
Sebaliknya, jika para pihak telah memutuskan untuk menyelesaikan perselisihan ini di luar Pengadilan Agama, yaitu melalui prosedur nonlitigasi, kasus tersebut diselesaikan sesuai dengan ketentuan kontrak atau perjanjian. Akibatnya, kewenangan Pengadilan Agama untuk memutus perkara tersebut menjadi berkurang. Yang dimaksud dengan syarat-syarat kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dapat diajukan ke pengadilan di lingkungan Pengadilan Negeri atau diputus secara musyawarah.
Padahal, hanya Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan mutlak atas penyelesaian masalah ekonomi syariah dalam konteks litigasi. Dengan faktor-faktor lain, akan terjadi kesejajaran antara sistem penegakan norma-norma materiil berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam dan lembaga Peradilan Agama, yang merupakan wadah bagi umat Islam dalam mencari keadilan, dan mereka yang tunduk pada hukum syariah. Sehingga putusan Pengadilan Agama merupakan putusan yang mengikat secara hukum yang tunduk kebawah (rakyat).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook