Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hanif Sofyan

Ketika Ekonomi Transisi Dilibas Resesi, Bagaimana Kita Bertahan?

Bisnis | 2022-09-28 01:06:48

Apa yang menarik dari perdebatan dan bincang ekonomi terkini adalah bagaimana transisi ekonomi kita secepatnya bisa memulihkan ekonomi new normal dan bertahan dari kemungkinan resesi ekonomi ringan di tahun mendatang. Ini berkaitan dengan studi terbaru Bank Dunia, “Apakah Resesi Global Sudah Dekat?” (Is A Global Recession Imminent?). Mengapa pertanyaan itu muncul, karena berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang hingga menjelang akhir 2022 tampaknya masih belum stabil.

Pada saat situasi ekonomi tengah dililit utang pemerintah yang besar, pada saat yang sama terjadi kenaikan suku bunga serentak di hampir semua negara yang menjadi pemicu resesi, dengan dampak timbulnya perlambatan ekonomi, seperti yang pernah terjadi pada peristiwa the great depression (depresi besar) atau disebut juga dengan krisis malaise; merupakan kondisi menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis di seluruh dunia.

Ekonomi global bergerak jatuh seperti efek domino, kejatuhan bursa saham New York Wall Street (NYSE) pada Oktober 1929, yang dikenal sebagai 'Black Thursday', yang berlanjut dengan 'Black Tuesday', lima hari setelahnya menyebabkan penjualan saham secara besar-besaran memancing sentiment negatif menyebabkan harga saham jatuh, bersamaan dengan jatuhnya standar emas yang mempunyai peran vital dalam siklus ekonomi dunia.

Atau meningkatnya harga minyak di era tahun 1970-an yang memicu resesi luar biasa di seluruh dunia.

Kini situasinya kurang lebih masih sama. Dampak dari Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen, adalah naiknya suku bunga dengan dua implikasi utama, yaitu kenaikan suku bunga kredit dan peningkatan beban pemerintah membayar utang. Studi Bank Dunia menunjukkan resesi global kali ini lebih didorong oleh faktor produksi ketimbang faktor konsumsi. Konkretnya, kenaikan harga tak melulu disebabkan terlalu banyaknya likuiditas dalam ekonomi, tetapi lebih karena berkurangnya pasokan barang.

Situasi transisi ekonomi paska pandemi juga berkaitan dengan persoalan berkurangnya sebagian pasokan barang akibat berbagai pembatasan ekonomi skala tinggi yang menyebabkan industri menurunkan produksi dan melakukan pengurangan jumlah karyawan. Indonesia juga mengalami kenaikan utang secara signifikan akibat pandemi.

Meskipun tingkat utang pemerintah kita masih relatif rendah, kenaikan suku bunga tentu akan memberi tekanan pada perekonomian kita. Kondisi ekonomi dunia menular pada perekonomian domestik kita.

Gangguan Resesi Di Tahun Depan

Jika Pemeritntah masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen tahun ini, kemungkinan prediksi di tahun 2023 justru akan sedikit melambat menjadi sekitar 4,7–4,9 persen. Apalagi jika situasi geopolitik global perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga pangan dan energi, karena gejolak mata rantai pasok global yang terganggu terus berlangsung.

Hal itu memicu pula aksi bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas. Jika bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia akan mengalami resesi di 2023. Hal ini juga di tegaskan oleh Menkeu Sri Mulyanai dalam pemaparan APBN KITA 2022.

Namun sisi positifnya adalah, krisis 1998, ketika ekonomi kita mengalami resesi terbesar, akibat perbankan diikuti dengan langkah perbaikan berupa transformasi yang menciptakan kendali atas regulasi perbankan yang baru untuk mengembalikan keadaan seperti semula dan tidak menimbulkan krisis lanjutan.

Sebagaimana di tegaskan oleh Agung Prasetyantono, setidaknya ada dua pelajaran penting. Pertama, respons kebijakan atas resesi akan mengubah lanskap struktur ekonomi, baik global maupun nasional. Kedua, implikasi dari respons kebijakan terhadap resesi bisa menimbulkan risiko krisis dalam jangka panjang. Kedua pelajaran ini patut diperhatikan dalam mendorong perubahan (kebijakan) menghadapi resesi global 2023 nanti.

Transformasi Sebuah Pilihan

Bank Dunia merekomendasikan solusi untuk mencapai stabilitas harga dan kualitas pertumbuhan, dengan cara lebih banyak melakukan produksi dan mengurangi konsumsi melalui realokasi sumber daya untuk investasi. Realokasi menjadi kata kunci, karena pada masa resesi sumber daya juga terbatas. Oleh karena itu, diperlukan upaya merelokasi sumber daya yang masih tersedia guna mengoptimalkan pertumbuhan berkualitas yang ditandai dengan berkurangnya jumlah kemiskinan dan menurunkan ketimpangan.

Di masa depan kita masih berhadapan dengan persoalan penanganan pandemi dan kasus zoonologis lainnya yang mau tidak mau harus diantisipasi dengan pengembangan teknologi yang lebih baik. Ini adalah pilihan yang sulit namun harus dilakukan, jika tidak ingin mengalami jebakan yang sama ketika timbul masalah seperti pandemi yang dapat membuat ekonomi lumpuh. Pandemi adalah pembelajaran kasus yang luar biasa karena dampaknya yang sangat signifikan memporakporandakan ekonomi skala makro.

Dimasa depan peran teknologi juga tak dapat dinafikan untuk menyokong perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Meminjam gagasan Prasetyantono, peluang kehadiran Negara dengan sokongan teknologi melalui konsep Negara kesejahteraan berbasis digital (digital welfare state) adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar, jika tak ingin ditinggal jauh perkembangan ekonomi secara mondial.

Indonesia juga harus bersiap dalam kerangka ekonomi sirkular yang mengurangi basis penggunaan sumber daya melalui mekanisme penghematan atau mengoptimalkan investasi di bidang energi alternatif, sebagai bagian dari keseimbangan pembangunan berbasis alam yang sejak lama dikenal sebagai pola Pembangunan Berkelanjutan. Sumber pendanaan ekonomi hijau juga semakin diperlukan, terutama untuk mempercepat realisasi komitmen Indonesia sebagai salah satu Negara yang meratifikasi Perjanjian Paris yang merekomendasikan zero emisi pada 2060.

Terutama mendorong digunakannya energi alternatif yang lebih masif melewati fase-fase pengurangan penggunaan energy fosil sejak tahun 2030,2040,2045 dan 2050 hingga mencapai puncak zero emisi nantinya.

Resesi global, tak bisa dihindari, berbagai transformasi sebagai bentuk evaluasinya akan mengantar kita pada transisi menuju tatanan baru, ini adalah salah satu solusi terbaik. Melakukan trial and error, menghadapi transisi yang masih akan terus berlanjut, dengan tantangan kemunculan resesi yang bisa jadi akan muncul ditahun mendatang, selama kita belum bisa menuntaskan masalah transisi ekonomi akibat pandemi dan persoalan geopolitik global yang harus terus didesak diselesaikan. Termasuk melalui pemanfaatan Presidensi Indonesia dalam Forum G20 yang masih terus berlanjut. Semoga akan ada titik terang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image