Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Longgarkan Budaya Gaul Bebas, Problematis !

Edukasi | Sunday, 25 Sep 2022, 23:21 WIB

Melahirkan adalah peristiwa istimewa, sekaligus menggembirakan. Sebab, generasi penerus keluarga telah lahir. Namun bagaimana jadinya jika ada seorang siswi SMA, yang mengalami kontraksi saat jam pelajaran? Peristiwa ini terjadi di Jumapolo, Karanganyar. Siswi ini mengalami kontraksi saat jam pelajaran, akhirnya melahirkan bayi dan dinikahkan.

Kapolsek Jumapolo AKP Hermawan menjelaskan, pihaknya turut mendampingi kasus siswi SMA tersebut. Berdasarkan pengakuan siswi itu, dirinya dihamili oleh pacarnya dari SMA yang berbeda. Perkara tersebut kemudian diselesaikan secara kekeluargaan. “Kedua pihak menyepakati keduanya dinikahkan, usia keduanya belum genap 19 tahun sehingga harus menempuh dispensasi nikah dari PA Karanganyar,” kata Hermawan (kompas.com,9/9/2022).


Psikolog Anak dan Pendidikan Karina Adistiana merasa prihatin dengan peraturan sekolah yang seolah mendiskriminasikan siswi yang hamil untuk tidak boleh mengikuti ujian Nasional bahkan harus dikeluarkan dari sekolah. Padahal jika berpatokan pada pasal 32 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak terkecuali para siswi yang tengah mengandung.
Menurut Karina , sekolah yang siswinya hamil bisa jadi belum memberikan pendidikan reproduksi seksual. Jadi seolah-olah menghukum si anak tanpa memberikan pendidikan terlebih dahulu. Lagipula, mengeluarkan siswi hamil dari sekolah belum tentu jadi contoh yang baik karena fungsi pendidikan jadi tidak sampai.


Buah Busuk Demokrasi: Pergaulan Bebas
Sebetulnya masalah boleh tidaknya siswi hamil mengikuti pelajaran adalah perkara teknis, yang bisa dibicarakan kembali secara mufakat oleh pihak sekolah, murid maupun wali murid. Namun sebenarnya ada hal yang lebih urgen dan itu tidak tersentuh samasekali. Yaitu masalah pergaulan bebas. Inilah yang menjadi problem besar dunia Pendidikan. Kasus siswa melahirkan di sekolah sepatutnya menyadarkan bahwa kelonggaran aturan untuk siswi hamil atas nama hak anak justru membuka lebar peluang siswa hamil di luar nikah. Padahal apa yang dilakukannya adalah dosa besar, terlebih jika pelakunya adalah Muslimah dan hal ini terjadi antar pelajar di lembaga pendidikan. Yang seharusnya menjadi pusat perubahan kepribadian siswa menjadi pribadi tangguh dan bertakwa.


Terlebih usia SMA bukan katagori anak-anak, rata-rata mereka susah memasuki fase baligh, masa dimana dia sudah mukalaf ( yang bisa dibebani syariat). Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 2: 5).


Maka, pada usia SMA semestinya sudah fase paham tentang tiga simpul dasar pertanyaan yang berkaitan dengan pribadinya yaitu dari mana ia berasal, untuk apa dia diciptakan dan kemana setelah meninggal dunia. Bahwa Allah swt menciptakan manusia dari tanah dan dari air mani yang hina, kemudian meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, lantas menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati ( QS Al-Qiyamah 37-39).


Bahwa tujuan penciptaannya di dunia untuk beribadah hanya kepada Allah SWT (QS Adz- Dzariyat:56). Dan setelah kematian adalah hari penghisaban (QS al-Muthaffifin: 4—6). Maka ia tidak akan bermain-main dengan hidupnya, dengan hanya mengumbar hawa nafsu tidak mengingat bahwa perilakunya akan membuatnya rugi dunia akhirat.

Lembaga pendidikanlah tempat menempa setiap individu remaja yang secara pisik maupun psikis dengan kurikulum berdasarkan akidah Islam yang seharusnya menjadi penyelenggaranya. Negara memastikan bahwa pendidikan sudah bisa diakses oleh setiap warga negaranya. Sekolah bukan hal yang eklusif, hanya pihak tertentu yang bisa menikmati pendidikan sebagai jalan dia meraih kesuksesan tersebut.


Dengan carut marutnya dunia pendidikan kita, mulai dari korupsi, pergaulan bebas, narkoba, dan lainnya rasanya memang tidak tepat jika dikatakan dunia pendidikan kita baik-baik saja. Paradigma yang dibangun adalah pendidikan liniar dengan dunia kerja. Kurikulum sering berubah, sementara penguatan kepribadian tangguh tidak tersentuh.


Problem sistemik tak cukup disolusi dengan penyuluhan tentang alat reproduksi atau seks yang bertanggung jawab, tapi harus menyeluruh mengubah kurikulum pendidikan dan tata pergaulan. Sebab ketika si siswi dinikahkan dengan ayah biologis calon anaknya pun persoalan belum selesai, terkait wali, waris dan nashob atau garis keturunan. Sebab anak yang lahir karena zina sebelum nikah adalah anak ibunya.


Islam Menyelesaikan Problematika Seks Bebas
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32). Maka, hal yang mendekati perbuatan ini akan dilarang, semisal pacaran ,terlebih hingga hamil. Sanksi dan hukum yang berlaku akan sangat tegas , bagi yang belum menikah dengan di cambuk, sedangkan yang sudah menikah adalah dirajam hingga meninggal dunia.


Hal ini karena sanksi atau hukum dalam Islam berfungsi sebagai jawazir ( penebus dosa ) dan jawabir ( menimbulkan efek jera). Demikian pula dengan tontonan dari web-web yang tidak sesuai dengan syariat akan di hapus. Kemudian dalam pergaulan, aturan Islamlah yang diterapkan, misal kewajiban menutup aurat ketika di wilayah umum. Tidak ada campur baur atau iktilat, kholwat yang tidak jelas tujuannya.


Maka, pendidikan harus mengikuti alur fase pendidikan yang mengarah kepada pembentukan kepribadian unggul, agar tumbuh menjadi generasi yang bertanggung jawab. Dengan mengedepankan pengajaran akidah, tsaqofah Islam dan sains teknologi. Selama sistem aturan yang diterapkan adalah kapitalisme -demokrasi maka keadaan tidak berubah. Kapitalisme yang berasas manfaat tanpa pandang halal haram di gabungkan dengan demokrasi yang menjunjung kebebasan berperilaku benar-benar akan memberikan kebebasan tanpa batas kepada generasi hingga hancur tak berbekas, apakah itu yang kita kehendaki? Wallahu a’lam bish showab.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image