Aspek Hukum Pengawasan Perbankan Syariah oleh OJK
Eduaksi | 2021-12-03 08:50:58Apa saja ruang lingkup aspek hukum pengawasan perbankan syariah oleh OJK?
Nah untuk lebih jelasnya simak beberapa point berikut :
1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan
Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dipersyaratkan pembentukan suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang baru dan independen yang dibentuk dengan Undang-Undang.Sebagai perwujudan pasal tersebut, dibentuklah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaaan, dana pensiun dan asuransi.OJK merupakan satu-satunya otoritas pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi seluruh lembaga jasa keuangan formal di Indonesia.Pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan tersebut meliputi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
2. Dasar Hukum Otoritas Jasa Keuangan
Setelah adanya undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada bank Indonesia sebagai bank sentral, dialihkan pada OJK.Pembentukan UU OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen, di luar bank sentral.
Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tersebut, yaitu pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan sebagai berikut : tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang, pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
3. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Perspektif Teori Gelding
a. Landasan Yuridis
Pembentukan undang-undang otoritas jasa keuangan dilandasi oleh undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang bank Indonesia, hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan pasal 34 undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
b. Landasaan Sosiologis
Peran peraturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta mekanisme pasar yang sehat
c. Landasan Filosofis
Dikemukakan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntable, serta dapat mewujudkan sistemkeuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.
4. Pokok-pokok Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Pada Tanggal 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).Adapun pokok-pokok undang-undang otoritas jasa keuangan adalah sebagai berikut :
a. Status otoritas jasa keuangan
b. Tujuan fungsi, tugas, wewenang
c. Dewan komosioner
d. Perlindungan konsumen masyarakat
e. Anggaran dan akuntabilitas pelaksanaan tugas
f. Hubungan kelembagaan
g. Transisi
5. Pengawasan Perbankan Syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan
Pengawasan Perbankan Syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan akan senantiasa melibatkan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan terlebih untuk menindaklanjuti indikasi bank bermasalah.Perihal pengawasan yang dilakukan oleh bank syariah dan UUS meliputi pengawasan tidak langsung (offsite supervision) atas dasar laporan bank, dan pengawasan langsung (on-site supervision), Pengawasan dilaksanakan dengan 9 cara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.