Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mastri Imammusadin

Refleksi Demokrasi melalui Tradisi: Spirit Lowano Hadiningkarsa

Politik | Wednesday, 21 Sep 2022, 00:50 WIB

Desa Loano, Kecamatan Loano, Purworejo, Jawa Tengah punya riwayat yang panjang. Desa ini adalah “bumi saksi” de Java Oorlog yang dikomandoi oleh Pangeran Diponegoro. Desa Loano dulunya adalah Kadipaten Lowano yang dipimpin oleh Dinasti Gagak dengan Gagak Handoko sebagai Adipati terakhirnya. Adipati Gagak Handoko merupakan Senopati Pangeran Diponegoro pada masa Perang Jawa dan wafat pada tahun 1936 (Website Pemerintah Desa Loano).

Sekretaris Desa Loano, Erwan Wilodilogo membawa Piagam Pengukuhan Lembaga Masyarakat Adat “Lowano Hadiningkarsa” pada Musyawarah Istimewa Desa Loano pada 17 September 2022. (Sumber Foto: FB Erwan Wilodilogo)

“Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme” (Hatta, 1960).

Semangat kolektivisme itulah yang menguatkan Pengageng Adat Lowano (Kepala Desa Loano) mengukuhkan Lembaga Masyarakat Adat “Lowano Hadiningkarsa” melalui Maklumat Pengageng Adat Lowano pada Musyawarah Istimewa Desa Loano 2022. Tradisi musayawarah tahunan desa sejatinya mengimplementasikan demokrasi yang sejati. Mohammad Hatta (1960), menyatakan bahwa sistem demokrasi terus tumbuh dan hidup dalam desa-desa sebagai adat istiadat. Bahkan Bung Hatta menegaskan bahwa konsepsi demokrasi Indonesia yang modern didasarkan pada demokrasi desa yang asli. Tradisi musyawarah desa yang ada harus senantiasa dihidupkan sebagai sendi-sendi demokrasi pada kehidupan masyarakat terkecil. Demokratisasi pada penyelenggaraan pemerintahan desa akan menyokong demokratisasi kehidupan bermasyarakat yang lebih luas.

Aspek historis yang begitu kuat sebagai entitas Kadipaten Lowano yang jaya pada masanya membentuk karakteristik budaya, adat istiadat, dan tradisi yang masih lestari hingga hari ini. Penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis dengan berpegang pada adat istiadat menunjukkan betapa demokratisasi perlu proses panjang yang tak sekonyong-konyong.

Kepala Desa Loano, Sutanto sebagai Pengageng Adat Lowano membacakan Nawala Biworo dalam rangkaian acara Grebeg Lowano pada 11 September 2022. (Sumber Foto: FB Erwan Wilodilogo)

Fakta sejarah ini menarik perhatian, untuk dikaji lebih lanjut dalam perspektif yuridis. Bagaimana tata hukum yang berlaku di Kadipaten Lowano dan seluruh wilayahnya pada kala itu. Seperti apa hukum yang diterapkan dan bagaimana penerapannya. Nyatanya tata hukum yang baik pada waktu itu terbukti mampu berdaya laku kuat hingga saat ini, walau secara politik pemerintahan Kadipaten Lowano tak lagi berkuasa. Daya laku itu terlihat pada kehidupan bermasyarakat di Desa Loano saat ini, yang masih memegang paugeran -tata aturan- dari leluhurnya.

Bagaimana pula legitimasi politik sosok Adipati Gagak Handoko sebagai “The Last Lord of Kadipaten Lowano” berikut para leluhurnya. Hal-hal tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi, mengingat aspek historis itulah yang mengakar kuat sampai hari ini, menjadi jati diri Lowano Hadiningkarso.

Penyucian bibit dengan air tujuh sumber sebagai simbolisasi mencintai dan merawat bumi oleh Kepala Desa Loano, Sutanto sebagai Pengageng Adat Lowano. (Sumber Foto: FB Erwan Wilodilogo)

Belum lagi kebesaran Masjid Al Iman Sunan Geseng, yang menjadi simbol religiusitas masyarakat Loano dari era murid Sunan Kalijaga itu hingga saat ini. Bagian ini tak kalah menarik karena terdapat fakta sejarah yang penting bahwa agama telah berperan sebagai sumber kesejukan dalam kehidupan bermasyarakat. Religiusitas itu mengahasilkan kemasyarakatan Loano yang tata, titi, tentrem, karta, raharja “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.

“Demokrasi dalam sistem Pancasila bukanlah demokrasi-demokrasian atau “demokrasi” sebagai topeng belaka. Ia adalah demokrasi yang harus diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama yang memimpin seluruh cita-cita kenegaraan kita” (Hatta. 1960).

Hal ini penting untuk digali, agar nilai-nilai religiusitas itu dapat diformulasikan ulang menjadi obat penawar politisasi agama yang berbahaya di era demokrasi modern ini. Bukan hanya penawar racun politisasi agama, namun nilai nilai universal yang ada pada tata hukum Kadipaten Lowano dapat merefresh semangat demokrasi modern agar tetap pada paugerannya demi mewujudkan cita-cita bangsa.

Masjid Jami’ Al Iman Sunan Geseng. (Sumber Foto: Dokumentasi Penulis)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image