Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghofiruddin Alfian

Mendefinisikan Kembali Konsep Kedamaian

Sastra | Thursday, 02 Dec 2021, 06:19 WIB

Setiap orang mendambakan kedamaian di dalam hidupnya. Mereka ingin hidup tenteram tanpa adanya kerumitan-kerumitan yang mengaduk-aduk pikiran atau sebuah ketersesakan yang membelenggu kebebasan perasaan. Namun ternyata anugerah berupa kehidupan ini tidak pernah sesederhana itu. Pikiran ini seolah-olah memiliki kehendaknya sendiri. Ia bagaikan sebuah alat canggih yang secara otomatis tiba-tiba masuk ke alam manusia dan mengaktifkan kegiatan berpikir kita.

Begitu pula dengan perasaan. Aktivitas merasa dari yang paling dasar hingga yang paling kompleks bukanlah sesuatu yang bisa diaktifkan atau dinonaktifkan sesuai kehendak manusia. Di sana terdapat sebuah keterikatan antara dunia yang bersifat internal dengan dunia yang bersifat eksternal. Dan, untuk menemukan kedamaian yang hakiki diperlukan sebuah usaha maksimal untuk memadukan keduanya, atau dengan kata lain untuk mengharmoniskan mereka.

Usaha untuk mengharmoniskan kedamaian yang bersifat internal maupun eksternal itu dapat dimulai dengan mendefinisikan kembali konsep tentang keduanya. Pendefinisian atau pembatasan ini mutlak diperlukan untuk dapat menentukan persamaan dan juga perbedaan yang terdapat di dalam keduanya. Dengan mengetahui persamaan, arah yang akan diemban keduanya akan lebih jelas dalam mewujudkan keterpaduan. Sedangkan dengan mengetahui perbedaan, pertimbangan-pertimbangan pikiran yang akan muncul berikutnya dapat digunakan untuk menentukan sebuah skala prioritas; bagian mana yang harus didahulukan, atau mungkin bagian mana yang boleh ditinggalkan untuk mewujudkan sebuah keharmonisan yang bersifat luar-dalam.

Maka, kedamaian internal adalah kedamaian yang berada di dalam diri manusia. Kedamaian ini bersifat kejiwaan atau perasaan, atau boleh dikatakan kedamaian internal adalah kedamaian yang bersifat individual. Ada yang mengatakan bahwa kedamaian yang semacam ini adalah kedamaian batin yang sesungguhnya, di mana kedamaian ini tidak terikat dengan suatu keadaan atau situasi yang berada di luar diri manusia. Kedamaian yang semacam ini adalah tentang merasa, tentang sebuah latihan manipulasi yang dilakukan oleh pikiran dalam menyikapi segala keadaan yang datang di dalam kehidupan.

Saat datang sebuah keterdesakan, kedamaian jenis ini akan mengaktifkan sebuah kegiatan manipulasi di dalam pikiran untuk tetap tenang, dengan kata lain untuk tetap bersabar. Sebab, tanpa kesabaran, yang datang kemudian adalah amarah berkobar yang dapat membuat sebuah masalah semakin besar. Begitu juga sebaliknya, saat datang kelapangan, pikiran mampu melakukan sebuah pengondisian untuk tetap tenang, untuk melakukan segala bentuk evaluasi yang mendalam sehingga mampu merumuskan perencanaan yang matang dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang akan datang.

Hal yang demikian bisa disebut sebagai sebuah kesabaran yang disertai dengan rasa syukur untuk tidak terjebak dan larut dalam gaya hidup bermewahan yang berlebihan. Dengan kata lain, kedamaian jenis ini mengajarkan sebuah pengetahuan bahwa; ibarat roda, di dalam kehidupan ini ada sebuah keterjungkiran yang menunggu di balik sebuah semak-semak gelap atau sebuah ketergilasan yang hanya mampu dihayati dengan sebuah ketidakberdayaan yang mutlak. Dan kemutlakan tersebut terletak pada sebuah kesadaran tentang adanya kerentanan yang melekat pada diri. Kerentanan yang mengarahkan manusia untuk mencari sandaran hati.

Penggalan lirik lagu ini mungkin dapat mewakili kerentanan tersebut: Oh Tuhan sampai kapan harus kucari kedamaian hati, mewarnai hidupku.[1] Kenyataan tentang kedamaian di dalam hati memang merupakan sesuatu yang harus dicari dan terus dicari. Kedamaian di dalam hati itu bukanlah sesuatu yang ketika sudah didapatkan akan terus menetap di kedalaman. Pikiran yang rentan akan senantiasa berjibaku untuk memanipulasi atau membohongi keadaan diri. Namun, ini bukanlah sebuah kebohongan seorang munafik. Kebohongan ini hanyalah sebuah proses penegaran diri untuk tidak terpuruk ke dalam sebuah lubang hitam.

Seorang yang damai adalah seorang yang tetap mampu memberikan inspirasi atau teladan dalam keadaan apapun; suka maupun duka, lapang maupun terkekang. Dan, dari semua itu tidak ada yang lebih mendamaikan kecuali penghayatan terhadap suatu eksistensi yang tertinggi, yaitu Tuhan bagi diri untuk bersandar dan menggantungkan harapan; sebuah esensi yang menjadi daya dorong untuk pemberontakan-pemberontakan melawan sebuah ketidakadilan yang berkuasa di dunia, yang menghambat usaha menciptakan sebuah kedamaian nyata.

Kedamaian nyata itulah yang dimaksud dengan kedamaian eksternal. Kedamaian yang satu ini berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi yang ada di luar manusia, seperti kondisi ekonomi dan lingkungan tempat di mana manusia hidup mampu memberikan pengaruh terhadap kedamaian jiwa, dan ini berlaku untuk kebanyakan manusia yang hidup di muka bumi ini.

Dari seluruh manusia yang tinggal di permukaan bumi ini di sepanjang masa keberadaan alam semesta, mungkin hanya segelintir orang yang mampu mencapai kedamaian hanya dengan mengandalkan manipulasi pikiran dan rasa. Selebihnya adalah kita, orang-orang biasa yang membutuhkan sebuah perhatian luar-dalam untuk mencapai sebuah keharmonisan atau kedamaian yang sesungguhnya. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa kedamaian itu hanyalah urusan pengendalian rasa, dan menafikan suatu kenyataan yang berada di luar dirinya dan bahkan kemudian tidak peduli dengan keadaan itu maka pantaslah orang-orang ini disebut egois; kedamaian hanya miliknya dan tidak ada selain dirinya sehingga menyebabkan suatu ketidakadilan merajalela.

Selama ketidakadilan masih bersimaharaja, maka keadilan nyata ini tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah kedamaian-kedamaian parsial yang dinikmati hanya oleh segelintir orang. Berkaitan dengan hal ini ada sebuah judul lagu yang menggelitik; Peace Sells but Who’s buying? yang secara harfiah berarti Kedamaian Menjual, Tetapi Siapakah yang Membeli? [2]

Tentu saja yang akan membeli adalah orang-orang kaya yang hartanya didapatkan dari sebuah mekanisme penumpukan atau monopoli yang tidak adil. Kedamaian dijadikan sebuah komoditas yang menggiurkan karena setiap orang mendambakannya. Oleh sebab itu, kedamaian harus dijadikan sebuah barang langka supaya harganya membubung tinggi. Caranya adalah dengan monopoli ekonomi dan perang, atau mungkin monopoli ekonomi dengan tujuan secara bertahap untuk mengadakan peperangan, di mana ketika segenap kubu yang bertarung telah kehabisan daya bahan bakar maka ketidakberdayaan yang ada akan menimbulkan sebuah kerentanan untuk bergantung kepada pihak-pihak yang sangat berkuasa.

Dan, pihak yang sangat berkuasa itu akan terus mengeruk keuntungan di dalam sebuah kestabilan yang hambar. Orang-orang kaya dimanjakan, dan orang-orang miskin dijadikan budak untuk menyokong sebuah peradaban bayangan yang tidak berperikemanusian dan tidak berperikeadilan. Orang-orang kaya hidup di dalam surga, dan orang-orang miskin adalah penghuni neraka dunia yang hina.

Lantas, sebenarnya di manakah atau adakah kedamaian sejati itu? Setiap derap langkah manusia selalu digerakkan oleh yang namanya nafsu. Dan nafsu itu tidak mendamaikan meskipun ialah yang membuat kehidupan ini lebih beraneka warna. Sementara menetapkan sebuah batas diperlukan sebuah usaha yang sangat keras dalam berpikir yang mungkin saja bisa menguras kedamaian yang ada di dalam diri. Namun berdiam diri dan acuh tak acuh adalah sebuah tindakan pura-pura yang telah ditunggu oleh suatu titik rentan yang akan mendorong kembali untuk membangkitkan sebuah pelampiasan.

Maka, kesimpulannya jalan yang paling terang untuk menuju kedamaian adalah dengan menerima, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia manusia adalah tentang peperangan abadi untuk menuntaskan sebuah perputaran yang tidak akan pernah tuntas. Setiap individu adalah kepingan berbentuk roda-roda kecil yang saling terpaut satu sama lain. Dan meskipun ada keberlawanan di sana, sesungguhnya telah ditetapkan sebuah keterpaduan atau kedamaian nyata yang hanya bisa dimasuki oleh jiwa-jiwa bebas; jiwa-jiwa yang segan untuk tergilas, serta yang merasa malu untuk meninggi dan menindas.

Catatan:

[1] Kutipan tersebut merupakan penggalan lirik lagu yang berjudul Kedamaian Hati yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Ari Lasso. Lagu tersebut terdapat pada album Kulihat, Kedengar, Kurasa yang rilis pada tahun 2004

[2] Peace Sells But Who's Buying merupakan sebuah lagu dari band Heavy Metal asal Amerika Serikat, Megadeth. Lagu yang diciptakan oleh frontman Megadeth, Dave Mustaine, tersebut terdapat pada album yang berjudul sama, yaitu Peace Sells But Who's Buying yang rilis pertama kali pada tahun 1986

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image