Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image zidni dhiya

Penistaan Kembali Berulang, Penegak Hukum Bungkam

Politik | Tuesday, 20 Sep 2022, 08:48 WIB

Islam kembali dinistakan. Lebih tepatnya di olok-olok oleh seorang buzzer Eko Kuntadhi yang baru-baru ini viral di media sosial. Eko menghina Islam dengan mengomentari kata-kata yang tidak senonoh pada cuplikan video dari seorang mubaligah NU yang sedang menerangkan tafsir QS Ali-Imran ayat 14.

Narasi pemecah umat

Menistakan Islam seakan menjadi hal biasa bagi Eko dan kawan-kawannya. Mereka biasa menyerang pemikiran islam yang berseberangan dengan pemikiran sekulernya. Mereka juga seolah membagi umat menjadi dua kubu. Satu kubu yang seolah-olah membela Negara dengan menjunjung kebebasan, cinta NKRI dan anti-radikalisme. Sedangkan satu kubu lagi adalah siapapun yang berseberangan dengan apa yang mereka perjuangkan. Dalam kubu yang berseberangan inilah masuk salah satunya adalah kelompok islam kaffah yang memperjuangkan Islam sebagai jalan kehidupan.

Selain rasa marah dan kekecewaan terhadap penistaan yang kembali berulang. Dalam kasus penistaan kali ini ada hal yang menggelitik untuk dibahas. Yaitu tembakan yang salah sasaran. Apa yang dilakukan Eko dan beberapa orang pengikutnya ternyata harus terhenti dengan cepat. Hal ini dikarenakan oleh sosok muslimah yang di jadikan olok-olok ternyata berasal dari kubu yang sama. Sontak hal ini menjadi berbeda, Eko langsung meminta maaf atas apa yang ia lakukan. Tidak berhenti di media sosial, tetapi ia juga sowan dan meminta maaf secara langsung.

Mungkin saat ini NU dan ajaran Islam yang dibawa masih bisa mereka rangkul, namun tidak menutup kemungkinan jika kelak NU juga akan dimasukkan kedalam kubu yang berlawanan. Sebab pada dasarnya yang dimusuhi oleh Eko dan para buzzer lainnya bukanlah ormas tertentu, namun ajaran Islam yang bersebrangan dengan kelakuan mereka.

Penegak hukum bungkam

Lantas, apakah permasalahan selesai hanya dengan demikian? Padahal, telah jelas mereka yang menistakan agama itu melanggar KUHP pasal 156. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pelaku penista agama dihukum sebanyak-banyaknya 5 (lima) tahun. Dia juga bisa dikenakan pasal berlapis karena penistaan tersebut terjadi di media sosial, seharusnya Eko juga terkena pasal 28 ayat 22 UU ITE karena telah sengaja menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian. Tapi faktanya, semua bebas begitu saja. Bahkan tidak ada pemeriksaan apapun oleh aparat terkait kasus ini.

Dari kasus ini kita bisa melihat Negara berpihak pada siapa. Keadilan negeri ini telah tergadai. Islamofobia bagaikan asap pekat yang menyelimuti masyarakat, sehingga aparat dan Negara tidak mampu melihat kebenaran dengan baik. Membiarkan dan tidak memberikan sanksi kepada penista agama adalah suatu ketidakadilan hukum. Walhasil, mereka yang membenci Islam, mulai dari artis, komedian, hingga pegiat media sosial, makin mendapat ruang untuk menghina ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ada proses hukum atas penistaan ini maka jelas hal ini membuktikan semakin besarnya dukungan rezim terhadap penghina Islam.

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, apa yang telah dilakukan Eko adalah pelecehan tafsir ayat Alquran QS Ali-Imran ayat 14. Sedangkan sikap Mubaligah (Ning Imaz) sudah benar, menurut Ning seharusnya minta maafnya kepada Imam Ibnu Katsir dan kepada umat se-Indonesia yang sakit hati agamanya dihina-hina. Namun ternyata hal ini tidak pernah dilakukan oleh Eko.

Kita harus mengingat bahwa Islam tidak pernah mentolelir terhadap penista ajaran Islam. Disebutkan dalam sebuah hadist

“Ada seorang wanita Yahudi yang menghina Nabi ﷺ dan mencela beliau. Kemudian orang ini dicekik oleh seorang sahabat sampai mati. Namun, Nabi ﷺ menggugurkan hukuman apa pun darinya [sahabat itu].” (HR Abu Daud 4362 dan dinilai jayyid oleh Syaikhul Islam)

Wallahu’alam bishowab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image