Negeri Rasa Surga Bagi Koruptor
Politik | 2022-09-18 21:06:59Oleh : Vivi Vinuwi
Sungguh lucu negeri ini, pelaku kejahatan yang merugikan negara justru mendapatkan berbagai keistimewaan. Padahal korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa, yang sudah semestinya pelakunya mendapatkan hukuman yang akan memberikan efek jera. Mereka seolah mendapatkan angin surga berada di negeri ini, alih-alih mendapatkan hukuman setimpal, justru kenikmatan yang mereka dapatkan.
Sebagaimana diberitakan dalam beritasatu.com, (11/09/2022) sejumlah napi korupsi bebas dari penjara pada hari yang sama yakni Selasa (6/9/2022). Beberapa di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri. Mereka menghirup udara bebas setelah mendapat pembebasan bersyarat. Mereka semua wajib mengikuti beberapa kegiatan terkait pembinaan sampai masa hukumannya berakhir.
Selain itu para koruptor juga tetap mempunyai hak untuk menjadi caleg pada pemilu yang akan datang. Sebagaimana tertera dalam Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPR kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg. ( dilansir dari beritasatu.com, 28/08/2022)
Mencederai Perasaan Rakyat
Fakta-fakta di atas tentu mencederai perasaan rakyat. Bagaimana tidak, rakyat yang telah lama menanti kesejahteraan dan keadilan justru disuguhi berita keistimewaan yang diberikan kepada para koruptor. Lebih dari itu, negara juga lemah terkait penarikan aset negara yang dicuri oleh para tikus berdasi ini.
Pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi secara rutin diberikan pada peringatan hari kemerdekaan atau Hari Raya Idul Fitri. Biasanya remisi diberikan dengan dalih mereka sudah "berkelakuan baik" dan sudah menjalani sepertiga masa tahanan. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sudah semestinya pelaku dihukum dengan tegas tanpa remisi.
Dengan obral remisi artinya para koruptor ini cukup menjalankan hukuman dengan singkat. Lalu bisa menghirup udara bebas dengan kebebasan yang ‘’katanya’’ bersyarat dan bisa tetap menikmati hasil korupsinya bersama anak cucu tanpa takut kekurangan harta. Ini berarti tidak ada penanganan yang luar biasa bagi pelaku tidak kejahatan korupsi. Bahkan, terkesan main-main.
Sudah semestinya para tikus berdasi ini tidak diberikan keistimewaan, mereka telah merugikan rakyat juga negara dengan hitungan yang bukan main-main. Bagaimana bisa memberikan efek jera jika hukuman yang diberikan justru membuat mereka "full senyum" tanpa beban serasa berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Seharusnya hukuman yang diberikan bisa memberi efek jera dan menjadi pembelajaran bukan hanya bagi pelaku tapi juga warga negara yang berada di luar jeruji penjara. Jika begitu banyak yang akan mengira jikalau keuntungan yang didapat dari korupsi jauh lebih banyak dan menggiurkan ketimbang resiko yang akan didapat.
Buah Demokrasi
Sistem politik yang diemban negeri ini memberikan konsekuensi yang berat. Siapa saja yang ingin menduduki kursi kekuasaan maka harus mengeluarkan banyak modal agar jalan untuk melenggang menjadi mulus. Tak hanya itu, partai politik sebagai kendaraan mereka tidak serta merta memberikan tiket dengan percuma.
Apabila materi dijadikan alat untuk mempermudah Langkah, tak ayal ketika berkuasa mereka akan mengambil lagi modal yang telah mereka keluarkan. Korupsi adalah jalan pintas yang mereka tempuh untuk “balik modal”. Inilah salah satu akibat mahalnya biaya politik demokrasi. Selama negeri ini masih menerapkan sistem politik ini, maka korupsi akan menjadi budaya yang tumbuh subur.
Solusi Hakiki Pemberantasan Korupsi
Tindak pidana korupsi sendiri adalah salah satu tindakan ghulul yakni tindakan melanggar syariah karena mendapatkan harta secara curang. Pelakunya akan dikenai sanksi ta’zir yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau hakim (qadhi) berdasarkan ijtihadnya. Khalifah atau hakim bisa memberikan hukuman yang maksimal dan menjerakan seperti hukuman mati, selain itu tentu saja harta hasil korupsi akan disita.
Kepemimpinan dan kekuasaan di dalam Islam adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun akhirat. Sistem Islam sendiri disandarkan pada aqidah Islam yang akan mencegah sejak awal para calon memiliki niat jahat untuk korupsi.
Proses pengangkatan pemimpin dalam Islam atau khalifah adalah mudah dan murah. Proses pemilihan bertujuan untuk memilih pemimpin yang akan menerapkan hukum Islam. Mudah artinya sederhana, tidak membutuhkan proses yang lama, panjang dan berbelit-belit. Murah artinya tidak membutuhkan banyak biaya yang mencegah para calon untuk melakukan acara balik modal kedepannya.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi yang hakiki hanya bisa dilakukan oleh Sistem Islam yang menarapkan hukum-hukum Allah, bukan dengan demokrasi yang justru memanjakan para koruptor dengan hukum buatan manusia.
Wallahu a’lam bisshowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.