Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD YANUAR YUSMANA 2021

Kedudukan Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam Tatanan Hukum Nasional Di Indonesia

Politik | Wednesday, 01 Dec 2021, 20:52 WIB

Hukum Nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hukum nasional adalah Senada dengan pengertian di atas, hukum nasional menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tertulis yang mengatur tingkat laku manusia, dibuat dan dijalankan oleh badan negara yang ditentukan, berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bank syari’at adalah bank yang tata cara operasionalnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang berdasakan al-Qur’an dan Hadis. Sedang hukum nasional adalah hukum yang mengatur warga negara Republik Indonesia secara tertulis, dari segala tingkah lakunya dalam semua aspek kehidupannya, baik berbangsa maupun bernegarahukum yang dibangun bangsa Indonesia setelah merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama warga negara Repuplik Indonesia, sebagai pengganti hukum Kolonial dahulu.

Singkatnya, hukum nasional adalah hukum yang berlaku setelah bangsa Indonesia merdeka untuk kepentingan nasional, bersumber pada pancasila dan UUD 1945, berlaku bagi warga negara Republik Indonesia.

Sebelum amandemen Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Pdt.) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah KUH Pdt.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan termasuk perbankan syariah maupun di lembagalembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga KHU Pdt. yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek) tersebut. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syari’ah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

Sejalan dengan bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah dan dengan adanya undang-undang baru tentang peradilan agama, yaitu Undang-undang N0.3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang N0.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan hukum perjanjian syari’ah atau akad sebagai bagian dari materi hukum ekonomi Syariah secara yuridis formal semakin kuat, yang sebelumnya hanya normatif sosiologis. Lahirnya Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai amandamen terhadap Undang-undang Peradilan Agama yang lama membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene-nya belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.

Lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 9 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kewenangan yang telah diberikan dalam bidang Hukum Keluarga Islam, peadilan Agama juga diberi wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Maka wewenang Peradilan Negeri dalam menangani perkara-perkara diatas secara otomatis terhapus.

Dengan lahirnya KHES berarti mempositifkan dan mengunifikasikan hukum ekonomi syariah di Indonesia. Seandainya KHES tidak disusun maka hakim pengadilan agama memutus perkara ekonomi syariah dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang tersebar dalam berbagai mazhab, karena tidak ada rujukan hukum positif yang bersifat unifikatif, sehingga terjadilah disparitas dalam putusan antar suatu pengadilan dengan pengadilan yang lain, antar hakim yang satu dengan hakim yang lain. Benar-benar berlaku ungkapan different judge different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya. KHES diterbitkan dalam bentuk peraturan mahkamah agung (perma) No. 2 tahun 2008 tentang kompilasi hukum ekonomi syariah. KHES ini sudah mengalami penyesuaian penyesuaian ketentuan syariah yang sudah ada, semisal fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional).

Hukum ekonomi Syariah bertaut dengan hukum perbankan Syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang N0. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan adanya undang-undang ini praktek perbankan Syariah semakin kuat, dimana sebelumnya operasionalisasi perbankan Syariah berdasarkan Undang-Undang N0.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang N0. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hukum ekonomi Syariah juga bertaut dengan hukum surat berharga Syariah sebagimana diatur dalam Undang-Udang N0. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah, hukum zakat dan wakaf sebagaimana diatur dalam Undang-Undang N0. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Adanya undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia mulai memberi tempat dan ruang pada ekonomi syariah. Dengan undang-unbdang tersebut, maka kekosongan hukum dalam bidang ekonomin syariah dapat teratasi, sekalipun belum secara maksimal. Ke depan diharapkan ada revisi terhadap perundang-undangan yang sudah ada menyangkut bidang ekonomi secara umum, sehingga melahirkan duel economic system sebagai payung hukum dalam rangka merealisasikan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam ekonomi Indonesia.

Ekonomi syariah dan perbankan syariah dalam hal pengawasan dan pembinaannya tetap merujuk pada sistem hukum nasional, yakni undang-undang yang mengatur masalah perbankan, terutama undang-undang Nomor 7 tahun 1992 yang di dalamnya disebutkan dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan rakyat yang beroperasi secara konvensional dengan bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat. Oleh karena itu semua ketentuan bank konvensional pada dasarnya juga diberlakukan terhadap bank yang beroperasi berdasarkan syariat Islam.

Suatu hal lagi yang teristimewa dalam Bank Islam sesuai peraturan perundang-undangan, dan sekaligus sebagai pembeda Bank Konvensional adalah karena pada Bank Islam sesuai kenyataannya, terbentuk Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang bersifat independen. Keberadaan DPS di Bank Islam yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah berfungsi sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pemimpin unit usaha syari’ah, dan pemimpin kantor cabang Syari’ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari'ah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image