Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Spiritual Pedagogy dalam Perspektif Pendidikan Sains

Eduaksi | Saturday, 17 Sep 2022, 03:53 WIB

Oleh Jaja Jamaludin

Sesungguhnya, tidaklah sulit untuk memahami mengapa para remaja seusia sekolah sekarang ini lebih sering menabrak, membenturkan dan bahkan menginjak- injak aturan, norma bahkan Tata Nilai religiusitas. Hal ini terjadi karena pada seluruh ruang waktu dan timeline aktivitas ramaja seusia sekolah tidak ditemukan proses pendidikan karakter yang mampu mentransformasi peradaban secara individu, komunal dan sosial.

Spiritual Pedagogy

Karen P. Harlos (2000) dari University of Otago, Selandia Baru mengembangkan pedagogi spiritual melalui tiga tujuan utama, pertama untuk memeriksa dan menjelaskan apa konsep spiritualitas yang dianut, Kedua untuk mendorong pendidik untuk mengeksplorasi dan menerapkan dalam kapasitasnya sendiri dalam perspektif spiritual, dan ketiga untuk menggambarkan nilai spiritualitas sebagai topik di dalam proses pendidikan. Sementara, Shihabuddin, 2016 dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) berpendapat bahwa spiritual pedagogy adalah praktik pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kecenderungan ini telah melahirkan bidang kajian baru yang dikenal dengan pedagogik spiritual (spiritual pedagogy). Dalam pendekatan ini pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan oleh guru dengan berlandaskan pada nilai yang dijadikan panduan dalam menjalankan profesinya seperti nilai kasih sayang, keadilan, kesabaran, kerendahan hati, kepekaan, toleransi, dan nilai-nilai lainnya.

Pendidikan Sains

Pendidikan sains di sekolah sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan karakter siswa melalui pendekatan spiritual pedagogy. Koheren dengan pendapat di atas, pendidikan sains di kelas-kelas akan mampu mengejawantahkan spiritual pedagogy dengan mengedepankan naar rasional. Sekadar contoh, nilai-nilai keadilan adalah salah satu Tata Nilai Universal bagi harmoni peradaban manusia. Nilai-nilai keadilan sejauh ini diajarkan dan dikonsepsi sebagai konsep yang dogmatis dan formalistik. Sebagai contoh, hukum Fisika tentang keseimbangan universal sangat sempurna menjadi medium rasionalisasi nilai-nilai keadilan. Sistem tata surya heliosentris akan terus harmony dan tidak terjadi kekacauan jika (dan hanya jika) setiap benda langit "taat peran" dan "bersikap adil" menjalankan eksistensi, peran dan fungsinya serta menempatkan diri dalam kapasitasnya. Bayangkan apa yang an terjadi, jika, bumi tiba-tiba saja berkecepatan melampau kecepatan takdirnya (baca : tidak taat peran) sedemikian mengelilingi matahari lebih 365 1/4 hari, maka seketika itu juga bumi akan mengalami kehancuran dan seluruh "tetangga" nya planet lain, satelit akan juga kacau dan hancur. Seorang koruptor, ia telah berbuat tidak adil pada dirinya dan lingkungannya, akibatnya reputasi diri dan keluarga serta sistem sosial bahkan negaranya menjadi hancur gara-gara tindakan koruptif. Betapa fundamentalnya ajaran keadilan ini oleh karena jika diabaikan/dilanggar ia akan menghancurkan. Itulah sebabnya dalam Al-Quran surat Al-Rahmân, kata- kata mîzân memang dikaitkan dengan keadilan. "Dan langit Ia tinggikan, dan Ia letakkan neraca (keadilan)" (Q., 55: 7). Di sini Tuhan berbicara tentang makro-kosmos, bahwa seluruh alam raya tunduk pada hukum keseimbangan, sehingga arti sebenarnya adil ialah keseimbangan.

Jadi, dalam perspektif pendidikan sains, bersikap adil bukan saja kewajiban melainkan kebutuhan umat manusia, dan bukan sekadar pemaknaan dogmatis. Dengan demikian pendidikan sains tentang hukum keseimbangan haruslah sampai pada apa yang oleh Caknun (Emha Ainun Nadjib) disebut level refleksi ubudiyah. Oleh karenanya pendidikan sains jelas berbeda dengan pengajaran sains an sich yang hanya berhenti pada rumus-rumus serta hitungan formalistik. Lebih dari itu pendidikan sains sejatinya mampu menembus makna spiritualitas dari penciptaan alam beserta hukum-hukum yang mengaturnya. Tentu banyak lagi tema-tema pendidikan sains yang memungkinkan menjadi medium dalam mengejawantahkan spiritual pedagogy. #wallahu'alam#

Penulis Dosen universitas bosowa dan mhs program doktor Univ Negeri Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image