Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anisaa M. Latifaa

Inovasi Baru Layanan BK: Pendidikan Karakter Berbasis Konsep Kepemimpinan Profetik, Akankah Menjadi Efektif?

Eduaksi | 2024-11-05 21:06:48
Sumber: Dokumen Pribadi.

Ada satu hal yang tidak bisa kita lepaskan dari pendidikan yaitu, bahwasanya salah satu output terpenting pendidikan yaitu membentuk manusia yang memiliki budi pekerti yang baik. Dengan tujuan inilah, pendidikan karakter sangat diperlukan bagi siswa sebagai bekal kedepan. Dapat dibayangkan, ilmu yang dimiliki seseorang tanpa adanya budi pekerti baik yang dimiliki sangat memungkinkan adanya potensi ‘kerusakan’ yang akan dia sebabkan.

Bimbingan konseling sebagai salah satu layanan yang disediakan oleh sekolah dalam rangka menunjang kelancaran proses pendidikan dan perkembangan siswa, memiliki peranan penting dalam mewujudkan pendidikan berkarakter melalui penanaman budi pekerti yang baik pada siswa.

Ada berbagai intervensi yang dapat dilakukan guru BK dalam menjalankan layanan BK. Disini, saya ingin mengulik potensi penanaman karakter pada anak melalui konsep kepemimpinan profetik.

Lalu apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan profetik itu?

Kepemimpinan profetik merupakan salah satu dari model kepemimpinan transformatik yaitu kepemimpinan yang mengharapkan adanya perubahan kepada bawahan karena kepedulian pemimpin terhadap mereka. Sedangkan profetik merujuk kepada artian prophet atau nabi. Sehingga, dapat disimpulkan model kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan ala nabi.

Model kepemimpinan ini, menurut Kuntowijoyo mencakup tiga hal, yaitu; kepemimpinan yang membawa misi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Jika dijabarkan lebih lanjut, model kepemimpinan ini membawa nilai-nilai yang dapat diaplikasikan pada pendidikan karakter untuk peserta didik. Khususnya, pada layanan yang diberikan oleh guru BK kepada siswa dalam menanamkan pendidikan karakter.

Integrasi layanan BK dengan model kepemimpinan profetik.

Contohnya, dalam aspek humanisasi yang dapat diartikan sebagai cara kita memperlakukan orang lain dengan seharusnya ia diperlakukan sebagai manusia, atau proses ‘memanusiakan’ manusia. Selain itu, humanisasi ini dapat juga berarti pemahaman mengenai hak dan kewajiban individu.

Pengimplementasiannya dalam layanan BK bisa melalui pemberian layanan dasar berupa pemahaman siswa mengenai hak dan tanggung jawabnya. Selain itu, dapat juga berupa advokasi terhadap pelaku bullying melalui pemahaman akan perilakunya yang telah melanggar hak korban sebagai manusia yang hidup bebas, aman, dan tidak merasa terganggu karena ulahnya.

Aspek kedua dalam kepemimpinan profetik yang disebutkan oleh Kuntowijoyo yaitu liberasi, yang bermakna membebaskan. Diksi membebaskan disini dapat berarti pembebasan atau pemberian kebebasan dan inovasi. Dalam proses pembelajaran, liberasi dapat diimplementasikan dalam praktik pengajaran dari guru kepada siswa. Sedangkan, dalam konteks konseling, hal ini dapat berarti pemberian kebebasan bagi konseli/siswa untuk memilih dan memutuskan solusi yang ditawarkan dari intervensi yang diberikan guru BK dalam pemecahan masalah yang dialami.

Selain itu, penerapannya dalam pemberian layanan dasar atau bimbingan, dapat diterapkan melalui pemberian need assessment. Yaitu, asesmen yang dilakukan oleh guru BK untuk mempertimbangkan pemberian bimbingan sesuai kebutuhan siswa. Yang perlu digarisbawahi disini adalah program bimbingan dilaksanakan berdasar ‘kebutuhan’ siswa bukan keinginan guru BK.

Selanjutnya, pada aspek transendensi menurut Wikipedia, yang berarti cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang dapat ditemukan di alam semesta. Implementasinya dalam keseharian yaitu ketika individu melakukan kegiatan hariannya bukan sekedar rutinitas belaka. Tetapi, dapat merasakan pemaknaannya dengan lebih mendalam. Misalnya, Ketika siswa mampu memahami bahwa belajar merupakan salah satu tanggung jawabnya sebagai seorang manusia yang memerlukan pendidikan seumur hidupnya untuk pengembangan diri dan potensi dalam rangka pemenuhan kewajibannya sebagai pemakmur di muka bumi.

Di dalam layanan BK, hal ini dapat diaplikasikan salah satunya dalam layanan perencanaan individu. Layanan perencanaan individu bisa berupa perencanaan karir dan masa depan. Dalam memutuskan hal yang akan dijalani, konselor/guru BK dapat memahamkan peserta didik dengan membawa misi transendensi sebagai bekal pengambilan keputusan. Contohnya, ketika siswa/konseli merasa putus asa dengan masa depannya karena ketidakmampuan finansial keluarganya dalam membiayai pendidikan lanjutan di tingkat universitas. Dengan membawa misi transendensi, guru BK dapat memahamkan siswa bahwa apapun pilihan yang harus diambil kedepannya, selama itu memberi kebermanfaatan baik bagi diri siswa, keluarganya, maupun orang lain, hal itu bukan merupakan sesuatu yang salah dan sia-sia. Dengan memaknai lebih dalam, siswa tidak akan berfokus kepada kekurangannya saja. Atau berpikir bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa karena menganggap dirinya tertinggal dari teman-temannya yang lain yang bisa melanjutkan kuliah.

Efektifkah?

Untuk efektif tidaknya dalam penerapan di lapangan, diperlukan adanya praktek langsung yang dapat dikaji hasilnya kemudian. Sehingga, output dari adanya integrasi antara nilai-nilai kepemimpinan profetik ala Prof Kuntowijoyo dalam layanan BK dapat terbukti secara nyata dapatkah membentuk siswa/konseli di sekolah menjadi sosok yang berkarakter dengan efektif atau tidak?

Apabila hal tersebut diterapkan, dan menunjukkan hasil dengan indikasi baik, tercapailah tujuan dari penerapan konsep ini.

Yaitu mampu menghasilkan siswa-siswa yang me’manusiakan’ manusia lain, implikasinya terhadap hubungan sosial yang lebih baik dengan memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban dirinya. Mampu membebaskan individu dari belenggu-belenggu yang selama ini mengikatnya, menjadi manusia yang ‘bebas’ dan mampu mewujudkan segala yang ia inginkan—selama hal itu tidak melanggar aturan. Serta mampu memberikan pemaknaan yang lebih dalam pada setiap aspek kehidupan yang dia jalani.

Sehingga jadilah ia individu yang hidup bukan sekedar untuk ‘hidup’ saja. Tetapi juga memahami alasan mengapa ia harus hidup, mengapa ia harus menjalani peran yang Allah titipkan, mengapa ia harus menjalankan hak dan kewajiban, serta pemaknaan-pemaknaan yang lain.

Sampai pada titik dimana terciptalah individu madani yang mampu mengenali kedudukan dan tanggung jawabnya sebagai manusia dan mengemban tugas sebagai khalifah fil ardhi yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban di dunia.

Semoga.

[1] Moh Syamsul Falah, “Kepemimpinan Profetik dalam Menumbuhkan Karakter Peserta

Didik”, e.journal.unhasy.ac.id, 2020, 2-3

Biodata Penulis:

Disusun oleh: Anisah Muflihatul Latifah, Prof. Dr. Andayani, M.Pd.

Profesi: Mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling, Universitas Sebelas Maret.

Kontak: [email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image