Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eriska yani safitry

Membangun Generasi Mandiri: Peran Pendidikan dalam Kehidupan Anak

Edukasi | 2024-11-20 20:48:46

Fenomena anak-anak yang belum mampu menyelesaikan masalah secara mandiri kerap menjadi perhatian publik, terutama saat muncul kasus yang melibatkan emosi orang tua secara berlebihan. Salah satu contoh nyata adalah kasus Ivan Sugianto, pengusaha Surabaya, yang ramai diperbincangkan di media sosial karena tindakannya yang dianggap berlebihan.

Kasus ini menjadi refleksi penting tentang perlunya mengajarkan kemandirian kepada anak sejak dini. Gambarkan perspektif dari topik yang sedang populer. Kasus Ivan Sugianto, yang disampaikan oleh detik.com, dimulai saat anaknya di ejek oleh siswa lain setelah pertandingan basket antara SMAK Gloria 2 Surabaya dan SMA Cita Hati. Ivan, yang tidak terima dengan perlakuan tersebut, melabrak siswa SMAK Gloria dan memaksa dengan emosi agar siswa itu sujud sambil menggonggong sebagai permintaan. Aksi tersebut terekam oleh kamera dan menyebar luas di media sosial, menimbulkan banyak kritik dari masyarakat.

Mengutip dari detik.com, pada tanggal 10 Oktober 2024, Ivan sudah dipastikan sebagai tersangka pelanggaran perlindungan anak dan dia diamankan oleh pihak berwenang. Kasus ini menunjukkan bagaimana keterlibatan orang tua yang berlebihan dapat menciptakan dampak negatif, baik bagi anak maupun pihak lain. Kasus ini menyadarkan kita bahwa masih banyak siswa yang belum dibekali kemampuan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ketergantungan pada orang tua dalam menghadapi konflik seperti ini tidak hanya membuat situasi semakin rumit, tetapi juga menghalangi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Sebagai guru, orang tua atau masyarakat yang peduli pada pendidikan, pasti berharap agar generasi mendatang tumbuh menjadi individu yang tidak lemah dan berani. Namun, bagaimana caranya agar mereka belajar menghadapi masalah tanpa terus-menerus bergantung pada orang dewasa? Mengapa Anak Perlu Belajar Mandiri? Menyelesaikan masalah merupakan hal yang krusial dalam hidup. Saat anak menghadapi tantangan, mereka tidak hanya belajar menemukan solusi, tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri, tanggung jawab, dan empati terhadap perasaan orang lain. Sebaliknya, dengan menangani sendiri konflik kecil, anak akan belajar untuk mandiri.

Kemandirian adalah hal penting yang sebaiknya dipupuk sejak usia dini, terutama ketika anak-anak masih bersekolah. Di sini, peran sekolah, guru, dan orang tua sangatlah dibutuhkan. Dilansir dari Tempo.com, Psikolog klinis anak Dewinta Ariani menekankan betapa vitalnya peranan orang tua untuk membantu memperkuat kepribadian anak. Dewinta, lulusan dari Universitas Padjadjaran, mengatakan bahwa orang tua selalu turut terlibat secara emosional dengan memvalidasi perasaan anak, memberikan nasihat ketika diperlukan, dan siap untuk membantu saat situasi tidak terkendali. Mengutip dari LayarBerita.com, Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Kasandra A. Putranto juga menekankan betapa pentingnya pengembangan karakter melalui pendidikan.

Kemampuan membedakan antara yang positif dan negatif serta mampu menahan pengaruh buruk perlu ditanamkan sejak usia dini dan dikembangkan secara bertahap. Kasandra A. Putranto juga menambahkan, “Orang tua perlu bertindak ketika masalah tersebut sudah mengandung ancaman bagi keselamatan atau masa depan anak, dan saat anak belum mampu menyelesaikannya secara mandiri”. Lalu Bagaimana cara meningkatkan kemandirian anak? Untuk memungkinkan anak menyelesaikan masalahnya tanpa perlu terlalu banyak bantuan dari orang tua, berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil: 1. Ajarkan Anak Untuk Mengontrol Emosi Anak perlu untuk memahami serta mengontrol emosinya sebelum menanggapi situasi konflik. Berlatih dengan cara yang ringan seperti mengatur pernafasan dan menenangkan diri, dan merenung sejenak sebelum bertindak bisa membantu anak untuk membuat keputusan yang lebih bijak. 2. Latih Anak untuk Bicara dan Berdiskusi Jika ada masalah dengan teman, ajarkan anak untuk berkomunikasi langsung dengan orang tersebut. Guru atau konselor sekolah bisa menjadi pendamping agar diskusi berjalan baik. Dengan cara ini, anak belajar menyelesaikan masalah secara dewasa. Mengutip dari Tempo.com, Dewinta juga menambahkan bahwa keterampilan komunikasi asertif harus diajarkan kepada anak sejak dini.

“Orang tua juga dapat membekali anak dengan keterampilan komunikasi asertif agar mereka mampu menyatakan perasaan dan pendapatnya dengan tegas tanpa harus bersikap agresif”. 3. Libatkan Guru Sebagai Penengah Peran penting sekolah adalah membantu anak menyelesaikan masalah. Guru bisa berperan sebagai seorang penengah yang bersikap netral untuk membantu anak-anak belajar menyelesaikan konflik secara positif. 4. Edukasi Orang Tua Orang tua perlu mengetahui kapan sebaiknya terlibat dan kapan sebaiknya memberikan ruang kepada anak. Menyentuh anak terlalu cepat bisa membuatnya terhambat dalam mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. 5. Tanamkan rasa empati dan tanggung jawab.

Anak juga butuh dipahami untuk mengerti perspektif orang lain. Empati akan membantu mereka meminimalisir risiko konflik yang mungkin timbul di kemudian hari. Mengajarkan anak untuk mandiri bukan berarti orang tua sepenuhnya lepas tangan. Dukungan emosional, pendidikan karakter, dan latihan keterampilan komunikasi asertif adalah kunci utama untuk membangun generasi yang lebih mandiri dan tangguh. Kasus di atas adalah pengingat bahwa keterlibatan orang tua yang berlebihan dapat memperburuk situasi. Sebagai masyarakat, kita perlu bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung kemandirian anak agar mereka tumbuh menjadi individu yang bijak dalam menghadapi tantangan hidup

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image