Dampak negatif apabila Pemerintah tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT)
Lainnnya | 2024-12-02 22:57:03
Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2025. Hal tersebut sesuai dengan Pembahasan RAPBN 2025 bersama DPR.
Tidak ada kenaikan CHT di 2025,hanya ada kenaikan HJE.Harga Jual Eceran(HJE) adalah harga penyerahan pedagang eceran kepada konsumen terakhir yang didalamnya sudah termasuk cukai, yang wajib tertera pada pita cukai. Tarif HJE ditetapkan berbeda mengikuti jenis atau golongan rokoknya.harga minimal yang ditetapkan oleh pemerintah peraturan memperbolehkan menjual 85% HJE.
Permasalahan cukai jenisnya bermacam-macam tarif cukai yang berbeda-beda mengakibatkan harga rokok bervariasi sehingga mengakibatkan konsumen beralih ke produk yang lebih murah (Downtrading)
Apabila pemerintah menaikan CHT akan mendorong penurunan jumlah perokok di masyarakat. Pada tahun-tahun sebelumnya,dimana saat menaikan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga Affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun.Dengan demikian diharapkan konsumsi akan menurun.
Meski begitu pertimbangan multidimensi tersebut tidak lantas dapat diterima begitu saja oleh masyarakat ada berbagai penolakan yang muncul kelompok pro rokok kerap mengajukan ragam argumentasi agar tidak terjadi kenaikan tarif CHT.Kenaikan tarif CHT akan berdampak pada kesejahteraan dan pendapatan petani tembakau kecil. Narasi advokasi ini menjadi yang paling umum yang disampaikan oleh berbagai kalangan.
Tingginya perokok anak menjadi perhatian utama kenapa pemerintah harus menaikkan cukai.Pasalnya,industri rokok telah begitu merasuki tumbuh kembang anak Indonesia hingga mendorong mereka sebagai bagian dari konsumennya.Situasi perokok anak di Indonesia begitu mengkhawatirkan,hingga negara ini mendapat julukan baby smoker country.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2022,sebanyak 3,44 persen perokok di Indonesia berada pada usia 10 sampai dengan 18 tahun. Pada tahun tersebut,dari seluruh anak usia 16-18 tahun, sebanyak 8.92 persen telah merokok.Selain itu,tren data presentase perokok anak juga belum menunjukkan penerunan yang signifikan.
Tren perokok anak ini didorong oleh tingginya jumlah perokok pemula yang memulai merokok pada usia muda.Data Global Youth Tobacco survey menyebutkan bahwa tiga dari empat orang Indonesia mulai merokok diusia kurang dari 20 tahun.
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI)menyebutkan bahwa lebih dari 30 persen anak Indonesia telah merokok sebelum usia 10 tahun. Kemeterian kesehatan turut mempublikasikan data terkait prevalensi perokok anak pada populasi usia 10-18 tahun di Indonesia.
Pada 2013,prevalensi perokok anak mencapai 7,2 persen.Lantas pada tahun 2016,angka tersebut naik menjadi 8,80 persen dan 9,1 persen pada 2018. Pada tahun 2019,angka tersebut sudah mencapai 10,7 persen dan hanya turun tipis pada tahun 2021 menjadi 9 persen.Kementrian kesehatan memproyeksikkan apabila tidak segera dikendalikan, maka prevalensi perokok anak akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.bahkan mencapai 16 persen pada tahun 2030.
Dampak negatif rokok telah menjadi pengetahuan umumbahwa sejatinya, merokok memberikan beragam masalah kesehatan. Masalah tersebut tidak hanya berdampak pada konsumennya, namun juga bagi perokok pasif sebagai korban asap rokok. Hal ini disampaikan oleh Kementrian Kesehatan pada 2018 dalam sebuah artikel WHO,”Rokok tetap jadi Sebab utamakematian dan penyakit”.
Sebagaimana dipaparkan,Kelima penyebab utama kematian di Indonesia terkait dengan produk tembakau, Kelimanya adalah penyakit jantung iskemik, Penyakit serebrovaskular, tuberculosis, diabetes dan penyakit pernapasan kronis. Tak hanya itu, morbiditas dari penyakit terkait merokok menyumbang lebih dari 21 persen dari semua kasus penyakit kronis di negara ini.
Selain itu kementrian kesehatan juga mengutip data yang dipaparkan oleh WHO bahwa penggunaan tembakau juga membantu memicu epidemi tuberculosis global, dan memperburuk masalah seperti penyakit jiwa,infeksi HIV dan penyalahgunaan alcohol.
Lebih lanjut baik perokok aktif maupun pasif, yang mengalami penyakit yangditimbulkan rokok, menjangkau berbagai layanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah. Laporan InfoBPJS kesehatan edisi 104 tahun 2021 menuliskan bahwa rokok menjadi salah satu faktor utama penyakit katastropis, penyakit jenis ini termasuk dalam kategori penyakit tidak menular(PTM) yang sesungguhnya dapat dicegah dengan perilaku hidup sehat.Yang termasuk dalam pengelompokan katastropik pada program JKN, antara lain, penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hati, thalassemia,leukemia dan hemofilia.
Berdasarkan data biaya jaminan pelayanan kesehatan pada tahun 2016 sampai 2020,biaya pelayanan kesehatan mencapai RP374,86 triliun.Dari jumlah tersebut sebanyak 83,31 persennya adalah biaya layanan rujukan untuk penyakit katastropik. Penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan perawatan medis yang lama dan berbiaya tiggi.
Tak hanya menelan biaya terbesar,Penyakit ini juga menjadi salah satu kelompok penyakit terbesar yang ditanggung program jaminan kesehatan Indonesia Selain memakan porsi besar bagi alokasi jaminan kesehatan,rokok juga berdampak signifikan pada ekonomi nasional. Meurut hitungan biaya tembakau,kerugian ekonomi di Indonesia akibat kematian dini dan penyakit yang ditimbulkan rokok mencapai Rp596 triliun atau seperempat dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.