Membagi Profit, Menambah Benefit: Bertumbuh Bersama Lewat CSR
Lomba | 2022-09-16 14:08:02Kalau Anda seorang kaya raya yang mendadak harus pindah dan tinggal di desa, tentulah ada kebutuhan untuk diterima oleh lingkungan sosial yang baru. Karena itu, Anda harus ramah, respek dan peduli dengan permasalahan yang ada di desa, serta memberikan dampak manfaat untuk warga sekitar, begitulah imajinasi sosial umumnya masyarakat desa. Maka saat itulah Anda sebetulnya sedang membangun katup pengaman sosial untuk diri sendiri. Dan begitulah semestinya konsep Corporate Social Responsibilty (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan bisa dipahami seecara sederhana.
Payback your Profit
Sebagai bagian dari sistem kapitalisme, sebuah perusahaan pastilah berpijak pada prinsip mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Ada potensi tamak dan eksploitatif, Tapi mungkin itu dulu, wajah kapitalisme klasik sebagaimana dikritik habis-habisan oleh Karl Marx dan para Marxian.
Sejarah mencatat bagaimana kapitalisme juga melakukan recovery diri. Mereka secara bertahap juga ingin menampilkan sisi humanisnya, mau ikut memikirkan nasib dunia. Titik balik itu bisa dilihat indikatornya pada konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang memerdulikan tingginya kesenjangan antara yang kaya dan papa, sehingga diupayakan sistem bernegara yang lebih adil, memberikan perlindungan sosial bagi mereka yang miskin. Skemanya melalui subsidi silang, yang kaya mensubsidi yang miskin, antara lain melalui penerapan pajak progresif. Semakin besar kekayaanmu, semakn besar pula pajak yag harus dibayarkan ke negara.
Konsep CSR pun sejatinya berangkat dari dinamika yang sama. Ada kritik dan protes dari masyarakat terhadap bagaimana perusahaan beroperasi. Di dekade 1930 an saat terjadi resesi global, banyak perusahaan limbung dan memecati karyawannya. Masyarakat pun protes, bagaimana mungkin perusahaan tutup mata terhadap nasib para buruh yang dipecat, masyarakat, setelah apa yang mereka berikan untuk perusahaan sebelumnya.
Beberapa pengusaha yang tersentuh lantas mendirikan semacam lembaga amal untuk melakukan program-program sosial, sebagai wujud tanggungjawab moral. Barulah mulai era 1960 an, istilah Social Responsibility mulai diperkenalkan dan seiring waktu menjadi Corporate Social Responsibility (CSR). Salah satu pakarnya, Keith Davis merumuskan konsep "Iron Law Responsibility", bahwa tanggungjawab sosial pengusaha pada dasarnya sebanding dengan kedudukan sosial yang mereka peroleh.
Dengan demikian, konsep CSR adalah jalan tengah, atau dalam konsep dialektikanya Hegel, inilah sintesa. Maka seperti halnya zakat, konsep CSR sejatinya juga bagian dari ikhtiar mengontrol tabiat kapitalisme yang tamak dan eksploitatif. Meminjam istilah Anies Baswedan, CSR haruslah dipahami sebagai komitmen membayar kembali (payback) atas segala capaian dan kemudahan yang sudah didapatkan perusahaan dari semua pihak. Maka tidak cukup jika CSR dilaksanakan sekadar untuk “menggugurkan kewajiban”.
Terlebih, salah satu fokus dari implementasi CSR adalah pada konsep pengembangan masyarakat yang berkelanjutan (suistinable society development). Karena itu, program CSR haruslah didesain dengan visi yang jauh ke depan, membayangkan dampaknya akan berumur panjang. Hindari untuk berpikir KUHP, kasih uang habis perkara,. Kedua, berilah masyarakat akses ketimbang aset, sehingga ada keterlibatan aktif mereka dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri. Ketiga, semua program CSR itu haruslah bermuara pada membangun keberdayaan masyarakat, jangan sampai justru menghasilkan masyarakat yang bermental miskin, yakni masyarakat yang selalu bergantung, tak mampu berdiri sendiri.
Profit perusahaan mungkin berkurang karena program CSR, tetapi jika tanggungjawab sosial ini mampu dijalankan secara optimal, benefitnya tidak hanya untuk masyarakat, melainkan juga kembali ke perusahaan. Ini akan jadi credit yang baik bagi perusahaan. Pertama, perusahaan semakin mendapatkan trust publik. Kedua, reputasi otomatis meningkat. Ketiga, kondusivitas lingkungan terjaga (katup pengaman). Keempat, meningkatkan ketenangan dan kebahagiaan seluruh jajaran perusahaan (berkah), sehingga pada akhirnya mampu mendorong optimalisasi profit.
Bertumbuh Bersama
Nur Janah tak pernah menyangka, bahwa usaha penatu yang sempat banyak dicibir tetangganya akhirnya berkembang. Pun hasil dari bisnis laundry -nya tidak ia nikmati sendiri, mengingat ada tujuh karyawan yang juga ikut merasakan berkahnya. Mereka tidak lain adalah para tetangganya, ibu-ibu yang sebelumnya menganggur dan tak punya kesempatan membantu ekonomi keluarga. Tetapi bekerja bersama Nur Janah, mereka bisa mendapatkan penghasilan mulai Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta setiap bulannya.
Cerita sukses Nur Janah ternyata ada hubungannya dengan program Corporate Social Responsibilty (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan. Ia adalah seorang guru TK sekaligus pegiat Perpustakaan Desa (Perpusdes) “Cerdas” di pesisir utara Kabupaten Batang, tepatnya Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis. Tidak jauh dari tempat tinggalnya memang berdiri megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 x 1.000 MW, konon terbesar se Asia Tenggara. Proyek bernilai investasi puluhan triliun ini menggunakan skema Public Pivate Partnership (PPP), pemrakarsanya adalah PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), sebuah perusaan konsorsium yang terdiri dari Electric Power Development Co., Ltd (J-Power), PT Adaro Power yang merupakan anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Adaro Energy, dan Itochu Corporation (Itochu).
Sebelumnya Nur Janah tak pernah pernah membayangkan bisa berinteraksi dengan PT BPI, tetapi program CSR mempertemukan keduanya. Nur pun dibina, dilatih secara berkelanjutan, diberi bantuan modal ataupun alat produksi hingga dibantu akses pasar. Maka dua tahun setelah usahanya dilaunching di 2016, ia dan tujuh karyawannya telah bisa menikmati tambahan penghasilan, relatif berdaya.
Inilah buah dari program CSR yang memberdayakan, perusahaan dan masyarakat bisa berkolaborasi agar tumbuh bersama. Dan untungnya, PT BPI juga memiliki komitmen mengembangkan masyarakat secara berkelanjutan melalui program CSR nya. Di bidang ekonomi ini, sampai dengan Desember 2020 mereka telah membentuk total 203 Kelompok Usaha Bersama (KUB) dengan jumlah anggota mencapai 2.900 dan tersebar di 14 desa di sekitar PLTU. Sementara ragam usahanya meliputi jasa, konveksi, produksi barang, makanan ringan, hingga simpan pinjam.
Demikian juga dengan bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya, semuanya dirancang dalam pengembangan masyarakat secara berkelanjutan, melahirkan masyarakat yang mandiri dan berdaya. Tidak heran, program CSR Bhimasena Power ini terus mengundang penghargaan nasional.
Janah dengan bisnis laundry -nya hanyalah contoh kecil bagaimana CSR mampu menjelma menjadi kerja-kerja pemberdayaan yang berdampak nyata dan panjang. Dan profil seperti Nur Janah sudah pasti tak sendiri, akan ada Nur Janah-Nur Janah lainnya yang bisa membangun keberdayaan ekonomi melalui program CSR. []
Referensi tambahan:
https://www.bhimasenapower.co.id/
https://blog.olahkarsa.com/ulas-balik-sejarah-csr-di-dunia/
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-csr/
https://barki.uma.ac.id/2021/11/12/welfare-state-sistem-ekonomi-negara-kesejahteraan-konsep-sistem-ekonomi-untuk-mencapai-kemakmuran-suatu-negara/
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.