Ketika Perdamaian diantara Manusia Hanyalah Sebuah Delusi
Gaya Hidup | 2022-09-13 18:34:15Mungkinkah perdamaian dikalangan umat manusia hanyalah sebatas utopia belaka?Apakah tema kepahlawanan dalam sebuah film adalah wujud dari hasrat terpendam manusia untuk menempati sebuah dunia bebas konflik?Manusia superpower?Itu hanya ada dalam sebuah cerita fiksi.Begitupun dengan perdamaian.
Terlepas dari bumi yang diciptakan sebagai tempat persemayaman para makhluk serakah ini,nyatanya kita bukan spesies pertama di planet ini.Entah kedatangan segerombolan sapiens ini diperuntukkan untuk mendamaikan para jin yang senantiasa saling menumpahkan darah,atau justru sama saja.Menciptakan berbagai macam keonaran demi kekuasaan pada sumber daya yang terbatas.
Di sinilah letak dilematiknya.Keterbatasan.
Indonesia dijajah karena kelimpahan sumber daya alamnya yang suatu saat nanti ‘pasti’ akan habis atau paling mentok ‘langka.’Manusia punya pengalaman buruk soal kelangkaan.Perang adalah medium yang digunakan suatu kelompok tertentu untuk mengisi ‘kekurangan’ sumber daya mereka.Entah itu energi potensial penduduknya atau energi fosilnya.Tapi,apa bedanya di keruk sekarang atau nanti toh akan habis juga!
Persoalan kedua yang tidak kalah dramatiknya.Ketakutan.
Lalu bagaimana manusia mengakali keterbatasan yang ada untuk meredam ketakutan?Barang substitusi?Memangnya ada strata tertinggi selain kekuasaan?
Problem number three.Power.
Para hamba semesta ini tentu saja mampu membentuk sebuah geng yang bertugas untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia manusia.Aturan ketat yang mengikat,kebijakan yang merangkul serta hukuman yang menyengat.Kehadiran kita di jagat raya ini nyatanya tidak hanya sekedar menyebar ‘kerusakan’ semata.Manusia memiliki tanggung jawab yang begitu mulia.
Menjaga kedamaian.
Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua manusia berkesempatan untuk memperoleh predikat ‘mulia.’Sepengetahuan saya hanya satu profesi yang dijuluki sebagai ‘Yang Mulia.’ (tolong dikoreksi jika salah).
Yaa.Hakim Yang Mulia.Tugas yang begitu berat namun begitu mulia.Memutuskan nasib seseorang bukanlah perkara yang mudah.Jika keputusannya adil dan benar,derajatnya akan meningkat disisi Tuhan dan manusia.Sebaliknya,jika nyatanya keputusan tersebut sengaja diambil untuk merugikan pihak tertentu dan menguntungkan bagi mereka,maka tidak ada satupun yang tau bagaimana cara menghukum dan menurunkan derajatnya kecuali Tuhan dan pengadilan akhiratnya.Semoga kita dijauhkan dari keburukan orang-orang semacam ini.
Kita paham betul bahwa sangat sedikit diantara manusia yang berbudi luhur,baik perangainya,sopan tutur katanya,dan bersih moralnya.Inilah salah satu alasan mengapa mendamaikan manusia itu adalah pekerjaan yang sulit.Tugas ini terlalu mulia.Menuntut keadaan batiniah yang suci dari kepentingan-kepentingan yang kotor,dangkal dan rendahan.Layaknya seorang hakim yang harus memutuskan nasib seseorang,manusia harus tahu mana kelompok yang mendamaikan dan mana kelompok yang memberontak.Karena terkadang kedua kelompok ini menunjukkan perilaku yang ‘identik.’
Memberontak untuk mendamaikan atau sebaliknya,mendamaikan dengan cara memberontak. Mereka saling menuduh karena perbedaan referensi.Entah itu idealisme,dogmatisme, nasionalisme,hakikat hidup,atau mungkin yang paling minor,perbedaan definisi kecantikan.Manusia selalu bertengkar mulai dari hal leceh sampai yang paling esensial.
Padahal,mereka selalu berkata bahwa ‘setiap manusia itu berbeda.’Nyatanya mereka tidak bisa menahan hasrat untuk tidak mencela kawannya karena suatu perbedaan.
Fisik dan non fisik diserangnya secara sadis.Entah sejak kapan kedamaian itu hanya bisa dicapai melalui masyarakat yang homogen.Sesulit itukah mereka mendefinisikan ‘menghargai?’
Jika sedemikian rumitnya membungkus kedamaian lewat perbedaan maka betul adanya bahwa perdamaian diantara manusia itu hanyalah ilusi semata.
Kekuatan,Keterbatasan dan Ketakutan.
Seberapa jauhkah ketiga energi ini berkontribusi terhadap kedamaian?
To be continue..
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.