Bebasnya Koruptor Hingga Tetap Ngotot Kontestasi , Rezim Tak Punya Empati
Politik | 2022-09-10 23:21:37Sebanyak 23 narapidana korupsi menghirup udara segar pada Selasa, 6 September 2022, setelah mendapatkan pembebasan bersyarat. Beberapa ada yang sudah lama mendekam di penjara, beberapa lagi baru menjalani pidana singkat seperti mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari. Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti mengatakan 23 terpidana korupsi itu merupakan bagian dari 1.368 yang mendapatkan program pembebasan bersyarat (PB), cuti bersyarat (CB), maupun cuti menjelang bebas (CMB). “Sepanjang tahun 2022 sampai bulan September Ditjen Pas telah menerbitkan 58.054 SK PB/CB/CMB narapidana semua kasus tindak pidana di seluruh Indonesia,” ujar Rika. Beberapa pejabat di negeri ini seketika kompak menyetujui kebijakan pemerintah tersebut, seperti misalnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul yang mengatakan keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang memberikan pembebasan bersyarat terhadap 23 koruptor sudah sesuai dengan undang-undang. Pacul membantah jika hal tersebut tidak adil dan tak menimbulkan efek jera. Demikian pula pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, ia mengatakan bahwa bebas bersyarat yang diberikan kepada sejumlah koruptor itu merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA). “Kalau urusan pembebasan atau penghukuman itu bukan urusan KUHP, tapi urusan kewenangan Mahkamah Agung untuk menerapkan KUHP,” kata Mahfud. Para narapidana tersebut menerima program pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pun buka suara. Yasonna Laoly menegaskan, pembebasan para narapidana itu sudah sesuai dengan aturan undang-undang. Penyebabnya adalah ada keputusan Mahkamah Agung yang menguji Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 yang menyulitkan napi korupsi mendapatkan hak bebas bersyarat atau remisi. MA telah membatalkan aturan tersebut. Sehingga para narapidana kasus korupsi berhak menerima remisi meski tidak berstatus justice collaborator. Pembebasan para koruptor kelas kakap ini sungguh menambah pilu penderitaan rakyat. Dengan mudahnya sebuah undang-undang dibatalakan karena dianggap menyulitkan para napi. Keadilan seolah hanya permainan anak kecil, yang begitu lelah, bosan atau ada tujuan lain segera berganti permainan. Dimana letak keadilan, jika mereka dengan mudah lolos dari hukuman? Kesalahan mereka seolah termaafkan sementara rakyat masih terus diperas guna menggantikan uang negara yang sudah mereka korupsi. Belum usai dengan fakta di atas, masyarakat kembali diperlihatkan kesibukan pemimpin negeri ini menjelang pemilu. Puan Maharani menyambangi kediaman Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Ahad, 4 September 2022. Prabowo maupun Puan sama-sama membuka peluang partai mereka untuk berkoalisi kembali pada Pilpres 2024. Pertemuan itu, menurut Puan, akan ditindaklanjuti dengan pertemuan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo. Sinyal untuk bisa bekerja sama dalam pemilihan presiden 2024 secara terbuka disampaikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Keduanya bahkan menyatakan akan terus membangun komunikasi politik. “Jadi saya kira konklusi yang paling jelas adalah kita bertekad untuk melanjutkan komunikasi politik dengan terus-menerus, dengan terbuka, dengan apa adanya,” kata Prabowo. Prabowo menyatakan, komitmen untuk terus membangun komunikasi dengan PDI-P tak lain untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dia juga menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan sesi awal memasuki musim politik jelang Pemilu 2024. Untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, Hoax atau Fakta? Baik pembebasan para koruptor negara, berikut pertemuan Prabowo-Puan sejatinya membuktikan bahwa pemimpin kita salah fokus. Pembebasan koruptor dikatakan sesuai undang-undang dan ironinya dari hasil pemeriksaan kembali UU tersebut oleh mahkamah ternyata berpotensi menyulitkan napi tersebut saat ingin mendapatkan hak bebas bersyarat atau remisi. Lantas bagaimana dengan dampak perbuatannya? Sebagian napi koruptor itu mendapatkan kebebasan bersyaratnya karena pertimbangan hakim mereka bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, punya tanggungan. Jasanya sebagai menteri dan mendapat Satya Lencana juga. Sangat sepele bukan? Jika hukum saja mudah dipermainkan, bahkan bisa disesuaikan dengan perasaan atau kecenderungan sang hakim, lantas untuk apa dibuat hukum? Tak jarang hanya untuk mendapatkan keadilan, rakyat dengan “telanjang” tanpa persiapan apapun, main hakim sendiri. Tak jarang berujung pada penghilangan nyawa. Tak sedikit pula yang mengalami depresi sebab persoalannya tak kunjung mendapat solusi. Ujung-ujungnya bunuh diri. Fenomena bunuh diri ini juga tak bisa kita abaikan, sebab mengapa individu itu tak takut risiko pertanggungjawab atas tindakan bunuh dirinya ini menunjukkan bahwa lemahnya akidah dan kelalaian atas fungsi negara sebagai periayah( pengurus) umat. Lantas seperti saat ini, rakyat sedang kelimpungan mengatasi dampak domino kenaikan BBM, para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat sibuk mematut diri mencari pasangan kontestasi. Juga memake up diri agar nampak layak kembali mendapat kepercayaan. Ya, sikap egoisme kental dalam dua peristiwa di atas. Yang jelas keadilan tidak ada. Namun tetap saja para penguasa itu mengatakan ini untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Sulit dipahami, rakyat, bangsa dan negara mana yang dimaksud? Pembebasan koruptor seolah makin menguatkan bahwa hukum itu hanyalah buatan manusia, yang bisa di rubah ketika maslahat juga berubah. Pun demikian dengan kegiatan kontestasi, dimana lawan menjadi kawan hanya untuk satu tujuan, kemenangan koalisi mereka, sukses mengisi kursi kekuasaan. Maslahat kembali berubah, rakyat secara perlahan ditinggalkan. Rindu Pemimpin Bertakwa, Hanya Ada Dalam Sistem Islam Sepatutnya rakyat sadar kondisi demikian adalah watak asli sistem demokrasi. Hanya melahirkan sosok pengabdi kursi bukan pelayan rakyat yang merasakan penderitaan mereka. Pun produk-produk hukum yang dihasilkan rentan disusupi kepentingan dari berbagai pihak. Lihat saja asal perundang-undangan di Indonesia adalah KHUP warisan pemerintah Belanda. Tentunya ketika awal disusun adalah sesuai kepentingan mereka, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia merdeka hingga hari, setiap ada ketidakcocokan dengan fakta maka hukum di rubah. Para koruptor yang mendapatkan kebebasannya juga bagian dari pemimpin bangsa ini, sebagiannya dipilih melalui pemilu, tapi lihat apa yang mereka lakukan, menyiksa rakyat. Efek domino perilaku korup mereka sama berbahayanya dengan kenaikan harga BBM yang baru saja terjadi. Dan kelak, para eks narapidana ini bisa kembali mencalonkan diri. Seolah telah habis manusia layak dan bersih di negeri ini. Beberapa partai juga mengusung tokoh yang sebentar lagi juga mundur dari jabatannya sebagai gubernur. Diusung oleh salah satu partai nasional, menjadi pertanyaan, tidakkah rakyat mengambil pelajaran, bahwa penampilan Islami belum tentu pemikirannya Islam pula, artinya, ia akan memperjuangkan Islam yang sebenarnya, bukan hybrid dengan demokrasi sebagai tata aturan yang sedang berlangsung. Logikanya, capres empat tahun lalu saja diusung ulama berkoalisi dengan partai nasionalis tak mampu wujudkan kesejahteraaan, apalagi hari ini hanya diusung partai nasionalis? Pemilihan pemimpin dalam Islam tidak butuh waktu lama, hemat biaya dan sederhana. Calon yang dihadirkan adalah sosok yang sudah dikenal oleh masyarakat di mana ia tumbuh dan biasa bergaul. Berikutnya harus memenuhi syarat iniqod yaitu pria, baligh, merdeka, adil, Islam, tidak gila dan sanggup mengemban amanah sebagai pemimpin. Maka siapapun bisa mengajukan dirinya sebagai pemimpin. Yang lebih diutamakan adalah ketakwaan para calon pemimpin itu, yaitu komitmen mereka untuk menerapkan syariat Islam, bukan yang lain. Tidak juga menerima jalan demokrasi sebagai alat untuk menerapkan syariat, karena ibarat air dan minyak, tidak akan pernah bersatu. Demokrasi menginginkan pemisahan agama dari kehidupan, aturan adalah buatan manusia, sedang Islam adalah Wahyu Allah SWT, pemilik alam semesta, manusia dan seluruh isinya . Tentulah akan tertolak pemimpin dengan mental korup, menghalalkan segala cara memperkaya diri sendiri, kelompok maupun partai. Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).
Jika seorang pemimpin berkuasa atas rakyatnya namun masih menggenggam demokrasi, sama saja ia akan mengantarkan orang-orang yang dipimpinnya pada kebinasaan. Maka wahai kaum Muslim, pilihlah pemimpin yang secara tegas keluar dari lisannya akan mencabut demokrasi sistem kufur dan menggantinya dengan penerapan Islam. Wallahu a’lam bish showab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.