Penyelesaian Permasalahan Ekonomi Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Agama | 2021-11-30 15:15:25Apa itu Hukum Ekonomi Syariah? Saat ini, kata dari hukum ekonomi syariah mungkin tidak lagi asing terdengar di telinga pembaca, karena memang hal ini sering dibicarakan oleh masyarakat. Bagaimana cara hukum ekonomi islam menyelesaikan permasalahan dalam kegiatan ekonomi? Hukum Ekonomi Syariah merupakan suatu hukum yang mempelajari tentang ekonomi menurut perspektif islam, contohnya seperti halal atau haramnya suatu barang hasil transaksi, makruh atau mubahnya barang tersebut, sehingga tidak ada barang yang nilai konsumsinya buruk bagi konsumen. Hukum ekonomi syariah tidak hanya mempelajari hal-hal tersebut, melainkan juga tentang ilmu hukum perdata maupun pidana. Cara hukum ekonomi syariah menyelesaikan sengketa ekonomi itu tidak hanya dengan menggunakan undang-undang atau pasal-pasal yang berlaku, melainkan juga berdasarkan hukum agama islam untuk menimbang suatu keputusan. Namun, kembali lagi pada pemahaman masing-masing, Hukum Ekonomi Syariah dan cara penerapannya itu memiliki arti luas dalam pandangan orang banyak, jadi galilah informasi sebanyak-banyaknya agar kita mengerti secara mendalam apa hukum ekonomi syariah itu.
Apakah hukum ekonomi syariah itu penting untuk diberlakukan? Tentu saja penting, karena hukum ekonomi syariah berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi berdasarkan hukum dan juga hukum islam. Jadi, diharapkan dapat mencapai keadilan dan tidak terjadi berat sebelah dalam berlaku adil.
Kemudian, terkait pembahasan, apa saja cara penyelesaian permasalahan ekonomi dalam sudut pandang hukum ekonomi syariah? Permasalahan ekonomi ada dua macam, yaitu ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Namun, keduanya tetap merupakan kegiatan dalam kegiatan ekonomi dengan tujuan yang baik.
Berikut, penulis akan menjabarkan Penyelesaian Permasalahan Ekonomi Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah:
1. Penyelesaian dengan Al-Shulhu
Al-Shulhu berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah Perdamaian. Pengertian Al-Shulhu dalam penjelasan yang lebih panjang ialah penyelesaian suatu perkara tanpa menimbulkan perkara lain, yang dilakukan oleh kedua belah pihak secara damai. Sedangkan menurut syaraâ adalah suatu akad pernyataan yang dibuat untuk memutus suatu perselisihan atau persengketaan. Mengapa dalam islam bisa menyelesaikan suatu masalah dengan berdamai? Karena islam adalah agama yang cinta kedamaian dan saling mengasihi sesama makhluk hidup. Dengan penjelasan seperti ini, dapat kita pahami, bahwa perdamaian itu adalah suatu keputusan dengan berdasarkan kesadaran dari pihak yang berselisih atau bermasalah, sehingga tidak ada yang namanya menang atau kalah. Karena tujuannya adalah berdamai. Namun, tidak semua permasalahan itu bisa diselesaikan dengan berdamai. Seperti masalah keluarga dalam perkawinan sah atau tidak, itu harus pada kantor urusan agama. Jadi, perdamaian yang dimaksud ini hanya bisa dilakukan pada bidang muamalah saja. Karena muamalah mencakup topik persoalan harta benda. Kembali lagi ke topik penyelesaian masalah ekonomi dengan al-shulhu (perdamaian).
Ada beberapa rukun dan syarat dalam al-shulhu yaitu:
a. Musalih (Orang yang melakukan akad al-shulhu untuk menyelesaikan suatu permasalahan).
b. Mushalih anhu (Hal yang dipermasalahkan).
c. Mushalih bih (Sesuatu yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak lain untuk menyelesaikan suatu masalah).
d. Shigat (Ijab dan Kabul).
Syarat bagi orang yang melakukan akad al-shulhu untuk menyelesaikan suatu permasalahan (musalih) adalah mereka yang melakukan suatu tindakan yang masuk akal (rasional) dan sah baik di mata hukum maupun masyarakat. Sedangkan syarat untuk Mushalih bih adalah:
a. Harta yang memiliki nilai, bersifat baik, dan berguna untuk orang lain.
b. Jelas, maksudnya adalah diketahui oleh pihak lain sehingga tidak menimbulkan unsur penipuan.
Pemberlakuan al-shulhu dalam peradilan agama bisa dilakukan melalui beberapa jalur, yang pertama, bisa melalui nasehat dari Majelis Hakim, yang kedua, melalui mediasi (dengan pihak ketiga), dan yang ketiga, melalui hakam (juru damai sesuai UU No.7 tahun 1989).
2. Penyelesaian dengan Tahkim
Tahkim berasal dari bahasa Arab, yang artinya memberikan suatu putusan kepada orang lain, dan menerima dengan lapang dada mengenai putusan tersebut. Dalam penyelesaian melalui tahkim, ada orang yang menyelesaikan permasalahan, dan memiliki ilmu tentang pemahaman hukum islam, disebut juga dengan hakam. Namun, kita juga harus bijak mengenai pemilihan hakam, karena tidak sembarang orang bisa menjadi hakam.
Tahkim dalam bahasa Indonesia biasa disebut juga dengan arbitrase. Pada pihak yang diperuntukkan memilih penyelesaian masalah dengan menggunakan arbitrase, tetap tidak menjamin bahwa dalam penyelesaian masalah melalui arbitrase tidak memiliki konsekuensi. Sebagaimana yang diatur pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kelebihan dan kekurangan dari arbitrase syariah sama dengan arbitrase pada umumnya.
Aspek ini tidak hanya diterapkan pada perbankan syariah, namun juga pada berbagai lembaga keuangan maupun perekonomian.
3. Penyelesaian dengan Wilayat al-Qadha
Wilayat al-Qadha ini dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh cara penyelesaian ini adalah dengan menyelesaikan suatu permasalahan tertentu yang masih ada hubungannya dengan permasalahan pidana dan perdata. Wilayat al-Qadha merupakan semacam Mahkamah Agung di Indonesia yang membawahi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.
Beberapa tugas dari al-Qadha antara lain:
a. Menyelesaikan permasalahan dan permusuhan
b. Meminta suatu hak yang ditahan oleh orang lain
c. Menangani harta dari wakaf
d. Melaksanakan wasiat
e. Memeriksa saksi-saksi
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.