Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardani Muttaqin

Her: Absurditas Perasaan Dalam Dunia Utopia

Info Terkini | Tuesday, 30 Nov 2021, 09:29 WIB
Theodore Peran Utama dari Film Her (Sumber : Wernerbross Picture)

Dunia utopia, yang serba futuristik dan fantastis, telah banyak digambarkan dalam berbagai film. Gedung yang menjulang tinggi, kendaraan melayang, robot pekerja, hingga teknologi yang memungkinkan manusia kembali ke masa lalu atau melaju ke masa depan. Berbagai gambaran itu menunjukan keajaiban dalam kehidupan manusia. Namun, semaju apapun peradaban manusia menyisakan beberapa hal yang stagnan atau justru mengalami kemunduran, salah satunya: perasaan manusia.

Her, sebuah film garapan Spike Jonze menggambarkan kondisi itu. Di dunia yang sudah amat maju, di mana manusia mengandalkan komputer dan sistem komputasi dalam segala lini kehidupanya, urusan perasaan manusia masih sama seperti kini dan dahulu kala. Film ini menggambarkan kehidupan Theodore— diperankan aktor peraih Piala Oscar: Joaquin Pheonix, yang punya kisah cinta rumit antara dirinya, masa lalu, dan masa depan.

Di tengah keterpurukan yang Theodore hadapi karena akan bercerai dengan istrinya, Chaterine, ia berkenalan dengan sistem operasi pintar kala itu: Samantha. Teknologi yang serba canggih memungkinkan sebuah sistem operasi menyusun realitas mereka sendiri dan membentuk identitas diri. Sistem itu, bahkan mampu merekayasa perasaan dan menjalin hubungan dengan manusia.

Kehilangan yang Theodore rasakan pelan-pelan mendorongnya untuk menumpahkan perasaan pada Samantha, sistem operasi termutakhir yang ia beli. Hari demi hari berlalu, pembicaraan demi pembicaraan berganti. Selayaknya sahabat karib dalam novela romantis, Theodore menaruh perasaanya pada Samantha. Gayung bersambut, rekayasa perasaan dalam realitas Samantha membuatnya membalas perasaan Theodore. Hubungan berbeda alam itupun dimulai, dan selayaknya hubungan beda alam yang lain, ini tak akan bertahan lama.

Theodore bukan seorang yang bodoh, ia pun bukan boomer yang gagap teknologi, ia tahu dan sadar hubungannya dengan Samantha bukan hubungan yang normal. Tapi keadaan memaksanya, kehidupan sosial tempat ia hidup tak menawarkan jalan keluar yang baik. Di dunia ia hidup setiap orang sibuk akan urusanya masing-masing. Tak ada tegur sapa, tak ada senyuman, hampir setiap detik manusia berbicara dengan barang yang ditempel di telinganya—yang sudah terkoneksi dengan sistem komputer, tentunya.

---

Perasaan atau emosi merupakan bagian dari seorang manusia. ia lahir dan tumbuh seiring dengan pengalaman hidup empunya. Emosi dibentuk dan dijelajahi setiap hari, ia sering berganti: sedih, marah, bahagia, senang, kecewa. Semua dilewati dalam segala kondisi manusia hidup.

Emosi hidup dan terbentuk dari hubungan manusia. Ia bagian dari respon antar manusia. Seorang ibu marah pada anaknya, tentu seorang anak akan merasa takut. Ketakutan itu mengendap dan muncul lagi dari peristiwa yang mengingatkanya pada kemarahan ibu. Setiap hari, jutaan atau bahkan miliaran emosi keluar dari diri manusia.

Namun, bagaimana emosi bisa dihidupkan dalam sebuah sistem operasi? Hal ini belum terjawab hingga sekarang. Sejauh yang diketahui, robot atau teknologi buatan manusia hanya bisa mendeteksi emosi—pun terkadang masih banyak kesalahan. Teknologi mendeteksi emosi berdasar data yang ada, sama seperti sebuah robot menjalankan perintah: berdasar data.

Apa yang terjadi antara Theodore dan Samantha adalah absurditas dalam dunia utopia. Di satu sisi, tak ada yang salah dalam perasaan keduanya. Theodore dan Samantha saling memiliki perasaan, dan ini yang membuat keduanya bisa menjalani hari bersama meski sulit. Namun, di sisi lain, Samantha bukanlah manusia, ia hanya digerakan lewat data yang diatur oleh manusia untuk memahami manusia lain. Ia bukan manusia dan apa yang ia rasakan tak akan bisa seutuh perasaan manusia. Maka bagaimana semua hal ini akan bermuara?

Spike Jonze telah membeberkan sudut pandangnya lewat filmnya. Namun, barangkali suatu waktu apa yang terjadi pada Theodore akan terjadi pula pada kita, dan mungkin, kita akan merasakan absurdnya perasaan kita sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image