Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Polemik UMP, Bagaimana Islam Mengatur Pengupahan?

Bisnis | Monday, 29 Nov 2021, 13:56 WIB

Polemik penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) lagi-lagi terjadi. Dilansir dari Republika.co.id, 17/11/2021, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan menggelar aksi nasional sebanyak dua juta buruh pada 6-8 Desember mendatang. Para buruh menuntut kenaikan UMP sebesar 7-10 persen, di atas prediksi inflasi tahun depan yaitu sebesar 3-4 persen. Buruh berharap ada peningkatan kesejahteraan dengan kenaikan UMP di atas kenaikan inflasi. Namun keinginan para buruh hanya sekedar mimpi, lantaran pemerintah hanya menaikkan UMP rata-rata 1.09 persen saja. Pemerintah berdalih kenaikan tersebut sudah pantas mengingat situasi masih pandemi.

Pakar Hukum Ketenagakerjaan, Prof. Payaman Simanjuntak menyebut kenaikan UMP rendah dikarenakan pemerintah menerapkan PP No.36 Tahun 2021. Payaman menerangkan dalam PP tersebut tidak menggunakan kebutuhan hidup layak sebagai acuan dalam penetapan upah minimum. Dia menuturkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tujuannya untuk mengoreksi beberapa kelemahan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk di bidang pengupahan. Sehingga dibuatlah peraturan baru yang termuat dalam PP No. 36 tahun 2021 tentang pengupahan.

Formula yang digunakan PP No.36 Tahun 2021 dalam menghitung upah minimum juga berbeda dengan PP sebelumnya (PP No.78 Tahun 2015) yang memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Maka wajar pada tahun 2017-2020 kenaikan UMP di atas 8 persen. Sedangkan pada tahun 2021 saat pandemi sedang menggila, kenaikan UMP masih bisa di atas 3 persen.

Di lain pihak, para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sangat mendukung pemerintah terkait kebijakan pengupahan sesuai PP No.36 tahun 2021 tersebut. Menurut para pengusaha besaran upah minimum sudah sangat pas dan adil. Harapannya formula pengupahan dalam PP tersebut dapat mewujudkan ketenangan dalam industri, meningkatkan produktifitas, dan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Itulah dalih dari para pengusaha.

Setiap menjelang akhir tahun, penetapan upah minimum selalu menjadikan ribut antara pekerja dan pengusaha. Pekerja menginginkan UMP naik banyak. Sedangkan pengusaha ingin upah naik tipis-tipis atau kalau bisa tidak naik saja. Penguasa hadir sebagai penengah antara keduanya. Tapi di alam kapitalisme sudah bisa ditebak, buruhlah yang harus mengalah.

Regulasi yang dibuat lebih sayang pengusaha dari pada pekerja. Karena sistem ekonomi kapitalisme menganggap tenaga kerja adalah salah satu faktor produksi, sebagaimana modal, kewirausahaan, dan sumber daya alam. Tenaga kerja tidak dianggap sebagai manusia yang punya kebutuhan hidup. Sehingga aturan yang ada diracik sedemikian rupa agar upah tenaga kerja sekecil mungkin.

Jika kita lihat akar masalah dari polemik pengupahan adalah keinginan para buruh untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan pengusaha tidak ingin merugi dan ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Buruh ingin mendapatkan kepastian bahwa dengan upah hasil memeras keringat mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan dengan layak. Buruh juga berharap bisa mendapatkan layanan kesehatan jika mereka atau anggota keluarga sakit dan bisa menyekolahkan anak-anak. Jadi akar permasalahan terletak pada pemenuhan kebutuhan hidup.

Jika sistem kapitalisme merugikan para buruh, lain halnya dengan sistem Islam. Islam sebagai agama yang sempurna juga mengatur tentang pengupahan. Islam akan memberikan solusi yang adil antara pekerja dan pemberi kerja. Keduanya tidak boleh ada yang terdzalimi.

Masalah pemenuhan kebutuhan hidup sangat erat kaitannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Persoalan ini haruslah diselesaikan melalui kebijakan negara dan tidak menyerahkan penyelesaiannya kepada pengusaha atau pekerja.

Negara wajib memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Negara hendaknya menjalankan kebijakan makro dengan menerapkan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (sandang, panjang, papan) setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Artinya, kebutuhan tersebut harus dapat dinikmati oleh setiap individu rakyat, baik melalui usahanya sendiri, bantuan ahli waris, ataupun santunan dari negara jika dirinya dan ahli warisnya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Negara juga menjamin kebutuhan kolektif rakyat terpenuhi. Dengan memberikan jaminan kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepada rakyat secara cuma-cuma.

Sedangkan masalah penetapan upah dalam sistem Islam didasarkan pada nilai manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja. Dengan demikian upah pekerja antar sektor dan antar profesi akan berbeda. Upah tersebut ditetapkan sesuai kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Mereka dapat merujuk pada pendapat ahli ketenagakerjaan tentang jumlah yang sesuai dengan harga pasar tenaga kerja.

Akan tetapi, penetapan upah tidak boleh didasarkan pada harga barang dan jasa, karena dalam jangka pendek mudah sekali berubah. Jika hal itu terjadi maka upah akan naik-turun kapanpun. Sehingga upah tidak lagi sesuai dengan manfaat yang diberikan.

Sebaliknya, upah pekerja juga tidak dapat didasarkan pada nilai kebutuhan dasar pekerja, atau yang dikenal dengan istilah upah minimum. Karena pemenuhan kebutuhan dasar adalah tanggung jawab negara atas rakyatnya, bukan tanggung jawab pengusaha. Bisa jadi manfaat yang diberikan oleh pekerja lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya, sehingga merugikan pemberi kerja. Sebaliknya, jika manfaat yang diberikan pekerja lebih besar daripada kebutuhan hidup dasarnya, maka akan merugikan pekerja.

Oleh karena itu, penetapan upah menurut pada ahli fikih di dalam Islam didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, bukan yang lain. Walhasil penetapan upah akan adil bagi kedua belah pihak. Tak akan ada lagi polemik pengupahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image