Ada Apa di Balik Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka?
Politik | 2022-08-30 13:21:51Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, secara resmi meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) pada 24 Januari 2020. Program ini diusung untuk menyiapkan mahasiswa menghadapi dunia industri dan dunia kerja di masa mendatang. Senada dengan Mendikbud, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta lembaga pendidikan lebih jeli melihat kebutuhan dunia industri agar tidak banyak sarjana yang menganggur (akurat.co, 2022). Data terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan sekitar 29,19 juta penduduk lulusan jenjang diploma dan sarjana (S1) merupakan pengangguran (unair.ac.id, 2022).
Perguruan Tinggi dituntut untuk mewujudkan pembelajaran yang otonom, fleksibel, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa atau disebut Kampus Merdeka. Program utama dalam Kampus Merdeka ini diantaranya kemudahan membuka program studi baru, perubahan sistem akreditasi kampus, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), dan hak belajar tiga semester di luar program studi berupa satu semester mengambil mata kuliah di luar program studi dan dua semester melaksanakan aktivitas di luar perguruan tinggi seperti magang, membangun desa, pertukaran pelajar, kampus mengajar, studi independen, kegiatan wirausaha, dan lain-lain.
Jika kita lihat kebijakan program MBKM secara sepintas terlihat bagai angin segar untuk mengatasi masalah pendidikan dan pengangguran yang belum tersolusikan. Namun, di balik itu, ada beberapa hal yang perlu dikritisi terkait program Kampus Merdeka ini, diantaranya:
Pertama, kampus akan diarahkan sebagai “pencetak pekerja” sesuai dengan keinginan industri. Ketika dunia industri bekerja sama dengan dunia pendidikan, maka yang dicari tetaplah keuntungan sebesar-besarnya yang merupakan visi dari bidang industri itu sendiri. Industri yang bekerja sama dengan perguruan tinggi akan mendapat “pekerja” yang fresh, ulet, telaten dan unggul dengan upah yang minimum (atau bahkan tidak digaji sama sekali). Industri juga dapat dengan mudah menentukan persyaratan ataupun program kerja yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang magang di industri tersebut. Sedangkan, kampus sendiri mendapatkan keuntungan peningkatan akreditasi dan kemudahan mengubah status menjadi berbadan hukum.
Kedua, perubahan kampus menjadi berbadan hukum berarti pemerintah akan mengurangi subsidi kepada perguruan tinggi yang mana ini menunjukkan “lepas tangannya” pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, kampus akan menentukan pembiayaan dan membuat kebijakan secara bebas. Salah satu hal yang mungkin terjadi, perguruan tinggi akan bekerja sama dengan perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan. Tentunya, perusahaan juga tidak serta merta memberikan bantuan kepada pihak kampus. Perusahaan juga akan menanamkan modalnya di wilayah kampus yang akibatnya juga akan “memakan” pedagang-pedagang kecil yang ada di kampus. Misalnya, masuknya beragam franchise di kawasan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Ketiga, kampus merdeka mengakibatkan penjajahan potensi mahasiswa. Mahasiswa yang awalnya memiliki peran sebagai agen perubahan, kontrol sosial masyarakat, dan moral force menjadi tersibukkan dengan program kampus merdeka yang fokus pada persiapan dunia kerja dan berlangsung selama sekitar satu semester. Mahasiswa menjadi cenderung apatis, individualis, dan tak acuh dengan kondisi atau problematika yang dialami masyarakat karena menganggap masalah yang dihadapinya sendiri dalam dunia perkuliahan sudah cukup besar.
Keempat, menjauhkan terwujudnya pemahaman dan kepribadian Islam pada generasi muslim. Hal ini disebabkan karena masifnya propaganda radikalisme sekaligus upayanya moderasi agama sebagai bentuk toleransi. Mahasiswa yang mengikuti program pertukaran pelajar akan diberikan Modul Nusantara yang berisi 4 kegiatan utama, salah satunya kegiatan kebhinekaan. Dalam kegiatan kebhinekaan ini, mahasiswa diminta mengeksplorasi keragaman budaya sekaligus agama hingga mendatangi tempat ibadah berbagai agama. Moderasi beragama sangat berpotensi menjadikan para mahasiswa muslim takut untuk berislam secara kaffah, sehingga sulit untuk memiliki kemauan belajar Islam secara intensif yang berakibat pada pemahaman kaum muslim terhadap agamanya juga minim.
Kelima, melahirkan lulusan yang belum kompeten di bidang keilmuannya. Mahasiswa yang mengikuti program MBKM otomatis tidak mengikuti kegiatan perkuliahan reguler. Sehingga, mereka tidak bisa memahami materi-materi pokok yang merupakan bekal untuk memahami bidang keilmuannya. Dalam program kampus merdeka ini, mahasiswa MBKM akan langsung mendapatkan konversi nilai A sempurna di mata kuliah yang seharusnya ditempuhnya pada perkuliahan reguler.
Dari berbagai kritikkan yang diulas di atas, dapat kita ketahui bahwa program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) memiliki tujuan pendidikan yang pragmatis dan materialis, terdapat kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan, serta akibatnya intelektual muslim terperangkap dengan propaganda moderasi beragama. Yang mana, hal ini memang bisa saja terjadi di sistem kapitalisme saat ini dengan asasnya adalah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sistem pendidikan ala kapitalisme ini terbukti gagal karena tidak mampu mewujudkan generasi yang unggul dan berkarakter tinggi. Lalu, bagaimanakah solusi untuk mengatasi problematika pendidikan saat ini?
Ketika kita sudah menyadari bahwa akar masalah dari problematika pendidikan saat ini, yakni sistem kapitalisme dengan asasnya yang sekuler. Maka, solusi yang diberikan juga haruslah sistemik dan menyatukan kembali agama dari kehidupan, yakni dengan sistem Islam. Tujuan pendidikan dalam sistem Islam adalah melahirkan generasi unggul dan mencetak para ahli untuk kemaslahatan umat dengan kurikulumnya adalah menjadikan aqidah Islam sebagai asas atau dasar dari ilmu pengetahuan dan menjadi standar penilaian (tolak ukur pemikiran dan perbuatan). Selain itu, akan terlahir intelektual muslim sejati yang berkepribadian Islam secara massal. Bahkan, pendidikan dalam sistem Islam merupakan kewajiban yang pembiayaan dan risetnya ditanggung oleh negara. Riset negara selaras dengan politik dalam negeri maupun luar negeri untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan individu dan kebutuhan publik semua warga negara (kesejahteraan warga). Tentunya, kita semua menginginkan pendidikan ideal yang seperti itu. Tapi bagaimana cara menerapkannya?
Untuk bisa menerapkan sistem Islam dalam kehidupan sebagaimana yang diuraikan di atas, diperlukan peran negara yang mau menjadikan syariat Islam sebagai landasan dalam mengatur kehidupan atau biasa disebut sebagai Khilafah. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan sistem khilafah ini perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Pada masa kekhilafahan Abbasiyah lahir para saintis, ilmuwan, filsuf, dan sastrawan Islam seperti Al-Khawarizmi (ahli astronomi dan matematika, penemu ilmu aljabar), Al-Kindi (filsuf Arab pertama), Al-Farabi (filsuf besar), Al-Ghazali (filsuf, teolog, dan sufi besar), dll. Pada masa ini, juga didirikan perpustakaan terbesar sekaligus sebagai lembaga penelitian, yakni Baitul Hikmah. Bahkan, para ilmuwan ataupun penulis sangat dijunjung tinggi, mereka akan diganjar dengan emas sesuai dengan massa buku yang sudah dibuatnya. Sistem pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah memberi keleluasaan pada para penuntut ilmu untuk belajar sesuai dengan bidang kajian yang diminati (iainpare.ac.id). Sungguh, inilah model pendidikan terbaik sepanjang sejarah yang pasti kita rindukan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa solusi masalah pendidikan ala sistem kapitalisme seperti MBKM masih belum bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Justru malah menjadikan mahasiswa sebagai “budak” oligarki yang terjajah potensinya. Selama sistem kapitalisme tetap kokoh berdiri, maka pendidikan terus diarahkan untuk berpihak kepada korporat yang mencari keuntungan duniawi. Oleh karena itu, solusi tuntas untuk menghadapi problematika pendidikan saat ini adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang tegak berdiri ini dengan sistem Islam dalam naungan negara. Cara untuk mewujudkannya adalah dengan mengkaji Islam secara intensif agar terbentuk tsaqofah Islam sehingga muncul kesadaran umat terkait kebutuhan dan kewajiban tegaknya Khilafah. Kemudian, dilanjutkan dengan menyeru atau mendakwahkan kepada orang lain. InsyaaAllah.. seiring berjalannya waktu solusi ini akan terwujud dan tegak kembali sebagaimana janji Allah dan bisyaroh Rasulullah SAW. Allahu A’lam Bishawab.
Pahami Agamamu, Bangga Berislam Kaffah #BacktoIslamKaffah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
